Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Seni untuk Tidak Membaca

Avatar photo
41
×

Seni untuk Tidak Membaca

Share this article

Abdul Fattah Abu Ghadah dalam bukunya Qimah az-Zaman ‘inda al-‘Ulama, menceritakan kisah-kisah tentang Ibnu Jarir at-Thabari yang membikin takjub pembaca modern.

Cerita Pertama

Suatu ketika, at-Thabari berkata kepada para muridnya, “Apakah kalian bersemangat dalam menafsirkan al-Quran?”

Para murid menjawab, “Berapa ketebalannya?”

At-Thabari, “Tiga puluh ribu halaman.”

Para murid menimpali, “Tak akan kelar sampai seluruh peradaban musnah.” Kemudian at-Thabari meringkas tafsirnya menjadi tiga ribu halaman dan ditulisnya selama tujuh tahun. Cerita yang serupa terulang ketika at-Thabari mengarang kitab sejarahnya, Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk.

Cerita Kedua

Sesaat setelah at-Thabari wafat, orang-orang mendapati di dalam rumahnya tergeletak berjilid-jilid kitab yang semuanya adalah buah tangannya sendiri.

Ketika orang-orang tersebut iseng menghitung kitabnya, didapatlah kesimpulan bahwa setiap hari at-Thabari menulis dalam 14 lembar.

Penulis Qimah az-Zaman iseng menghitung berapa halaman yang dihasilkan oleh at-Thabari selama masa hidupnya. Usia at-Thabari adalah 86 tahun. Jika diasumsikan bahwa ia mulai menulis pada umur 14 tahun, maka selama hidupnya at-Thabari menulis lebih dari 358.000 halaman.

Cerita-cerita di atas dan cerita lain dari tokoh lain yang senada, lebih banyak membuat kita kagum daripada membuat kita optimis. Bagaimana tidak? Adakah orang di zaman kita yang dapat menyamai prestasi at-Thabari dalam kuantitas maupun kualitas kepenulisan? Mungkin satu dari sejuta orang yang bisa.

Maka, dalam beberapa kesempatan seminar motivasi belajar atau menulis, saya sering berkata bahwa kita tidak bisa menyamai orang lampau yang tak banyak godaan.

Saya sering berkata bahwa kunci kesuksesan dalam belajar di masa kita bukanlah ‘sebanyak’ apa kita membaca informasi, melainkan bagaimana kita menyediakan filter terhadap informasi tersebut. Dalam artian, kita butuh metodologi pembelajaran yang dapat menyeleksi bacaan sesuai kebutuhan. Dalam arti yang lebih gamblang lagi: kita butuh seni untuk tidak membaca.

Mayoritas masyarakat pelajar kita sudah melek baca-tulis, tetapi sebetulnya amat sedikit yang melek literasi. Literasi bukan hanya soal baca tulis, melainkan juga soal bagaimana mengolah bacaan tersebut.

Setiap hari kita disuguhi dengan bacaan, mulai yang berisi informasi pendek sampai informasi panjang, mulai dari soal yang remeh-temeh sampai soal yang berat-bikin-ngelu.

Media sosial menyediakan bagi kita informasi tanpa batas, tiap detik selalu update. Dalam satu dinding saja, kita bisa mendapati puluhan ribu informasi gado-gado, yang antara satu dengan yang lainnya kadang tak berhubungan sama sekali. Kita membaca informasi itu tanpa pretensi apa pun, semata hanya karena informasi itu gratis dan lewat begitu saja, tersuguhkan di hadapan mata kita. Namun, kita sesungguhnya butuh seni untuk mengabaikan.

Seni untuk tidak membaca adalah suatu seni untuk mengabaikan bacaan. Sikap acuh terhadap bacaan ini menyaru beberapa motif: (i) ada kalanya karena bacaan tersebut tidak terlalu penting bagi kita, (ii) atau ada kalanya bacaan itu tidak menarik minat kita.

Mengabaikan suatu bacaan atau suatu isu bukanlah sebentuk sikap apatis. Sikap apatis sendiri, jika ditilik maknanya, yakni sikap acuh tak acuh, tidak peduli, tak mungkin tidak menjangkiti tiap orang. Masalahnya, apatis dalam praktiknya mengalami penyempitan makna. Misalnya, apatis dialamatkan kepada seseorang yang tidak peduli dengan problem sosial. Padahal, sikap apatis adalah mode bertahan hidup seorang insan. Orang tak akan bisa hidup jika peduli dengan semua permasalahan atau seluruh isu yang bergulir.

Arthur Schopenhauer, dalam buku antologi esai dan aforismenya, dengan sangat jenaka menyitir seni untuk tidak membaca. “Kamu harus ingat bahwa seseorang yang menulis untuk orang-orang tolol, akan selalu menemukan publik yang luas.” Dengan kutipan ini seolah Schopenhauer ingin berkata kepada insan milenial yang dianggap kuper kalau ketinggalan isu hangat, “Hei, tak apa kau dianggap kuper, karena itu artinya kau bukan bagian dari orang-orang tolol yang gampang digiring layaknya domba.”

Prasyarat untuk membaca buku yang bagus adalah dengan mengabaikan buku yang jelek. Predikat “buku yang jelek” itu bisa kamu ganti dengan “bacaan yang bagiku tak menarik”, “bacaan yang bagiku tak terlalu penting”, maupun “bacaan yang sudah terlalu mainstream.”

Toh, meskipun at-Thabari mampu menulis tafsir tiga puluh ribu halaman, usia manusia amat terbatas. Jika dia butuh tujuh tahun untuk menggarap tafsir tiga ribu halaman, berapa puluh tahun yang dibutuhkannya untuk menulis tafsir tiga puluh ribu halaman?

“Hidup itu singkat, bro,” kata Schopenhauer.

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.