.
Alhamdulillah, berkah dari Mas Mabda Dzikara, juga kawan kawan Sanad Media Pustaka, saya bisa menikmati membaca kitab Bughyat al-Tsâwi fi Tarjamat Syekh Abdil Aziz Al-Syahawi. Sosok bersahaja yang disebut seolah-olah datang dari kurun yang telah lewat (min ashrin madlâ), generasi yang datang belakangan tunduk, dan generasi terdahulu (seandainya satu zaman) akan ‘taslîm’.
Disebut datang dari kurun lampau karena hafalan-hafalan yang beliau kuasai demikian banyak sekaligus menancap kuat. Karena penyebutan nominal yang hafalan yang cukup banyak, hingga saat membaca biografi beliau, sebagian orang meragukan jumlah hafalannya, bahkan menganggapnya sebagai mubâlaghah (hiperbola).
Saat memberikan kuliah umum, dalam tema besar seorang faqîh yang sufi, saya dan teman teman yang menyimak ‘muhadlarah’ membuktikan sendiri bahwa selama ini yang dikatakan mengenai beliau memang benar adanya: Syekh Syahawi ini mempunyai hafalan demikian banyak, dan bisa dengan cepat merujuk ke beberapa hafalannya secara acak dan spontan dalam tema yang dibicarakan. Setiap ungkapan yang keluar dari mulut beliau, selalu dikuatkan dengan hafalan, baik nadzam maupun matan yang beliau hafalkan. Tiba-tiba dari Syathibiyhah, kemudian ke Hidâyat al-Adzkiya, kemudian ke Ihya’, dan seterusnya.
Di awal muhadlarah, beliau menyitir ungkapan dalam Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni (Syathibiyyah).
وما خاب ذو جد اذا هو حسبلا
“Tidak akan sia sia orang yang mempunyai kegigihan tinggi jika mengucapkan hasbiallah wa ni’mal wakil”.
Kesungguhan adalah usaha dhahir (fikih), sementara ucapan hasbiallah merupakan bentuk kepasrahan kepada Allah (tasawuf). Dua hal ini harus dipadukan secara proporsional. Usaha dan tawakal. Dhahir dan bathin. Fikih dan tasawuf. Tidak boleh salah satunya mengalahkan yang lain.
Seperti sudah masyhur, Syekh Syahawi hafal Syathibiyyah seperti hafal surat al-Fatihah. Nadzam ini berjumlah 1173 bait dengan pola kunci syair (bahar) Thawil. Sementara bait dengan bahar Thawil merupakan bait yang agak susah dihafal, berbeda dengan Rajaz, misalnya. Bait bait Syathibiyyah mempunyai kedudukan istimewa di hati syekh. Hingga wirid harian beliau adalah melalar Syathibiyyah, baik teks maupun maknanya. Karena penguasaan yang mendalam dan pengulangan yang terus menerus terhadap bait Syathibiyyah, saat tertidur sekalipun, mulut beliau masih tetap bisa menjelaskan Syathibiyyah dalam keadaan mata terpejam.
Syekh dianugrahi ketajaman akal serta menancapnya hafalan beliau hingga usia senja. Hafalan beliau di antaranya: al-sullam al-munawraq, ghâyat al-ikhtishâr, al-tahrîr, nihâyat al-tadrîb, sebagian besar al-bahjah al-wardiyyah (5000 bait), al-rahabiyyah, al-arba’in al-nawawiyyah, riyad al-shalihin, talkhîs al-miftâh, al-jauhar al-maknûn, alfiyyah ibnu malik (hafal saat umur 13 tahun), al-jazariyyah, al-tuhfah, syâthibiyyah, al-durrah (tajwid), al-thayyibah (qira’ah), hidâyat al-adzkiyâ, tuhfat al-ikhwân (falak), mandzumah al-arûdl li ash-shabban, al-kharîdah al-bahiyyah, jauharat al-tauhîd, bad’ al-amali, burdah, alfiyyah al-shirah, dîwân al-syafi’i, dlsb.
Sayyid As-Sa’dani menuturkan, data ini belum keseluruhan. Terutama berdasar pengalaman beliau saat membersamai Syekh Syahawi. Beliau bahkan masih mempunyai semangat tinggi dalam menghafal bahkan hingga di usia senjanya. Saat Syekh Sa’dani sedang mengaji kitab Fath al-Qarib, syekh Syahawi berucap, beliau telah selesai menghafal Alfiyah Iraqi beberapa bulan yang lalu. Padahal saat itu, usia Syekh Syahawi sudah menginjak 72 tahun.
Beliau dianugrahi kesabaran tinggi untuk terus mengulang hafalannya. Sampai dikenal dari rekan-rekan yang mengantar, Syekh tidak pernah tidur dari mulai jam 2 dini hari sampai waktu subuh untuk ‘muraja’ah’ kitab.
Selain itu, beliau juga mempunyai metode kerap menulis hafalan agar tak hilang begitu saja dari ingatan. Imam Syafi’i mengatakan,
العلم صيد والكتابة قيده
قيد صيودك بالحبال الواثقة
فمن الحماقة ان تصيد غزالة
وتتركها بين الخلائق طالقة
“Ilmu adalah hewan buruan, dan menulis itu adalah ikatannya
Ikatlah buruanmu (ilmu) dengan tali yang kuat
Merupakan kebodohan jika engkau sudah mendapatkan kijang (sebagai buruan)
Lantas engkau membiarkannya terlepas di antara makhluk lainnya”
Menuliskan hafalan agar tidak hilang diambil dari sebuah ungkapan,
من حفظ شيئا مر ومن كتب شيئا قر
‘Siapa saja menghafal sesuatu, maka akan pergi, dan siapa saja menulis sesuatu, maka akan menetap”.
Ada yang menarik dari Syekh Abdul Aziz al-Syahawi ini. Selain aktivitas seringnya membaca al-Quran sebagai penguat hafalan, syekh juga kerap minum kopi. Menurutnya, kopi ini mempunyai faidah mengasah akal dan pikiran serta menambah semangat.
Tak hanya hafalan yang menancap, namun spontanitas mendatangkan hafalan untuk satu konteks tertentu merupakan keistimewaan Syekh yang diakui oleh seluruh murid beliau.
Suatu ketika ada perempuan sedang berkeluh kesah dengan Syekh Syahawi. Penulis Bughyat al-Tsâwi, Sayyid al-Sa’dani, dan beberapa murid Syekh Syahawi, yakni Syekh Fadhil Darwish Syahatah, sedang berbincang satu permasalahan di dekat Syekh Syahawi. Syekh Darwish lantas hendak mendatangkan bait dari Jauharat al-Tawhid sebagai penguat topik yang dibicarakan. Syekh Syahawi seketika menoleh, dan mereka tak menyangka Syekh juga mendengar perbincangan kami. Lantas ia dengan cepat mengatakan,
واثبتن للاوليا الكرامة
ومن نفاها انبذن كلامه
Sementara bait tersebut adalah bait yang hendak diucapkan oleh Syekh Darwish.
Berkali kali Syekh, saat muhâdlarah kemarin, menunjukkan hafalan kitab Hidâyat al-Adzkiyâ karangan Zainuddin al-Malaibari. Kitab ini memuat 188 bait, berisi wasiat-wasiat mengenai taubat, qanâ’ah, zuhud, ikhlas, tawakkul, dlsb.
Syekh Syahawi juga mampu mendatangkan matan yang panjang dalam fan yang bermacam seolah teks kitab terpampang jelas di depan beliau. Hal itu dibuktikan dengan saat para murid mengalami kesulitan dalam satu kata, lantas Syekh membenarkan kata tersebut dan melanjutkan kata setelahnya beberapa baris. Sementara beliau sama sekali tidak memegang ‘nuskhah.’
Suatu ketika Syekh Sa’dani menelpon Syekh Syahawi untuk menanyakan satu ibarat dalam Hasyiyah Abi Naja ala Syarh al-Ajrumiyyah. Syekh Sa’dani mengatakan, “Aku tidak paham satu hal mengenai syarah al-Azhari terhadap Jurumiyyah. Kemudian aku membacakan ibarat yang aku tak paham.”
Syekh Syahawi menjawab secara cepat, “Ibarat ini dari Hasyiyah, bukan dari Syarh.”
Dan ternyata memang benar demikian.
***
Saya melihat, paman saya KH. Zukhrul Anam sangat bahagia dengan kedatangan beliau hingga tak kuasa menahan tangis. Beliau kerap komentar mengenai syekh Syahawi, “persis kiai kuno”. Artinya seorang ulama yang tidak mengenyam pendidikan formal, namun kapabilitasnya bisa jauh melesat melebihi mereka yang menempuh jalur formal.
Lebih-lebih dua ulama besar al-Azhar berkumpul dan memberikan keberkahan doa di sini. Dalam buku Bughyat al-Tsâwi, Syekh Syahawi ternyata kerap ‘istifadah’ pada Syekh Fathi Hijazi untuk menyambung silsilah keilmuan ke Syekh Muhyiddin Abdul Hamid dan Syekh Najmuddin al-Kurdi. Dan tentu saja sebaliknya.
Alhamdulillah, kami di sini juga sempat tabarrukan muqaddimah kitab Mughnil Labib pada Syekh Fathi.
Syekh Syahawi memang dikenal belum lama. Seperti kebiasaan keluarga Syahawi sebelumnya, mereka tidak begitu suka diekspos dan memilih hidup menyepi sembari menyebar ilmu di lingkungan tempat mereka tinggal.
Hingga Allah membentangkan jalan agar beliau bisa menularkan ilmu di masjid al-Azhar.
Diceritakan, Syekh Ahmad Syauqi bermimpi baiat Syadziliyyah terhadap Syekh Muhanna di Ruwaq al-Azhari. Setelah berbaiat, Syekh Ahmad Syauqi hendak menuju ke kediaman Syekh Syahawi. Namun ditegur oleh Syekh Muhanna, “Kenapa tidak kau tunggu saja beliau pada saat mengajar di al-Azhar.”
Padahal ketika itu, Syekh Muhanna belum mengetahui Syekh Syahawi, dan Syekh Syahawi juga belum mengajar di masjid al-Azhar.
Lantas Syekh Ahmad Syauqi mengabarkan mimpinya pada Syekh Ahmad Mamduh. Ahmad Mamduh memberi saran, “Ceritakan mimpimu pada Syekh Muhanna!”
Syekh Ahmad Syauqi kemudian menghubungi Syekh Muhanna. Seperti di mimpinya, ia baiat sekaligus mengabarkan mimpinya itu pada Syekh Muhanna. Pada saat itu, Syekh Muhanna belum mengetahui Syekh Syahawi. Sebagian muridnya yang mengetahui Syekh Syahawi, mengabarkan perihal beliau secara detil pada Syekh Muhanna.
Berawal dari sini, Syekh Muhanna bertekad agar Syekh Syahawi bisa ikut mengajar di Masjid al-Azhar.
Syekh Ahmad Syauqi menyampaikan keinginan Syekh Muhanna pada Syekh Syahawi, tetapi beliau menolak tegas.
Tak putus asa, syekh Muhanna mengutus Syekh As-Syarif Luai bin Ja’far al-Madani. Syekh Luai berulangkali mendatangi Syekh Syahawi dan berusaha meyakinkan agar beliau berkenan mengajar di Masjid al-Azhar.
Hingga setelah bermusyawarah dengan keluarga, putra dan saudaranya, akhirnya Syekh Syahawi berkenan mengajar di Masjid al-Azhar.
Latarbelakang yang demikian mencetak pribadi yang tangguh dari sosok Syekh Syahawi: disanjung tak merasa tinggi, direndahkan tak merasa hina, dipuja-puja juga biasa saja.