Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Sains Barat Modern dan Teologi Lingkungan Hidup

Avatar photo
34
×

Sains Barat Modern dan Teologi Lingkungan Hidup

Share this article

Memasuki abad modern, sains Barat mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Sains pada zaman itu seolah menegaskan bahwa ilmu tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, melainkan berasal dari diri manusia.[1] Hal ini berawal setelah renaisans yang ditandai dengan kebangkitan industrialisasi di Barat, manusia menemukan kesadaran baru, kesadaran sebagai makhluk yang sangat penting di muka bumi ini.

Kesadaran ini menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang unik, dan berada di posisi tertinggi alam semesta. Bahkan merasa bahwa manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain di alam ini bahkan terpisah dari alam.[2] Bertumpu pada kesadaran bahwa manusia dengan akalnya dapat menemukan kebenaran yang didasarkan pada rasio dan materi.

Antroposentrisme adalah paradigma yang memandang bahwa manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Paradigma ini dikemukakan oleh A. Sonny Keraf sebagai paradigma sains Barat yang secara langsung berhubungan dengan aktivitas manusia dengan lingkungan hidup. Antroposentrisme berpandangan bahwa manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem, termasuk dalam kebijakan yang berkaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung, nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya.[3] Paradigma antroposentrisme inilah yang kemudian menjadikan manusia bersikap eksplotatif terhadap alam dan lingkungan hidup yang berujung pada krisis lingkungan hidup.

Dari berbagai kesalahan cara pandang antroposentrisme di atas diperlukan sebuah peninjauan kembali paradigma filosofis tentang hakikat alam semesta. Filsafat lingkungan hidup sesungguhnya adalah filsafat pertama yang bahkan menjadi titik awal lahirnya filsafat dan cikal bakal semua cabang ilmu pengetahuan sekarang ini. Sikap dan perilaku manusia terhadap alam semesta dan kehidupan di dalamnya atau yang kita sebut sebagai lingkungan hidup sesungguhnya dipengaruhi oleh paradigma berpikir tentang hakikat alam semesta dan kehidupan di dalamnya.[4]

Sains Barat Memaknai Lingkungan

Ilmu pengetahuan Barat telah memunculkan pola pikir yang pada akhirnya telah membentuk pola tindakannya. Karakteristik sains Barat modern telah membentuk pola dominasi tersendiri, yaitu materialisme, hedonisme, dan juga eksloitatif terhadap lingkungan.[5]

Secara garis besar, aktivitas sains Barat modern berimplikasi buruk pada lingkungan hidup yakni:[6]

Pertama, mengeksploitasi sumber daya alam. Pengambilan sumber alam secara besar-besaran menggunakan perangkat teknologi modern, menjadi ancaman tidak tersedianya sumber alam lagi bagi generasi mendatang.

Kedua, penggungundulan hutan. penebangan hutan secara besar-besaran menyebabkan terjadinya penggundulan hutan yang juga mendorong semakin meningkatnya suhu udara dimuka bumi ini.

Ketiga, pencemaran. Sistem pengelolaan limbah industri yang tidak di tata secara baik, menyebabkan lingkungan tidak hanya kotor, tetapi juga tercemar. Serta sejumlah kasus lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu.

Dampak Sains Barat Modern terhadap Lingkungan

Teologi lingkungan hidup dalam pemahaman ini terdapat hubungan yang bersifat sistemik tentang hubungan Tuhan dengan lingkungan. Hubungan Tuhan dengan lingkungan mengacu pada hubungan struktural.[7] Dinyatakan berhubungan secara struktural yaitu Tuhan sebagai pencipta lingkungan. Berbeda dengan dengan konsep lingkungan sekuler, sistem teologi Islam tentang lingkungan bertitik tolak dari fenomena proses terjadinya lingkungan, bukan berangkat dari fenomena lingkungan jadi. Hal ini didasarkan pada fakta teologis bahwa Islam cukup tegas mengkonsepsikan Tuhan sebagai pencipta lingkungan sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an.[8] Inti teologi lingkungan adalah keyakinan yang utuh bahwa Tuhan adalah pencipta seluruh alam raya ini.

Krisis lingkungan hidup yang terjadi saat ini merupakan dampak yang nyata dari worldview Barat dan peradaban modern yang parsial dan reduksionis terhadap alam, seperti budaya materialis, hedonis, positifis yang melahirkan paradigma antroposentrisme. Hal ini tentu saja tak terlepas dari krisis spiritualitas yang menggerogoti manusia modern yang telah mengagung-agungkan dirinya dan mengingkari realitas Tuhan. Krisis ini adalah bukti nyata dari refleksi krisis spiritual paling dalam umat manusia.

Problem filosofis ini membutuhkan keterlibatan semua pihak. Upaya terbaik untuk mengatasi krisis lingkungan ialah dimulai dengan bersikap kritis dalam melihat worldview yang ada, memahami kompleksitas persoalan sampai ke akarnya, dan kemudian penguasaan akan isu-isu filosofis mendasar. Dengan melakukan hal-hal tersebut kita turut berpartisipasi dalam upaya terbaik bagi kepentingan umat manusia, terkhusus menyangkut persoalan lingkungan hidup.

Dengan demikian, penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil dari pemikiran dan juga hasil kreasi manusia perlu diverifikasi oleh pemahaman Teologis. Alam boleh dimanfaatkan, tetapi tak hanya sebagai obyek bagi manusia. Alam boleh diolah, tetapi dijaga dan dipelihara. Sebab, manusia dan lingkungan, keduanya merupakan karya cipta Allah yang tergabung dalam satu kesatuan ekosistem.

 


[1] M. Solihin, “Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern”, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 27.

[2] Ida Bagus Dharmika, “Paradigma Ekosentrisme dan Antroposentrisme dalam Pengelolaan Hutan”, dalam Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI, h. 10.

[3] A. Sonny Keraf, “Etika Lingkungan Hidup”, (Yogyakarta: PT Kanisius, 2014), h.8.

[4] A. Sonny Keraf, “Etika Lingkungan Hidup”  h.11.

[5] Hamdani, “Filsafat Sains”, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), Cetakan pertama. h. 109.

[6] Hamdani, “Filsafat Sains”, h. 261-265.

[7] Mujiono Abdillah, “Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Quran”, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 105.

[8]Akbar Tanjung, “Karakteristik dan Implikasi Sainsa Barat Modern Terhadap Lingkungan Hidup”, dalam Jurnal IJTP Vol. 1, No. 2, Desember 2019, h. 133.

Kontributor

  • Maharani Wulandari

    Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAIN Samarinda. Meminati kajian keislaman, moderasi dan kebangsaan dan tafsir Al-Qur’an