Berikut ini adalah teks, terjemahan, dan kutipan tafsir Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 185, perihal tidak wajibnya puasa bagi orang-orang yang sakit dan orang yang sedang bepergian.
Sebagaimana jamak diketahui, puasa adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh semua umat Islam. Mereka yang sudah memenuhi syarat dan rukunnya memiliki kewajiban untuk menjalani kewajiban tahunan dalam setiap bulan Ramdhan ini. Bahkan, kewajiban itu termasuk maklum min ad-din bi ad-dharurah (diketahui secara pasti dalam ajaran Islam).
Hanya saja, ada beberapa orang yang oleh Allah diberi dispensasi atau keringanan (rukhsah) ketika menghadapi beberapa keadaan, misalnya dalam keadaan sakit, atau bepergian. Dua keadaan seperti ini menjadi penyebab diperbolehkannya tidak puasa. Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran. Allah berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Tafsir Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi
Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab Tafsir wa Khawathiru Al-Quran al-Karim mengatakan, ayat ini menjadi bukti yang sangat jelas bahwa Islam dibangun atas dasar yang tidak memberatkan bagi pemeluknya.
Dalam menjalankan syariat, Allah memberikan beberapa kewajiban, beberapa aturan yang harus dilakukan oleh semua umat Islam. Hanya saja, Dia juga memberikan keringanan bagi mereka-mereka yang tidak mampu melakukan semua kewajiban itu. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang tidak memaksa dan tidak membebani orang yang tidak mampu menjalaninya.
Dengan demikian, orang-orang yang sedang sakit (sekira jika berpuasa akan berpotensi celaka, atau bertambah sakitnya), dan orang yang sedang bepergian (yang bisa memperbolehkan qashar shalat), diperbolehkan untuk tidak puasa.
Menurut Syekh Sya’rawi, kata sakit (maridhan) pada ayat di atas merupakan lafal umum. Oleh karenanya, sakit yang bisa membolehkan tidak puasa bisa ditinjau dari dua aspek, yaitu (1) aspek diri sendiri, sekira memiliki keyakinan yang kuat akan bertambah sakit jika masih berpuasa; dan (2) aspek orang lain, yaitu dokter yang ahli dan dapat dipercaya, ketika dia mengatakan, “Jika engkau berpuasa, maka engkau akan merasakan kesulitan.”
Rasulullah menegur orang puasa ketika bepergian
Perlu diketahui, bahwa bepergian adalah perpindahan dari satu tempat menuju tempat lainnya. Dengan demikian, semua bentuk bepergian memiliki potensi kesukaran (masyaqqah) bagi mereka. Oleh karenanya, dalam Islam terdapat keringanan bagi orang-orang yang bepergian untuk tidak berpuasa, agar tidak mendapatkan dua kesukaran; bepergian dan puasa.
Dalam hal ini, ulama pakar tafsir kontemporer asal Mesir itu mengutip sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir. Dalam kisahnya disebutkan, suatu saat Rasulullah bepergian bersama para sahabat.
Di tengah perjalanan di bawah terik matahari yang panas, terdapat sebuah rombongan yang berdesakan untuk mendapatkan naungan (dari tenda yang mereka buat).
Kemudian Rasulullah bertanya kepada mereka, “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Puasa.” Ketika mendengar jawaban itu, beliau bersabda:
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ اَلصَّوْمُ فِي السَّفَرِ
“Tidak termasuk dari kebaikan, yaitu (tetap) puasa dalam perjalanan.”
Puasa menjadi obat penyakit, benarkah?
Di antara beberapa pembahasan yang sering disalahpahami oleh beberapa orang adalah anggapan bahwa di balik disyariatkannya puasa, agar orang-orang kaya bisa merasakan lapar yang dirasakan oleh orang-orang fakir. Dalam hal ini, pakar tafsir abad 20 dari Azhar itu sangat menolak wacana seperti itu. Sebab, jika seandainya tujuan puasa hanya itu saja, maka kewajiban puasa akan gugur bagi orang-orang fakir, karena mereka sudah merasakan lapar.
Selain itu, ada juga yang banyak disalahpahami oleh sebagian orang. Mereka memiliki anggapan bahwa puasa bisa mengobati beberapa penyakit. Benarkah cara pandang seperti ini?
Menurut ulama yang bergelar Imam ad-Du’ah itu, anggapan seperti ini tentu sangat keliru. Sebab, jika benar, maka Allah tidak akan menggugurkan kewajiban puasa bagi orang-orang yang sakit sebagaimana ayat di atas. Dengan demikian, ketika Allah membolehkan orang sakit untuk tidak puasa, maka bagaimana mungkin seseorang mengatakan bahwa tujuan puasa hanyalah untuk menjadi obat bagi beberapa penyakit?
Alhasil, menurut Syekh Sya’rawi, kita berpuasa murni karena Allah mewajibkannya. Oleh karena itu, selama perintah itu datang dari-Nya, maka wajib untuk patuh dan taat pada semua perintah-Nya. Dan, jika sendainya tampak beberapa hikmah diwajibkannya puasa, maka semua itu sebatas untuk memperkuat keimanan saja. Wallahu A’lam bisshawab.