Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menciptakan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Bahkan, untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya, ia bergantung pada sebagian lainnya. Oleh karena itu, ia dituntut untuk mampu bergaul dengan baik, membina hubungan yang saling menguntungkan antar sesamanya, tolong menolong, dan saling membantu dalam beragam dimensi kehidupan.
Dalam rangka mewujudkan keharmonisan hubungan antar manusia, serta terciptanya stabilitas keamanan di berbagai bidang, maka perlu adanya sistem yang disepakati sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan dan penetapan berbagai aturan maupun undang-undang. Terkait konteks kehidupan bermasyarakat, konsep syûrâ (musyawarah) dibutuhkan, guna mengakomodir beragam pikiran, ide dan gagasan dari banyak pihak, untuk menghasilkan sebuah konsensus. Oleh sebab itu, kegiatan musyawarah perlu terus digalakkan, mulai dari lingkup terkecil, yaitu keluarga, hingga yang lebih luas, pada tataran negara.
Kata syûrâ sendiri, dalam terminologi agama diartikan sebagai proses pengambilan pendapat umum. Hal ini didasarkan pada munculnya ide dan gagasan dari pihak-pihak yang terlibat dalam musyawarah, sesuai kepakarannya masing-masing, untuk menentukan sebuah keputusan bersama yang disepakati dan dijalankan. Oleh karenanya, syûrâ merupakan salah satu pilar terpenting dalam tatanan masyarakat madani yang harus dijaga, untuk bisa mewujudkan kesuksesan kolektif. Begitu pentingnya musyawarah ini, sehingga terdapat satu surat khusus di dalam al-Qur`an yang menggunakan nama asy-Syûrâ.
Musyawarah dalam Keluarga
Allah berfirman di dalam surat asy-Syûrâ ayat ke-38:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syûrâ: 38)
Ayat ini secara umum menggambarkan karakteristik orang-orang mukmin, yang selalu taat atas perintah Allah Subhânahu wa Ta’âlâ, sehingga mereka mau mendirikan sholat sebagai implementasi ketundukannya kepada Allah, dan mengedepankan prinsip musyawarah dalam pengambilan setiap keputusan bersama. Sehingga sikap mau bermusyawarah dalam berbagai hal, merupakan ciri-ciri orang yang beriman. Keimanan inilah yang hendaknya menjadi pilar dasar setiap keluarga, sehingga apa yang dipraktekkan dalam kehidupan berumah tangga sarat akan nilai keimanan.
Kehidupan keluarga haruslah dilandasi prinsip musyawarah (al-tasyâwur) dan saling merelakan (al-tarâdlî) mulai sejak awal ia dibangun. Antara calon suami dan istri harus sama-sama rela untuk membangun rumah tangga, dilandasi dengan adanya musyawarah dari kedua belah pihak, terkait masa depan yang akan dijalani bersama. Dengan adanya prinsip musyawarah yang dijaga sejak awal mula membangun rumah tangga, serta dilandasi kerelaan masing-masing, maka akan tercipta suasana harmonis, bahagia dan saling menerima.
Orang tua, secara lebih khusus lagi bapak atau ayah, memiliki hak dan wewenang sebagai wali bagi putrinya. Sebetulnya hak perwalian itu bersifat mutlak dan mengikat, sehingga memungkinkan seorang ayah memaksa anak perempuannya untuk menikah dengan seorang laki-laki. Namun dalam syariat Islam hal itu justru dilarang, karena Rasulullah SAW menganjurkan setiap ayah untuk bermusyawarah dengan istrinya, terkait urusan anak-anaknya. Karena seorang ibu biasanya memiliki kedekatan yang lebih terhadap anak-anaknya, apalagi anak perempuan.
Rasulullah SAW bersabda:
آمِرُوا النِّسَاءَ فِى بَنَاتِهِنَّ
“Bermusyawarahlah dengan istri kalian terkait (urusan pernikahan) anak-anak perempuan mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Selain terkait proses awal menuju pernikahan, ketika sepasang suami istri sudah mulai menjalani kehidupan rumah tangga, hendaknya tetap menjaga prinsip musyawarah untuk menghasilkan kesepahaman. Dalam realita masyarakat kita, banyak perempuan atau istri yang sesungguhnya memiliki ide cemerlang, bahkan sangat berpengaruh dalam keberlangsungan roda rumah tangga menuju keseksesan. Hal ini tergambar jelas dalam peran para Istri Nabi Muhammad SAW, khususnya Khadijah radliyallâhu ‘anha. Beliau memiliki andil besar dalam proses awal Nabi Muhammad menerima titah sebagai Rasul, bahkan beliaulah yang selalu menenangkan hati Rasulullah SAW ketika sedang dirundung duka dan nestapa. Tidak hanya itu, Khadijah juga memiliki kontribusi yang sangat besar dalam kesuksesan dakwah Rasulullah SAW, baik dengan harta, jiwa maupun raganya. Oleh karenanya, seorang suami tidak bisa mengesampingkan peran istrinya, melainkan harus melangkah bersama dan saling menopang.
Penanaman Prinsip Musyawarah
Prinpis musyawarah yang sudah dilaksanakan sejak proses awal membangun rumah tangga akan mempengaruhi laju berikutnya. Suami istri yang mengedepankan sikap saling terbuka, akan mudah untuk menyelesaikan beragam persoalan. Setelah hadir seorang anak misalnya, otomatis anggota keluarga bertambah, begitu juga tanggung jawab orang tua ikut bertambah. Oleh karenanya banyak hal yang perlu didiskusikan, misalnya mulai dari proses pengasuhan anak, kebutuhan gizi dan makannya, hingga nanti jika sudah besar terkait dengan pendidikannya.
Dalam proses awal kelahiran misalnya, antara suami dan istri bisa bermusyawarah terkait pemenuhan gizi anaknya, bahwa kewajiban ibu menyusui anaknya sampai 2 tahun, sedangkan kewajiban ayah adalah memberi nafkah untuk istri dan anaknya. Namun, jika belum genap 2 tahun, dan keduanya sepakat untuk menyapih sang anak, asal hal itu dilandasi dengan kerelaan dan musyawarah, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Hal inilah yang ditegaskan dalam surat al-Baqarah, ayat 233.
Oleh karenanya, prinsip musyawarah harus diterapkan oleh kedua orang tua ketika anak masih bayi, sehingga hal itu akan memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan anak nantinya. Jika anak sudah cukup faham untuk bisa diajak berkomunikasi, maka orang tua hendaknya mulai menanamkan prinsip-prinsip musyawarah. Pesan inilah yang tergambar dalam salah satu kisah nabi Ibrahim dan putranya Isma’il ‘alaihimassalâm, sebagaimana termaktub dalam surat ash-Shâffât ayat 102.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Dari kisah ini kita dapat belajar tentang pentingnya musyawarah dalam keluarga, khususnya antara orang tua dan anak, agar tercipta kerelaan dan kesepahaman, guna mewujudkan kebaikan bersama. Ayat di atas tentu tidak lepas dari adanya pengaruh iman kepada Allah, yang mendorong seseorang untuk tunduk dan patuh terhadap perintah-perintah-Nya.
Penanaman iman dan akidah dalam keluarga sangatlah penting, terutama kepada anak, sejak usia yang masih dini. Karena iman itulah yang mendorong seseorang untuk taat kepada Allah, mau melaksanakan sholat, menjadikan musyawarah sebagai prinsip untuk mengambil keputusan, dan mengetahui hak orang lain di dalam hartanya, sehingga ia mau berinfak dan sedekah, terutama kepada keluarganya.