Kelompok Mujassimah seringkali menafsiri ayat-ayat Al-Quran secara tekstual. Di antara yang paling menyita perhatian adalah tafsir mereka terkait ayat-ayat mutasyabih, yang secara tekstual menggambarkan Allah SWT berjisim sebagai manusia. Seperti ayat “ar-Rahmân ‘ala ‘arsy istawâ” dan ayat “kullu syai’in hâlik illâ wajhah”.
Menyikapi hal tersebut, Imam Nuruddin al-Shabuni dalam kitabnya al-Kifâyah wa al-Hidâyah menyebutkan bahwa kelompok Mujassimah seringkali mengada-ngada cerita dan khabar. Lantas cerita dan khabar tersebut disandarkan kepada Rasulullah SAW. Padahal telah jelas, baik matan maupun sanad khabar tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Sehingga tidak bisa dijadikan landasan dalam argumen mereka tentang Allah SWT yang berjisim.
Sedangkan yang telah kita ketahui bersama, dalil-dalil tanzih (menjauhkan) Allah SWT dari hal-hal yang menyerupai makhluk dan hal-hal yang tidak pantas bagi-Nya adalah dalil-dalil qath’i (pasti). Baik dalil aqli maupun naqli.
Secara aqli, Allah SWT adalah Pencipta semesta alam; Dzat yang mengadakan alam semesta setelah ketiadaannya. Lantas Allah SWT adalah wajibul wujud yang keberadaan-Nya tidak bergantung kepada selain-Nya. Akan tetapi wujud selain-Nya lah yang bersandar kepada Allah SWT. Maka, Dzat yang keberadaan-Nya menjadi sebab keberadaan semesta alam, mustahil menyerupai makhluk ciptaan-Nya sendiri.
Dalam Al-Quran juga disebutkan “laisa kamitslihi syai’un”, tidak ada satu pun makhluk yang menyerupai Allah SWT. Lantas, jika kita dihadapkan pada dua dalil, yang satu dalil qath’i secara aqli dan naqli, sedangkan lainnya adalah riwayat yang tidak mencapai derajat mutawattir. Maka sudah tentu dalil qath’i lah yang harus kita imani.
Dua Manhaj Ulama Ahlus Sunnah
Dalam memaknai ayat-ayat Al-Quran yang secara tekstual meggambarkan Allah SWT berjisim, ulama Ahlus Sunnah mengamini dua manhaj berikut.
Pertama, menerima dan membenarkan ayat-ayat tersebut, serta mengembalikan makna ayat tersebut kepada Allah SWT tanpa menafsiri sedikit pun tentang ayat tersebut. Pun dengan meyakini sepenuh hati bahwa mustahil bagi Allah SWT menyerupai makhluk-Nya. Cara ini yang kebanyakan dipilih oleh ulama salafussalih.
Sedangkan manhaj kedua berikut, adalah yang kebanyakan diambil oleh ulama khalaf. Yakni menerima dan membenarkan ayat-ayat tersebut, serta mentakwilnya untuk mendapatkan makna yang mentanzih keserupaan Allah SWT dengan makhluk. Dengan syarat takwil tersebut tidak keluar dari kaidah bahasa Arab dan tidak mengklaim hasil takwil tersebut sebagai makna yang diinginkan oleh Allah SWT. Sosok yang membuka jalan kebolehan takwil ayat Al-Quran adalah Imam Abu Hanifah. Sebagaimana yang termaktub dalam karyanya, al-‘Âlim wa al-Muta’allim.
Baik ulama Ahlus Sunnah yang mengambil manhaj pertama maupun yang kedua, tidak mempertentangkan kedua manhaj tersebut. Juga tidak saling mengingkari satu dengan yang lainnya. Sebagian ulama saat ditanya sikap mereka tentang dua manhaj tersebut, menjawab
طريق السلف أسلم وطريق الخلف أحكم
“Jalan ulama salaf lebih aman. Dan jalan ulama khalaf lebih bijaksana.”
Yang dimaksud cara ulama salaf lebih aman, yakni jika dinisbatkan kepada orang awam. Sebab akal mereka belum siap menerima dalil-dalil takwil yang agaknya sulit dan sukar untuk dipahami oleh mereka. Sehingga jika suatu saat mereka bertanya tentang ayat dan khabar mutasyabih, lantas dijelaskan takwil ayat tersebut, maka bisa berujung penolakan. Hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Imam Malik, saat beliau ditanya tentang ayat ar-Rahmân ‘ala ‘arsy istawâ. Imam malik menjawab:
الاستواء معلوم والكيفية مجهولة والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة
“Istiwa telah diketahui maknanya, sedangkan bentuknya tidak diketahui. Adapun mengimaninya adalah perkara wajib dan memperetanyakannya adalah bid’ah.”
Sedangkan yang dimaksud cara ulama khalaf lebih bijaksana, yakni jika disandarkan kepada ulama-ulama yang sudah terbukti kealimannya. Mereka yang sudah memiliki kapasitas untuk mengkaji serta ijtihad untuk mencari makna ayat-ayat mutasyabih tersebut, dengan meninjau dan istisyhâd (menghadirkan dalil-dalil yang menguatkan pendapatnya).