Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Benar Kata Gus Baha, Keluyuran Banyak Berkahnya

Avatar photo
56
×

Benar Kata Gus Baha, Keluyuran Banyak Berkahnya

Share this article

Perangkat teknologi semakin canggih. Dan dunia tak lebih lebar dari layar telepon genggam. Apa saja bisa dicari, informasi apa pun gampang diperoleh dan segalanya mudah diakses hanya lewat satu jari belaka.

Bahkan imajinasi-imajinasi tentang keindahan wisata, tempat duduk dan spot untuk swafoto, yang belum pernah kita kunjungi sekalipun bisa kita simpan di salah satu folder otak kita tanpa harus datang ke tempatnya terlebih dahulu.

Pada masa pandemi Covid-19 sebagian besar aktivitas manusia dialihkan serba daring. Kekhawatiran ini akan muncul ketika masa pandemi pungkas dan mereda. Kehidupan yang kita jalani setiap hari tak ikut pulih kembali seperti sedia kala. Dengan itu dampak yang timbul jadi berkebalikan. Dunia maya sedikit demi sedikit menggeser dunia nyata.

Walhasil, kita jadi enggan ngaji kopdar ke kiai-kiai. Dalihnya, “Toh ngaji daring juga bisa bahkan bisa diulang-ulang beratus-ratus kali sampai tangan jimpe.

Kita jadi mudah mengesampingkan belajar dengan guru di sekolah. Alibinya, “Toh mencermati aplikasi layanan pendidikan malah lebih memahamkan.”

Kita jadi malas keluyuran dan lebih terseret di derasnya dunia virtual.

“Padahal dalam keluyuran (dengan arti yang sebenarnya) barokahnya sangat banyak.” jelas Gus Baha dalam salah satu pengajiannya.

Apabila kita coba putar kembali teropong sejarah dunia ke belakang, menerka kilas balik masa-masa ulama terdahulu, tidak sedikit kitab yang merekam kegandrungan ulama-ulama terdahulu dalam hal rihlah—artikan saja keluyuran. Tentu konteks ini dalam rangka mencari ilmu.

Baca juga: Saran Imam An-Nawawi untuk Penyuka Rihlah Masjid

Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, selama masa karir intelektualnya mondar mandir mengembara di banyak wilayah, mulai dari Naisabur, Jurjan, Makkah, Madinah, Jerusalem, Bagdad, Suriah hingga Mesir.

Berkah keluyuran dan ngaji kopdar dari satu majlis ke majlis lain dengan berbagai guru menjadikan al-Ghazali tercatat sebagai ulama besar dan tersohor sepanjang sejarah.

Datang dari daerah Magrib (Maroko), ada Ibnu Batutah. Ia adalah seorang alim (cendekiawan) yang pernah berkelana ke berbagai pelosok dunia pada Abad Pertengahan.

Dalam jangka waktu 30 tahun, Ibnu Batutah menjelajahi sebagian besar Dunia Islam dan banyak negeri non-Muslim, termasuk Afrika Utara, Afrika Barat, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Tiongkok.

Pengalaman-pengalamannya menjelajahi dunia inilah yang lantas diriwayatkan ulang dalam buku yang berjudul Tuḥfatun Nuẓẓār fī Gharāʾibil Amṣār wa ʿAjāʾibil Asfār (Hadiah Bagi Para Pemerhati Negeri-Negeri Asing dan Pengalaman-Pengalaman Ajaib), yang lazim disebut Ar-Rihlah (Lawatan atau Keluyuran). Sampai sekarang buku ini masih dijadikan sebagai sumber rujukan di berbagai belahan dunia.

Ibnu Khaldun dalam karangan magnum opusnya “Muqaddimah” bertutur bahwa keluyuran dalam rangka mencari ilmu dan bertemu dengan para masayikh dapat menambah kesempurnaan belajar, sebab kita bisa meraup pemahaman, teladan bijaik, perangai bajik, dan kisah-kisah dari tokoh-tokoh besar di berbagai daerah.

Seorang pengelana adalah seseorang yang melipat jarak dan menggulung bumi. Semakin jauh mereka keluyuran semakin banyak pula mereka bergaul dengan macam-macam orang, kebudayaan, adat istiadat, tradisi dan khazanah keilmuannya.

Baca juga: Jalan-Jalan dalam Tradisi Muhadditsin

Dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah  karya Ibn Katsir, diceritakan perjuangan yang begitu totalitas dari seorang tabi’in bernama Said bin Al-Musayyab untuk mencari satu hadits. Dia keluyuran berhari-hari dan bermalam-malam hanya untuk mencari satu hadits saja.

Bayangkan, luar biasa bukan?!

Lain cerita datang dari Imam Ahmad bin Hanbal. Ia pernah pergi haji sebanyak lima kali dan mengelilingi berbagai wilayah hingga kitab musnadnya selesai.

Ibnu Al-Jauzi bahkan sampai berkata, “Barang siapa menyedekahkan masa mudanya untuk mencari ilmu (keluyuran), maka masa tuannya akan terhormat.”

Maka penting sekali kegiatan keluyuran. Orang yang kurang keluyuran (pergaulan) seringkali gampang heran (gumunan) ketika mendapati sesuatu hal baru. Apalagi soal perbedaan sudut pandang.

Terkadang (tidak selalu) ia begitu ngotot mempertahankan bangunan ilmu atau konsep pemahaman yang ia klaim sebagai kebenaran satu-satunya. Apa saja yang bertentangan dengan pendapatnya mudah sekali ia tolak demi mengkokohkan klaim kebenaran versi tunggalnya itu.

Satu contoh, dulu orang-orang Eropa meyakini bahwa semua angsa berwarna putih. Keyakinan ini akhirnya roboh saat Willem de Vlamingh menjadi orang Eropa pertama yang melihat angsa hitam di Australia.

Lagi-lagi ini berkah dari keluyuran. Andai saja si Willem batal bepergian, entah karena diputus pacarnya atau galau melihat teman-temanya sudah pada nikah. Apa yang akan terjadi? Pasti orang Eropa tetap ngotot bahwa semua angsa berwarna putih.

Jadi, mari traveling dan keluyuran!!

Baca juga: Traveling Ala Kaum Sufi

Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang memberi isyarat akan seruan melakukan bepergian atau traveling. Salah satu ayat tersebut berbunyi:

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ

“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk: 15)

Imam Syafi’i juga pernah berbahasa:

مَا فيِ المُقَامِ لِذِيْ عَقْلٍ وَذِيْ أَدَبٍ

مِنْ رَاحَةٍ فَدَعِ الأَوْطَانَ وَاغْتَرِب

Tidak ada tempat bagi orang berakal dan beradab untuk beristirahat, Tinggalkanlah tanah kelahiran dan melanconglah!

Kontributor