Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Alasan dianjurkan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban

Avatar photo
27
×

Alasan dianjurkan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban

Share this article

Mungkin sebagian kelompok beranggapan bahwa kaum Muslim di zaman sekarang semakin jauh dari metodologi Islami mereka yang agung. Bagi kaum minoritas, tradisi atau pun adat yang dilakukan kaum Muslim di era modern ini, telah menyingkirkan hakikat ajaran Islam yang semestinya.

Salah satu wujud tradisi yang banyak diminati kaum Muslim ialah menghidupkan malam nisfu Sya’ban, kegiatan ini telah berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi. Lebih-lebih bila kita merujuk kepada antusiasme masyarakat Hadramaut, yang mayoritas memperingati momen tersebut dengan mengadakan perkumpulan di masjid-masjid dan mengerjakan amalan-amalan sunnah di dalamnya.

Muncul pertanyaan, apakah perayaan malam Nisfu Sya’ban ini pernah dilakukan Rasulullah Saw dan para sahabatnya? Bukankah ini ada sesuatu yang baru dalam syariat? Dan bukankah hal tersebut adalah bid’ah yang menyimpang dari sunnah Nabi?

Tanpa pikir panjang, mereka kaum yang tergolong minoritas ini serta merta berkelakuan mengharamkan apa yang diperbuat oleh mayoritas umat Muslim. Menolak kebenaran yang ada, dan menyelimutinya dengan bingkai kedustaan.

Masih saja mereka menggugat, bahwa seluruh tradisi mengenai perayaan momen-momen ke-Islaman adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. Merujuk hanya kepada 1 hadits, tanpa peduli dengan riwayat lain yang mengungkapkan terkait kebenarannya.

Gugatan lain yang kian mereka suarakan pula ialah bahwa tak ada satupun dalil yang menunjukkan adanya keutamaan pada malam nisfu Sya’ban, tidak dari Rasul, pun dari sahabat dan tabi’in lainnya. Dan menurutnya, tradisi semacam ini tidak dibenarkan oleh Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ ulama.

Menanggapi perihal di atas,  perlu kita ketahui, bahwa di dalam malam nisfu Sya’ban tersimpan banyak keistimewaan yang tak bisa kita jumpai di waktu selainnya. Di antaranya ialah turunnya rahmat Allah swt, terbukanya pintu taubat, terkabulnya segala jenis do’a, dilapangkannya segala kesulitan, terbebasnya penghuni neraka dari siksaan, ditetapkannya takdir rezeki  dan umur bagi seorang hamba, dll.

Adapun landasan dalil utama bahwa malam nisfu Sya’ban adalah malam istimewa, hal ini senada dengan firman Allah swt,

(إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ(3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ(4) (الدخان:3-4)

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”

Dalam kitab Ruh Al-Ma’ani, Imam Al-Alusiy menyebutkan bahwa Ikrimah beserta sejumlah ulama lainnya menafsirkan bila maksud waktu malam dari ayat di atas adalah malam nisfu Sya’ban, malam ini disebut pula sebagai malam yang penuh rahmah lagi berkah.

Termasuk dari keistimewaan malam nisfu Sya’ban pula ialah disahkannya amalan seorang hamba dalam setahun, yang kemudian dilaporkan kepada Allah swt oleh malaikat.

Selanjutnya, dalil yang mendukung akan adanya keistimewaan di malam nisfu Sya’ban ialah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh banyak sahabat, di antaranya:

عن عائشة رضي الله عنها قالت فقدت النبي صلى الله عليه وسلم فخرجت فإذا هو بالبقيع رافعا رأسه إلى السماء فقال: أكنت تخافين أن يحيف الله عليك ورسوله فقلت يا رسول الله ظننت أنك أتيت بعض نسائك فقال: إن الله تبارك وتعالى ينزل ليلة النصف من شعبان إلى السماء الدنيا فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب.

          Dari Aisyah ra berkata: “Saya kehilangan Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau berada di Baqi’ sambil mengangkat kepala ke langit”. Beliau berkata: “Apakah engkau takut engkau dizalimi oleh Allah dan Rasul-Nya?” Saya menjawab: “Ya Rasulullah, saya menyangka engkau mendatangi sebagian istri engkau”. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi turun pada malam nishfu Sya’ban ke langit dunia, maka Allah SWT mengampunkannya lebih banyak dari bulu domba Bani Kalab.” (HR. Imam Ahmad)

عن أبي بكر ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا كان ليلة النصف من شعبان ينزل الله تبارك وتعالى إلى سماء الدنيا فيغفر لعباده إلا ما كان من مشرك أو مشاحن لأخيه.

Dari Abi Bakar ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Apabila tiba malam nisfu Sya’ban Allah swt akan turun ke langit dunia dan akan mengampuni siapa saja yang memohon ampun kepadanya kecuali musyrik dan orang yang menjauh (memutus silaturahmi) kepada saudaranya. (Musnad Al-Bazzar)  

عن علي عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا كان ليلة نصف شعبان فقوموا ليلها وصوموا نهارها فإن الله تعالى ينزل فيها لغروب الشمس إلى السماء الدنيا فيقول: ألا مستغفر فأغفر له ألا مسترزق فأرزقه ألا مبتلي فأعافيه ألا كذا ألا كذا حتى يطلع الفجر.

“Apabila tiba malam nishfu Sya’ban maka shalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena (rahmat) Allah SWT akan turun ke langit dunia pada saat tersebut sejak terbenam matahari dan Allah SWT berfirman: “Adakah ada orang yang meminta ampun, maka akan Aku ampunkan, adakah yang meminta rezeki, maka akan Ku berikan rezeki untuknya, adakah orang yang terkena musibah maka akan Aku lindungi, adakah sedemikian, adakah sedemikian, hingga terbit fajar”.

Dari sekian hadits yang dipaparkan di atas, bisa dikata bahwa malam nisfu Sya’ban memiliki keutamaan dan keistimewaan tersendiri ketimbang yang lainnya. Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi, Imam Mubarakfury menuturkan,

اعلم أنه قد ورد في فضيلة ليلة النصف من شعبان عدة أحاديث مجموعها يدل على أن لها أصلا.

“Ketahuilah, bahwa keutamaan malam nisfu Sya’ban telah disebutkan dalam sejumlah hadits yang dapat disimpulkan bahwa kesemuanya menandakan adanya keutamaan tersebut.”

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan, “Alhasil, malam nisfu Sya’ban memiliki keutamaan yang tak perlu diragukan lagi. Di dalamnya terdapat ampunan serta dikabulkannya segala do’a.”

Meski hadits-hadits yang mengutarakan keutamaan malam nisfu Sya’ban dinilai dhaif (lemah), hal itu tidak menghalangi untuk dijadikan landasan dalil dalam fadhailul a’mal (keutamaan perbuatan), hal ini selaras dengan apa yang fikirkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imam Nawawi.

Tak hanya dari kalangan ulama Sunni, bahkan Syaikh Ibnu Taimiyyah juga menetapkan keutamaan dan keistimewaan malam nisfu Sya’ban, tuturnya:

“Dari sini kita fahami, bahwa keutamaan malam nisfu Sya’ban telah diriwayatkan oleh banyak perawi, dan para salafus salih juga ikut serta dalam menghidupkan malam tersebut dengan memperbanyak shalat, dan puasa. Memang benar, ada sebagian ulama dari Madinah mengingkari keutamaan tersebut, namun pendapat yang lebih diutamakan ialah pendapat jumhur Ulama yang menetapkan adanya keutaaman pada malam tersebut.”

Dalam kitab Faidhul Qadir, Imam Al-Munawi memaparkan,

“Ada 5 malam yang mana sebuah do’a tak akan tertolak bila ia memanjatkannya sembari menjaga rukun dan adab-adab dalam berdo’a. Malam itu ialah malam pertama bulan Rajab, malam pertengahan bulan Sya’ban, malam Jum’at, malam Idul Fitri dan malam Idul Adha. Disunnahkan untuk menghidupkan malam tersebut dengan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama salaf.”

Membantah pernyataan kaum minoritas yang mengklaim bahwa tak ada satupun salafussalih yang merayakan malam nisfu Sya’ban, Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali menegaskan,

“Dahulu, para tabi’in dari negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan, Makhul, Lukman bin Amir dll senatiasa mengagunggkan dan bermujahadah di malam nisfu Sya’ban dengan memperbanyak ibadah. Hingga masyarakat setempat dan yang lainnya mengikuti apa yang dilakukan mereka.”

Selain ulama Syam, masyarakat kota Mekkah pun ikut serta dalam menghidupkan dan merayakan malam nisfu Sya’ban, Imam Ibnu Bathutah berkata:

“Dan malam nisfu Sya’ban merupakan malam yang diagungkan oleh penduduk kota Mekkah, di saat malam itu tiba mereka akan segera mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti thawaf, shalat berjamaah, umrah, dan akan berkumpul di Masjidil Haram sembari menyalakan api yang menyinari setiap sudut masjid. Dengan begitu langit maupun bumi terisi dengan cahaya.”

Dengan begini sudah jelas, bahwa tradisi perayaan malam nisfu Sya’ban berlandaskan dalil kuat yang sesuai dengan syariat agama dan tak bisa dipungkiri. Akan halnya dalil yang dinyatakan oleh pihak yang mengharamkannya tak bisa dijadikan hujjah (dalil yang kuat) dalam menolak tradisi ini. Wallahu A’lam Bisshowab..

 

Referensi:

1. Al-Fatwa Al-Fiqhiyyah Al-Khubra, karya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami.

2. Faidhul Qadir Syarah Jami’ah As-Shagir, karya Imam Abdurrauf bin Tajul Arifin Al-Munawi.

3. Tafsir Al-Alusi Ruhul Ma’ani, karya Imam Syihabuddin Mahmud bin Abdiillah Al-Alussy.

4. Tuhfathul Ahwadzi fi Syarhi Sunan At-Turmidzi, karya Syekh Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfuri.

Kontributor

  • Faisal Zikri

    Pernah nyantri di Daarul 'Uulum Lido Bogor. Sekarang meneruskan belajar di Imam Shafie Collage Hadhramaut Yaman. Suka membaca, menulis dan sepakbola.