Apa yang membuat orang melakukan tindakan teror? Banyak jawaban biasa diutarakan, mulai dari faktor psikologi, ekonomi, ideologi, hingga pemahaman keagamaan yang melenceng.
Terbaru meski bukan yang terakhir, seorang wanita berinisial MID ditangkap bersama 4 tersangka teroris lainnya. Wanita ini ternyata mantan napi terorisme (napiter) yang menghirup udara bebas setahun lalu, tepatnya 2 Mei 2021. Dia menjalani hukuman 3 tahun 6 bulan penjara karena menjadi salah satu otak pelaku jaringan media ISIS di Indonesia An-Najiyah. Usai bebas, dia justru menjalin komunikasi dengan An-Naba media ISIS Suriah untuk melancarkan propaganda digital di Indonesia. Seperti dikabarkan berita-berita nasional, mereka berlima ditangkap di Lampung hari Selasa (8/3/2022).
Mereka berlima hanyalah gambaran kecil dari banyaknya potensi kejahatan terorisme yang sewaktu-waktu akan dapat terjadi di Indonesia di tengah gerakan terorisme transnasional yang terus mencari anggota baru.
Kembali ke pertanyaan di atas. Jika memang faktor ekonomi, ternyata ada juga dari teroris dan tersangka teroris yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan ekonomi mapan. Kemiskinan ternyata bukan faktor mendasar yang menyeret seseorang bertindak melakukan aksi-aksi terorisme.
Bila ada benang kuat yang bisa mempertautkan motif dan alasan di balik perilaku terorisme–yang tidak sekadar berupa aksi kejahatan, tetapi juga meliputi perencanaan, pendanaan dan propaganda–maka itu adalah pemahaman dan pola pikir yang menyimpang. Di dunia ini tidak ada agama yang tidak mengajarkan cinta, kasih sayang dan perdamaian. Akal sehat manusia siapapun tidak pernah mengafirmasi yang namanya kekerasan dan menyakiti orang lain.
Menarik untuk membaca analisa terbaru dari Al-Azhar Observatory for Combating Terorisme, sebuah pusat kajian di bawah naungan institusi al-Azhar yang konsen mengkaji terorisme.
Dimuat koran-koran lokal sejak pekan ini, AOCT melihat bahwa sebagian besar pelaku terorisme sebelumnya adalah orang-orang biasa di tengah-tengah masyarakat. Apa rahasia dari transformasi radikal dalam gaya hidup orang-orang ini? Bagaimana pikiran mereka bekerja usai perubahan intelektual yang terjadi pada mereka, tepatnya setelah terjadinya transisi dari gaya hidup normal ke pola kekerasan dan perilaku terorisme?
Ada dua sudut pandang yang bisa diketengahkan di sini untuk mencoba memahami kepribadian seorang teroris dan menganalisa anasir-anasirnya.
Pertama: para psikolog dan dokter kejiwaan mencoba memberikan penjelasan spesifik dalam memahami kepribadian pelaku kejahatan teror. Mereka melihat teroris sebagai orang yang mengidap penyakit mental. Hal itu dikarenakan para psikolog itu mendiagnosa perilaku-perilaku pelaku teror sebagai titik tolak, kemudian kejahatan dan pembunuhan yang mereka lakukan. Bahwa telah tumpul dan mati rasanya emosi mereka terhadap tindakan agresif yang mereka lakukan–dan notabenenya tidak dapat dibenarkan secara agama dan hukum–terhadap masyarakat dan sikap mereka yang kontraproduktif dengan peradaban dan kemajuan zaman. Perilaku-perilaku ini membuat pakar psikologi cenderung memahami kepribadian pelaku teror sebagai individu yang dekat dengan penyakit mental.
Kedua: pelaku teror dilihat sebagai orang yang mengalami distorsi kognitif yang kemudian membawanya untuk menerima dan meyakini pemikiran dan pemahaman yang keliru sembari memegang teguh dan mempertahankannya secara frontal. Distorsi kognitif adalah pemikiran-pemikiran mendasar yang menjadikan individu melihat hakikat sesuatu secara tidak akurat. Pada umumnya, model berpikir demikian kerap memperkuat pikiran dan perasaan negatif. Distorsi kognitif cenderung berpengaruh negatif terhadap cara seseorang melihat suatu peristiwa. Karena cara seseorang merasa sudah berkelindan dengan cara berpikirnya, maka pikiran-pikiran yang terdistorsi ini akan menghidupkan emosi-emosi negatif dalam dirinya kemudian mengarahkan individu yang terpengaruh distorsi negatif ke arah pandangan negatif terhadap kehidupan dan masyarakat tempat dia hidup.
Di hadapan dua sudut pandang ini, kita bisa mengatakan bahwa pihak yang melihat perilaku terorisme dari kaca mata pertama mencoba menstigmatisasi terorisme sebagai penyakit mental, dan ini mungkin karena kebengisan perilaku terorisme dan penyimpangannya dari norma-norma normal atau karena dingin dan matinya perasaan mereka, serta hilangnya simpati mereka saat melakukan kejahatan terorisme–yang bertentangan dengan naluri manusia normal.
Tetapi pandangan bahwa seorang teroris itu mengidap sakit jiwa sebenarnya merupakan sesuatu yang sulit diterima. Bahkan dapat mengalienasi kita dari cara pandang yang tepat dalam memahami, menjelaskan, dan menangani fenomena terorisme yang meraja lela di dunia. Pengkaji organisasi-organisasi terorisme melihat bahwa mereka identik dengan ciri sangat rahasia, berhati-hati dan waspada. Begitu juga dengan strategi-strategi yang mereka gunakan untuk merekrut anak-anak muda, dan strategi mereka dalam menghindar dan bersembunyi.
Semua faktor ini membuat kita sulit untuk menerima kalau organisasi-organisasi teroris dapat dengan mudah menerima orang-orang yang mengidap gangguan mental ke dalam barisan prajurit mereka. Sesuatu yang justru dapat membahayakan kelompok mereka, menggagalkan aksi rencana mereka dan membuat rahasia mereka terbongkar. Di sisi lain, upaya-upaya dari kelompok-kelompok teror untuk membela diri secara intelektual (ideologi) dalam membenarkan setiap kejahatan yang mereka lakukan, mendorong kita untuk mempertimbangkan kembali pandangan bahwa teroris adalah orang dengan gangguan mental. Satu hal yang mengantarkan kita untuk mengatakan bahwa distorsi-distorsi kognitif dan pemikiran-pemikiran irasional berkontribusi dalam skala besar dalam membentuk kepribadian seorang teroris. Jika kita menerima pandangan ini, maka cara efektif untuk masuk, mengintervensi dan mengubah pandangan-pandangan mereka adalah lewat meninjau ulang pemikiran dan pandangan mereka dalam porsi yang lebih besar daripada lewat pendekatan psikologis.
Kita sebagai kalangan akademisi, intelektual, agawaman dan masyarakat secara umum memikul tanggung jawab yang sama untuk mencegah–seminimal-minimalnya diri kita sendiri, orang terdekat, keluarga, teman dan tetangga kita sendiri–dari terpapar distorsi-distorsi kognitif yang menjerumuskan pola pikir ke arah ekstremisme, radikalisme dan terorisme.
Tulisan lahir dari hasil diskusi Sanad Media Center for Contra-Terrorism.