Bukti dari kondisi masyarakat yang kental dengan sistem patriarki adalah pertama masih adanya subordinasi terhadap salah satu jenis kelamin, umumnya kaum perempuan. Dalam sebuah rumah tangga, masyarakat, maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa menganggap penting kaum perempuan. Misalnya saja adanya anggapan bahwa tugas perempuan pasti di dapur dan di ranjang, makanya tidak perlu sekolah tinggi-tinggi.
Contoh lainya dari proses subordinasi dan diskriminasi gender adalah: karena ada anggapan yang hidup di masyarakat bahwa perempuan memiliki pembawaan emosional, mereka kerap dianggap tidak tepat tampil sebagai pemimpin atau manajer. Selama berabad-abad, dengan dalih agama, kaum perempuan tidak diperkenankan untuk menjadi pemimpin, termaksud masalah keduniaan, tidak dipercaya memberikan kesaksian, bahkan tidak memperoleh warisan. Adanya penafsiran agama yang berdampak pada subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan itulah yang menjadi problem. Bentuk dan mekanisme proses subordinasi tersebut berbeda-beda dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat.
Kedua, adalah pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu, dan streotipe tersebut mengkibatkan terjadinya diskriminasi serta pelbagai ketidakadilan lainnya. Dalam masyarakat banyak sekali stereotipe yang disematkan kepada kaum perempuan sehingga berdampak pada tindakan yang membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan mereka. Karena adanya keyakinan masyarakat bahwa laki-laki merupakan pencari nafkah misalnya, maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dianggap tidak ada artinya, dan sebab itu boleh saja dibayar lebih rendah. Itulah sebabnya dalam salah satu keluarga sopir (dianggap pekerjaan laki-laki) sering dibayar lebih besar dibandingkan pembantu rumah tangga (peran gender perempuan), walaupun tidak ada yang menjamin bahwa pekerjaan sopir lebih berat dibanding memasak dan mencuci.
Ketiga, kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, karena perbedaan gender. Kekerasan ini meliputi fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, hingga bentuk yang paling halus sekalipun berupa pelecehan, dan penciptaan ketergantungan. Banyak sekali kekerasan perempuan yang disebabkan kekerasan gender. Perbedaan dan sosialisasi gender yang dipahami sejak lampau, yang mengakibatkan kaum perempuan memiliki fisik lemah dan laki-laki lebih kuat, membuat masyarakat tidak mempermasalahkan anggapan bahwa lemahnya perempuan tersebut membuat laki-laki boleh dan bisa seenaknya memukul dan memperkosa perempuan. Banyak sekali pemerkosaan yang dipicu oleh kekerasan gender dan kekuasaan yang disamadkan pada perempuan.
Keempat, disebabkan adanya peran gender perempuan sebagai pengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama. Dengan kata lain, peran gender perempuan mengelola, menjaga dan memelihara kerapian tersebut, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik.
Dampak dari keyakinan itu menimbulkan rasa bersalah dalam diri perempuan jika tidak menjalankan tugas-tugas domestik tersebut. Sedangkan bagi kaum laki-laki, tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan di banyak tradisi melarang laki-laki untuk bekeja domestik. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi perempuan jika bekerja di luar rumah tangga. Selain bekerja di luar mereka juga harus bertanggung jawab atas keseluruhan pekerjaan domestik.
Semua ketidakadilan gender terhadap perempuan itu saling berkaitan dan secara dialektis saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Akhirnya baik laki-laki dan perempuan menpercayai dan terbiasa dengan peran gender itu seolah-olah merupakan kodrat yang sudah ditentukan tuhan. Pemahaman yang terus berkembang di tengah-tengah masyarakat khususnya masyarakat muslim itu berangkat dari sistem patriarki yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab klasik, misalnya saja dalam kitab Uqud al-Lujjayn. Syakh Nawawi Al-Bantani di dalam kitabnya ini cenderung melenggengkan tatanan patriarki (baik pada tatanan keluarga maupun sosial). Menurut teologi feminisme muslim, keberadaan perempuan setara dan menjadi partner bagi laki-laki. Salah satu yang sepakat dengan pandangan ini adalah Fatimah Mernissi. Dalam bukunya Wanita Dalam Islam Mernissi mengkritik buduya patriarki atas nama agama.
Dalam mengkritik pandangan ulama konvensional yang menyatakan perempuan tidak layak menjadi pemimmpin sebagaimana dijelaskan dalam Qs. An-Nisa ayat 34, Fatimah Mernissi berpandangan bahwa ayat tersebut memberikan wewenang kepada para lelaki untuk mendisiplinkan kaum perempuan, meletakkan perempuan pada tempatnya jika itu berhubungan dengan ibadah kepada Allah dan suaminya. Ini disebabkan karena Allah telah memberikan kewenangan kepada para lelaki (suami). Kewenangan ini didasarkan atas mas kawin yang telah diberiakan suami kepada istrinya dan nafkah. Kendati semua ulama sepakat mengenai superioritas kaum laki-laki atas wanita, namun tidak ada kesamaan pendapat mengenai seberapa besar kewenangan kaum lelaki, terutama dalam masalah nusyuz, pemberontakan dalam soal seks.
Di samping itu Fatimah Mernissi juga berpandangan adanya keinginan Tuhan untuk mengembangkan perlakuan sama antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam Islam, seperti dalam kasus Ummu Salamah. Dia memperkenalkan bahwa salah satu faktor pembangunan sosial yang mapan adalah kekayaan. Menurut Mernissi dengan mengutip rumah tangga Nabi Muhammad SAW bersama Siti Khadijah dalam cerita At-Thabari. Secara ekonomi walaupun istrinya atau Siti Khodijah lebih mapan dari Nabi Muhammad SAW, namun ketika Nabi Muhammad SAW menghadapi kegundahan dalam menerima wahyu yang pertama, Siti Khodijah tampil sebagai air penyejuk atau penenang bagi Rasulullah SAW. Jadi yang tepat adalah status Laki-laki sebagai suami merupakan pemimpin yang mengayomi, bertanggung jawab, dan melindungi keluarga, dan wanita atau seorang istri sebagai pendamping, pengatur rumah tangga dan partner bagi suami.
Untuk mengetahui lebih jauh pemikiran Fatimah Mernissi tentang relasi laki-laki dan perempuan, alangkah baiknya kita menengok sejenak bagaimana pandangannya tentang hak dan kewajiban perempuan dalam keluarga.
-
Pentingnya Ilmu Pengetahuan
Islam sangat mewajibkan bagi setiap muslim untuk menuntut ilmu sebagaimana telah dikemukakan dalam hadits “Mencari ilmu wajib bagi kaum muslim”. Tentu yang dimaksud muslim adalah laki-laki dan perempuan. Para ulama telah sepakat, menuntut ilmu berlaku bagi setiap laki-laki dan perempuan. Aisyah ra. pernah berkata, “Betapa hebatnya kaum wanita Ansar! Mereka tidak malu dalam belajar ilmu pengetahuan yang benar dalam agama.”
Dalam menuntut ilmu Fatima Mernissi berpendapat bahwa tidak ada sekat bagi siapa pun baik laki-laki maupun perempuan. Entah itu mencakup ruang dan waktu. Selain itu ia juga mengatakan, tidak ada peraturan yang mengkhususkan perempuan untuk mempelajari satu cabang ilmu saja.
Pendapat ini berangkat dari kritikan Fatimah Mernissi terhadap kaum fundamentalis yang menganggap tugas seorang perempuan hanya terbatas pada lingkup rumah tanngga saja. Klaim yang ditunjukkan kaum fundamentalis itu sebenarnya berkaitan dengan gagalnya era revolusi dalam Islam. Sehingga mereka mencoba menciptakan sistem yang sepenuhnya dikuasai oleh laki-laki, seperti abad-abad lalu.
-
Bekerja
Seorang istri memiliki hak untuk bekerja di luar rumah. Di zaman sekarang banyak kita jumpai perempuan yang bekerja di luar rumah entah sebagai manajer, karyawan, artis dan buruh sekalipun.
Menurut Fatimah Mernissi sekalipun perempuan telah menikah, tidak menghalangi keinginannya untuk berperan aktif di ranah publik. Perempuan memiliki hak bekerja di luar rumah laiknya laki-laki dan menentukan kapan harus berkumpul bersama suami.
Fatimah Mernissi mencontohkan kehidupan Nabi Muhammad SAW bersama istri-istrinya. Sebagai seorang pemimpin dalam pelbagai ekspedisi, Nabi Muhammad SAW kerap melibatkan istrinya dalam beberapa masalah strategi. Misalnya saja di tahun 5 Hijriyah ketika Nabi sedang melawan kaum Yahudi di Qurayza, Ummu Salamah salah satu istri Nabi dilibatkan dalam kasus pembebasan tawanan perang.
Di samping itu beliau bisa menempatkan ranah privat dan publik dalam suatu hubungan yang erat. Beliau kadangkala langsung shalat begitu meninggalkan tempat tidur A’isyah, namun beliau tetap melakukan ekspedisi denagan ditemani satu atau dua orang istrinya, yang sudah tidak asing lagi dengan masalah publik, bergerak bebas dan mengetahui apa saja yang sedang terjadi.
-
Mu’asyarah bi al-Ma’rūf
Fatimah Mernissi menentang keras kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Ini dijelaskan dalam karianya Wanita Dalam Islam dimana dalam sejarah kekhalifahan Umar dan para laki-laki Madinah menganggap sikap Nabi Muhammad SAW tidak wajar ketika memperlakukan perempuan dengan lemah lembut dan melarang untuk memukulnya. Rasulullah SAW bersabda, “saya tidak sanggup melihat laki-laki yang pemarah memukul istrinya ketika amarahnya sedang bergejolak.”
Menurut Fatima Mernissi sifat kemaksuman yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW merupakan penjelasan bahwa Islam mengedepankan egaliteran. Dengan demikian hendaknya dalam suatu keluarga harus mengasihi dan menyayangi dan menghindari sesuatu yang menyakiti pasangannya. Baik psikis ataupun fisik yang tidak sepantasnya dilakukan. Adanya pandangan tentang Qs. An-nisa ayat 34 yang menjelaskan seolah-olah adanya subordinasi, legatimasi, fanatik budaya patriarki tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Baca juga: