Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Tafsir Syekh Sya’rawi Surat Al-Hujurat 13, Mengapa Manusia Diciptakan Berbeda-beda?

Avatar photo
36
×

Tafsir Syekh Sya’rawi Surat Al-Hujurat 13, Mengapa Manusia Diciptakan Berbeda-beda?

Share this article

Berikut ini adalah teks, terjemahan, dan kutipan tafsir menurut Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, tentang penciptaan manusia yang bersuku-suku, berbangsa-bangsa, berbeda-beda warna kulit dan lainnya, sebagaimana termaktub dalam surat al-Hujurat ayat 13.

Secara umum, ayat 13 dari surat al-Hujurat ini menggambarkan keadaan manusia yang hidup dengan sangat multikultural dan plural. Oleh karenanya, hidup bersosial antarumat, antarbangsa, dan antaragama menjadi momentum yang sangat penting untuk dilakukan semua manusia. Hal ini tidak lain agar saling mengenal bisa tercipta dalam diri mereka masing-masing.

Selain itu, ayat berikut ini juga menjelaskan perihal larangan untuk membeda-bedakan orang lain, mulai dari segi ras, bangsa, agama, hingga warna kulit. Perbedaan dalam hal itu merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindari oleh siapa pun.

Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kamudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)

Tafsir Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi

Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab Tafsir al-Khawathir lisy-Sya’rawi mengatakan, pada ayat ini, dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling menjelekkan atau merendahkan yang lainnya.

Hikmah di balik semua itu tidak lain agar mereka bisa saling mengenal, saling menolong antar satu dengan yang lainnya. Dari sini, perbedaan seharusnya menjadi sebuah momentum bagi manusia untuk bersatu dengan saling mengenal dan merajut persaudaraan antar sesama.

Perbedaan seharusnya tidak menjadi ajang untuk saling mencemooh, saling bertikai, merasa lebih unggul dan lebih mulia. Sebab, anggapan seperti ini menyalahi kaedah kesakralan ayat di atas dan Allah tidak menginginkan hal itu terjadi.

Kata Syu’uba (berbangsa-bangsa) pada ayat di atas memiliki makna bangsa yang berbeda-beda, antar yang satu dengan lainnya tidak bisa terkumpul dalam satu bangsa. Sedangkan makna Qaba’il (bersuku-suku) adalah bangsa Arab dan Bani Israil yang Allah ciptakan menjadi satu.

Kata Syu’uba yang memiliki arti lebih umum dari Qabail, lebih Allah kedepankan dengan tujuan untuk menghilangkan sifat bangga dan sombong. Dengan menyebut yang lebih umum terlebih dahulu, Allah menghapus setiap sesuatu yang sifatnya materialistis, seperti fakir-miskin dan kaya-raya. Hal ini agar mereka yang kaya bisa menolong orang-orang yang kurang mampu, dan sama sekali bukan untuk saling menyombongkan.

Selain itu, Allah juga menegaskan bahwa yang paling mulia di sisi mereka yang multikultural dan sangat plural hanyalah orang-orang yang paling bertakwa kepada-Nya. Jabatan, harta, rupa, ras, dan budaya, tidak menjadi tolok-ukur untuk dibangga-banggakan, semua itu tidak memiliki nilai apa pun di sisi-Nya. Begitu juga dengan tanah kelahiran, tidak ada yang patut dibanggakan darinya.

Dalam hal ini, Syekh Mutawalli mengutip sabda Rasulullah SAW tentang tidak adanya perbedaan antara orang Arab dan orang Ajam (selain Arab),

لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍ عَلَى أَعْجَمِيٍ إِلَّا بِالتَّقْوَى

“Tidak ada keunggulan (kemuliaan) bagi orang Arab atas orang Ajami kecuali dengan ukuran ketakwaan.” (Syekh Mutawalli, Tafsir al-Khawatir, 1/2921).

Dari hadits ini, ulama Mesir itu menegaskan kembali bahwa perbedaan secara materialistis, ras, dan budaya, tidak memiliki nilai sedikit pun di sisi-Nya, yang membedakan mereka hanyalah dalam sisi spiritualitas ibadah. Siapa yang paling bertakwa di antara mereka, maka dialah yang lebih utama, kendati pun berupa orang Ajami dan tidak memiliki kekayaan sedikit pun.

Kenapa Takwa Menjadi Barometer Mulia?

Sebagaimana yang telah tertulis jelas pada ayat di atas, bahwa yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa, kenapa demikian?

Dalam hal ini, penting untuk mengingat kembali perihal alasan tersebut. Allah benar-benar Dzat Yang Adil, Dia memposisikan takwa sebagai standar kemuliaan seseorang, sebab jika seandainya “materi” yang menjadi tolok-ukur, maka orang kafir juga banyak yang kaya, sementara orang Islam banyak yang fakir-miskin. Apakah lantas menjadikan orang kafir lebih mulia? Tentu tidak.

Jika seandainya barometer mulia tergantung “nasab-keturunan” maka banyak pula orang kafir yang nasabnya luhur (bagi mereka), dan banyak pula umat Islam yang nasabnya tidak luhur, bahkan ada sebagian yang budak. Apakah lantas menjadikan orang kafir lebih mulia? Tentu tidak.

Di sinilah keadilan Allah sangat tampak. Allah hanya memberikan kemuliaan kepada umat Islam saja, tanpa memberikan kepada orang kafir. Dan untuk meraihnya, Allah juga hanya memberikan peluang kepada umat Islam. Sebab, orang kafir tidak bisa bertakwa kepada-Nya kecuali telah memeluk agama Islam.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

Simak tulisan menarik lainnya tentang tafsir Syekh Syarawi di sini.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.