Pernikahan merupakan perkara yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw karena berkaitan dengan langkah memperbanyak keturunan. Sayyidatina Aisyah Ra menuturkan, tak lama sehabis Rasulullah Saw menerangkan kriteria siapa saja yang tak layak menjadi umat-Nya, beliau juga menyebutkan bahwa diri-Nya bakal bangga mengenai jumlah umat-Nya di hadirat para Nabi pada hari kiamat.
Kemudian, muncul pertanyaan yang terkadang mengemuka: Bagaimana komentar syariat menyikapi segelintir orang yang enggan menerima keturunan banyak dan malah membatasinya? Bukankah hal tersebut bertolak belakang dengan sunnah Nabi? Dan apakah pelaksananya tergolong orang yang berpaling dari umat-Nya?
Dalam istilah modern, kata yang paling tepat untuk mendefinisikan program membatasi keturunan adalah Keluarga Berencana (KB). Penerapannya ialah mengajurkan khalayak untuk mengenakan alat kontrasepsi guna mencegah atau menunda kehamilan hingga saat yang tepat. Alat kontrasepsi yang dikenakan pun beraneka macam, seperti kondom, pil KB, suntik KB, IUD, implan, vasektomi, dan tubektomi.
Keluarga Berencana tak ada kaitannya dengan menolak keberadaan anak. Justru, jika diperhatikan lebih jeli, kita akan mengelih bahwa hakikat program tersebut dibangun atas asas menyehatkan dan menyejahterakan keluarga. Di antara tujuannya ialah menurunkan jumlah angka kelahiran bayi, serta meningkatkan kesehatan keluarga berencana dengan metode penjarangan kelahiran.
Sebelum menguraikan persoalan di atas, lazim kita ketahui bahwa praktek ini telah berlangsung jauh semenjak zaman para sahabat Ra, bahkan lebih dari itu.
Menurut syariat Islam, program ini dikategorikan kepada persoalan ‘azl (melepaskan sperma di luar rahim), yang demikian itu karena keduanya memiliki tujuan yang serupa, yaitu menghindari kehamilan.
Dalam kitab Ma’rifah As-Shohabah, Imam Abu Nu’aim Al-Asbahani meriwayatkan dari Abu Al-Mufarraj, yang ia dapati dari kakeknya,
غزونا مع النبي صلى الله عليه وسلم غزوة بني المصطلق، والمريسيع، فأصبنا سبايا، فسألت النبي صلى الله عليه وسلم عن العزل، فقال: اعزلوا إن شئتم، ما من نسمة كائنة إلى يوم القيامة إلا وهي كائنة.
“Kami ikut serta berperang bersama baginda Nabi Muhammad Saw dalam peperangan Bani Mustahliq dan Muraisi’, kemudian kami mendapati tawanan perang dari kalangan wanita. Lantas kami bertanya kepada Nabi mengenai hukum ‘azl (melepaskan sperma di luar rahim), lalu Nabi berkata, ‘Lakukanlah semau kalian, tak ada jiwa yang telah terbentuk hingga akhir kiamat, kecuali ia telah terbentuk.'”
Meski Islam menggemari seseorang dalam memperbanyak keturunan, keadaan tersebut tak menafikan kelegalan dari program membatasi anak dalam keluarga, seperti ‘azl (salah satu metode menghindari kehamilan), meminum pil anti hamil dll.
Imam Ghazali memiliki risalah ekslusif bernama Kitab az-Zawaj al-Islamiy yang membahas tentang perihal ini. Dalam kitabnya, beliau beranggapan bahwa ‘azl bukan termasuk dari adab pernikahan.
Tentang adanya kabar bahwa ‘azl adalah perkara haram, maka itu kita uraikan riwayat-riwayat terlebih dahulu yang termaktub dalam kitab-kitab klasik, di antaranya:
Kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab, Imam Nawawi berkomentar selepas Imam Ibnu Hajar Al-Haitami membolehkan ‘azl secara mutlak, tuturnya,
قلتُ ولكنه وقع في كتب أكثر أصحابنا أنه لا يجوز العزل عن الحرة إلا بإذنها، ويدل على اعتبار الاذن والرضى من الحرة حديث عمر رضى الله عنه قال (نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يعزل عن الحرة الا بإذنها) رواه أحمد وابن ماجه، وقال الغزالي يجوز العزل، وهو المصحح عند المتأخرين.
Saya berkata: Akan tetapi hukum tersebut (‘azl) telah tercantum di kitab-kitab ulama kita, bahwa tak diperkenankan melakukan ‘azl terhadap (isteri) yang merdeka kecuali dengan izinnya, adapun dalil yang mensyaratkan keridhaan dari pihak isteri ialah hadits Umar bin Khattab, “Rasulullah Saw melarang kita untuk melakukan ‘azl terhadap wanita (isteri) kecuali dengan izinnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Imam Ghazali berkata, boleh melakukan azhl’, dan itu adalah pendapat yang dikukuhkan oleh para ulama Muta’akhirin.
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menyatakan,
اختلفوا في التسبب لإسقاط ما لم يصل لحد نفخ الروح فيه وهو مائة وعشرون يوما والذي يتجه وفاقا لابن العماد وغيره الحرمة ولا يشكل عليه جواز العزل لوضوح الفرق بينهما. . . إلخ.
“Para ulama berbeda pendapat mengenai (hukum) dari sebab menggugurkan sesuatu (janin) yang belum ditiupkan ruh, yaitu ketika berumur 120 hari, pendapat yang dipilih oleh Ibnu Ibbad dan yang lainnya ialah haram. Walau begitu, hukum ‘azl tak dipermasalahkan, karena terdapat perbedaan yang mencolok di antara keduanya…”
Bila kita memahami konteks makna dari kedua nash di atas, maka kita dapati kebolehan terkait praktek ‘azl terhadap pasangan (isteri), baik itu dengan izinnya atau pun tidak.
Mufti Hadramaut Habib Abdullah bin Mahfuzh Al-Haddad pun ikut menaruh perhatian, tuturnya,
ومن هنا عرفنا أن العزل من أجل تخفيف حمل المسؤولية في الإنفاق أمر جائز ولا حرج وإن كان التوكل أكمل ويجري هذا القول في العزل يجري في كل وسيلة من وسائل منع الحمل.
“Dari sini kita tahu, bahwa ‘azl dengan niat meringankan beban infaq adalah perkara mubah dan tak berdosa, meski sikap tawakkal lebih utama. Dan hukum yang berlaku pada ‘azl berlaku pula kepada seluruh metode yang menghalangi kehamilan.”
Menurutnya, sebab yang mendorong seseorang menolak memiliki banyak keturunan ialah rasa cemas berlebih terkait kesukaran yang akan dihadapinya jika mempunyai keturunan (anak). Tentunya persepsi ini salah dan keliru, karena tak ada mahluk Allah yang hidup di bumi melainkan telah diatur takdirnya, baik itu dari segi rezeki atau pun lainnya.
Sebagaimana perkara ‘azl dibolehkan syariat, maka program KB pun ikut dibolehkan pula, hal itu semata-mata karena keduanya memiliki tujuan yang sama.
Singkat kata, bila program KB telah dicap mubah oleh syariat, maka pelakunya pun tak bisa diikut sertakan kepada kaum yang menyimpang dari sunnah Nabi dan tak diikutsertakan kepada golongan yang berpaling dari umat-Nya.
Syariat Islam tidak serta merta menghukumi segala perkara baru bagitu saja, melainkan hukum itu terlahir setelah melalui proses pengkajian, berdalil Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, atau pun Qiyas. Dan dalil yang cocok untuk menghasilkan hukum KB adalah dengan menerapkan hukum Qiyas dari disiplin ilmu Ushul Fiqh.
Pelaksanaannya ialah dengan memadankan persoalan yang telah jelas hukumnya (‘azl), dengan persoalan yang sama sekali tidak memiliki hukum (KB), kemudian meninjau sebab keduanya, selepas memafhumi bahwa sebab dari kedua perkara tersebut adalah sama, alhasil hukum (KB) pun diserupakan dengan hukum ‘azl, yaitu mubah.
Menurut definisi Dr. Wahbah Az-Zuhailiy dalam kitab Al-Wajiz fii Ushulil Fiqh, qiyas ialah,
هو إلحاق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه لاشتراكهما في علة الحكم.
“Qiyas ialah mengkategorikan perkara yang tak termaktub hukumnya secara syariat kepada perkara yang telah memiliki hukum syar’i, karena keduanya mempunyai sebab yang sama.”
Menyimpulkan uraian di atas, Jumhur ulama sepakat menghukumi bahwa program Keluarga Berenca (KB) adalah mubah (boleh) secara mutlak, baik itu dengan izin isteri atau pun tidak. Lebih lebih lagi jika dilaksanakan demi kemaslahatan bersama (menghindari kemadharatan dll), maka hukumnya adalah mustahab (disukai). Pendapat inilah yang dikukuhkan oleh Imam Ghazali dan menjadi hukum mu’tamad (unggul) dalam madzhab Syafi’i. Wallahu a’lam bis showab.
Referensi:
- Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzzab, karya Imam Abu Zakaria Syaraf An-Nawawi.
- Al-Wajiz fii Ushulil Fiqh, qiyas, karya Dr. Wahbah Az-Zuhailiy.
- Fatawa Tahummul Mar’ah wa Yaliihi Majmuatul Masail Yaktsuru Sualu Anha, karya Sayyid Abdullah bin Mahfudzh Al-Haddad.
- Ma’rifah As-Shohabah, karya Imam Ahmad bin Abdullah bin Ahmad bin Ishaq bin Musa Abu Nu’aim Al-Asbahani.
- Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, karya Imam Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami.