Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Fatima Mernissi, Feminis Asal Maroko (bagian 1)

Avatar photo
52
×

Fatima Mernissi, Feminis Asal Maroko (bagian 1)

Share this article

Salah satu tujuan keberadaan manusia di muka bumi ini adalah untuk menyembah kepada Allah (QS. Az-Zariyat 51:56). Sebagai seorang hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai peluang yang sama untuk menjadi hamba saleh, tergantung bagaimana merekah mengembangkan potensi di dalam dirinya.

Selain sebagai hamba, Allah menciptakan manusia di muka bumi juga untuk menjadi khalifah. Tidak ada perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa atau ras kedua-nya (laki-laki-perempuan) memiliki tugas yang sama yakni sebagai khalifah, yang akan dimintai pertanggung jawaban kelak akhir sebagaimana hamba Tuhan.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah dan hamba, Allah juga menjadikan merekah berpasang-pasangan. Dan diantara pasangan tersebut Allah menganugrakan naluri seksual (ketertarikan) kepada setiap pasangannya masing-masing. Untuk itulah dorongan selalu berkumpul satu dan lain sangat kuat. Tujuanya di samping menyalurkan hasrat seksual, juga agar keduanya saling mengenal. Sebagaimana firman-Nya; Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengigat (kebesaran Allah).(QS. Az-Zariyat 51:49)

Di samping itu perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk, baik pada manusia, hewan maupu tumbuh-tumbuhan. Sebagai cara yang dipilih Allah untuk beranak pinang, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing melakukan peranannya dengan baik dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum agar hubungan antara laki-laki  dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan rasa saling meridhoi.

Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa berkeluarga itu termaksud sunnah rasul mulai dari rasul terdahulu sampai terakhir Nabi Muhammad SAW, sebagaimana tercantum: “Dan sesunggunya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan…” (QS. Ar-Ra’d 38).

Berkelurga yang baik menurut Islam sangat menunjang kesejahteraan. Disisi lain keluarga juga dapat menambah amal kebaikan yang berkisinambungan. Kendati perkawinan memiliki tujuan yang baik, yaitu membangun keluarga sakina mawadda warahma, namun pada tatanan prakteknya tidak semudah membalikan telapak tangan. Sebab, mencari titik temu di antara dua karakter yang berbeda (laki-laki dan perempuan) tidak mudah. Disinilah muncul dua pandangan yang saling bersebrangan menyangkut peran, hak, dan kewajiban diantara keduanya. Di satu sisi sering menempatkan perempuan sebagai mahluk nomor dua. Sehingga, segala tindak-tanduk seorang perempuan (istri) hanya sah dan benar jika telah mendapat restu suami. Karenanya, tak heran jika perempuan hanya layak berperan di kasur, dapur dan sumur.

Pandangan tersebut juga mengacu pada tradisi dan kebudayaan. Misalnya saja pada masa pra Islam. Perempuan hidup dalam sebuah keluarga yang mempraktekan poligami dan sistem perkawian yang memuja laki-laki. Setiap laki-laki (suami) memiliki otoritas penuh, untuk itulah kadang kala perempuan diserahkan kepada laki-laki lain. Masyarakat  pra-Islam juga pernah mengenal tradisi buruk  seperti wa’d  al-banat, yaitu mengubur hidup-hidup bayi  perempuan  yang baru lahir karena watak kekerasan, dan implikasi  ideologis ketika itu terhadap bayi perempuan. Praktek jahiliyah lainnya berkenaan dengan hakikat pernikahannya yang posesif. Tampak menonjol kontroversinya adalah nikah syigar yang menjadikan  perempuan laiknya barang dagangan.

Islam kemudian hadir dengan nilai-nilai yang sarat akan konsep humanisme universal. Namun, hambatanya adalah substansi penafsiran. Proses penafsiran keagamaan tetap memegang peran penting dalam melegitimasi ketidakadilan kaum perempuan.

Ajaran tersebut dirumuskan dalam struktur masyarakat patriarkhi. Selain itu para mufassir yang rata-rata adalah kaum lelaki. Interpretasi yang dilakukan para ulama tafsir, tidak akan bisa dilepaskan dari  latarbelakang orang yang  menginterpretasikan. Meskipun  ayat  yang  dirujuk adalah sama, hasilnya akan berbeda.  Setiap  individu, akan  membuat  sejumlah  pilihan  yang sifatnya subyektif sesuai dengan kehendaknya.

Karena itu, desakan terarah pada patriarki yang sebelum sudah terbangun melalui asumsi dasar. Pertama, manusia partama  adalah  laki-laki,  dan perempuan  diciptakan  darinya, sehingga ia adalah makhluk sekunder. Kedua,walaupun  perempuan  adalah  makhluk  kedua dalam proses penciptaan, ia  adalah  makhluk pertama dalam membuat dosa, dialah yang menggoda Adam sehingga akhirnya terusir dari surga. Ketiga, perempuan  bukan  saja  dari  laki-laki, tetapi juga untuk laki-laki.

Asumsi ini kemudian berimplikasi  pada munculnya  anggapan  bahwa  perempuan  tidak  mempunyai  hak  untuk  mendefinisikan  status,  hak  dan martabatnya, kecuali apa yang telah disediakan kaum laki-laki untuknya. ketimpangan-ketimpangan  ini kemudian melahirkan  semangat rasisme, kelas,  kolonialisme, deradikalisme, serta seksisme yang diatur oleh  struktur  kekuasaan laki-laki. Pelbagai tafsiran ini kemudian dijadikan narasi besar (grand narrative) untuk merumuskan kembali Islam yang murni dan  benar. Murni  karena  tafsiran-tafsiran  yang berkembang tidak dapat disebut representasi kandungan Islam, malah justru bertentangan dengan nilai-nilai dasar.

Pandangan ini kemudian mendapatkan reaksi keras dari para aktivis Gender untuk merespon pesoalan-persoalan yang menyangkut kaum perempuan. Di mulai dari menempatkan perempuan dalam sejarah sebagai agen-agen sosial dan politik. Bagi merekah yang terpenting dalam ajaran Islam adalah ajaran etisnya dan egaliternya bukan ajaran legalistiknya. Sebab, walaupun Islam melambangkan hirarki antara jenis kelamin, tetapi ia mendasarkan pelaksanaan hirarki itu pada ajaran etisnya. Misalnya saja Riffat Hassan yang mengatakan apa yang dialami perempuan selama ini, berasal dari keyakinan yang mengakar kuat di kalangan muslim mengenai hak-hak yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Konsekuensinya, perempuan tidak menyadari bahwa mereka telah ditindas oleh oleh masyarakat yang berpihak pada laki-laki.

Fatima Mernissi dan Pemikirannya

Di tengah dua arus tersebut, mucul seorang tokoh asal Maroko, Fatima Mernissi, yang telah memberikan sumbangsi besar terhadap pembahasan ini. Dia adalah seorang Profesor dalam bidang sosiologi di Univer sitas Muhammad V Rabat. Lahir di salah satu harem di Kota Fez Marokko Utara pada tahun 1940-an. Sebagai ilmuan Mernissi aktif menulis, terutama yang berkenaan dengan masalah wanita diantaraya  Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society (Revised Edition), 1987, Indiana University Press, Edisi Bahasa Inggeris. Membahas tentang seks dan wanita, Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Yaziar Radianti, Pustaka Bandung, 1994. Membahas tentang wanita dan politik, Islam and Democracy: Fear of Modern World, diterjemahkan dari Bahasa Perancis oleh Mary Jo Lakeland, 1992. Membahas tentang wanita dan demokrasi dan masih banyak lagi.

Secara sistematis pemikiran Fatima Mernissi mencoba menjernihkan pemahaman terhadap konsep-konsep agama, dalam hal ini masalah kesetaraan laki-laki dan perempuan, sehingga bisa tetap relevan di tengah-tengah tuntutan antara tradisi dan modernisasi. Ia juga mengikuti pola kritis dan analisis historis. Dengan mengajukan pelbagai pertanyaan yang dianggap merisaukan, dan pertanyaan paling mendasar seperti mungkinkah Islam mengajarkan diskriminasi terhadap perempuan? Mungkinkah Rasulullah yang dikenal sangat penyantun itu tega mengeluarkan sabda-sabda yang memojokkan perempuan? Benarkah tradisi yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan merupakan ajaran Islam? Dan berbagai pertanyaan lainnya.

Tak hanya itu, Mernissi juga melakukan telaah kritis terhadap penyebaran hadits-hadits yang membenci kaum wanita. Menurutnya, penyebaran hadits-hadits ini disebabkan oleh kekuasaan politik dan ekonomi yang dilegitimasi oleh agama, yang dimulai pada abad tujuh hingga seterusnya. Akibatnya, wacana keagamaan banyak di banjiri oleh hadits-hadits yang mengabsahkan keistimewaan tertentu dan memapankan kedudukan pemiliknya.

Mernissi berpendapat bahwa pasifitas kaum wanita, pemingitan dan kedudukannya yang marjinal dalam masyarakat Muslim tidak ada hubungannya dengan tradisi Muslim, tetapi ini adalah konstruksi dan rekayasa ideologi masa kini. Menurutnya, jika hak-hak wanita merupakan masalah bagi sebagian kaum lelaki Muslim Modern, hal itu bukanlah karena tradisi Islam, tapi semata-mata karena hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum elit lelaki.

 

Baca juga: 

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.