Agama Islam diturunkan sebagai rahmat bagi alam semesta. Untuk itu Islam datang sebagai khitob, bukan hanya bagi kaum muslimin, melainkan juga bagi seluruh umat manusia.
Dalam ajarannya Islam mengajak umat manusia untuk melakukan kebaikan di dunia dan di akhirat tanpa paksaan.
Mereka diberikan kebebasan untuk memilih apa yang mereka kehendaki. Jika memilih untuk beriman maka iman mereka merupakan hasil daripada ikhtiar. Jika mereka memilih tidak beriman, maka kufur mereka juga hasil dari kehendak ikhtiar mereka sendiri tanpa adanya paksaan dari siapapun.
Ketika seorang muslim memilih Islam dengan ikhtiarnya dianggap menunjukan pada kebenaran, maka yang lain selain muslim akan senantiasa dalam ajakan mereka ke jalan yang benar. Hal inilah yang kemudian disebut dengan dakwah.
Melalui dakwah atau ajakan ini terjadi interaksi serta dialog antara Islam dan agama-agama yang lain. Hubungan dengan agama selain Islam inilah yang kemudian disebut dengan hubungan persaudaraan manusia (صلة الأخوة الإنسانية) dan hubungan kerjasama dalam mengajak pada kebaikan (صلة التآزر). Sebuah hubungan yang dibangun atas dasar perdamaian dan saling membantu satu sama lain. Bukan atas dasar permusuhan.
Salah satu pilar utama yang menjadi dasar dalam mendefinisikan agama sekaligus menjadi media dakwah adalah melalui dialog dengan agama lain. Tapi tidak berarti dialog menjadi sarana untuk menentukan mana agama yang benar. Kalau kata agama dipahami secara kongkrit, bukan metafisik, maka dialog antar agama berarti dialog antar orang-orang beragama.
Baca juga:
Manusia mendapat tempat sentral dalam dialog , dengan syarat, manusia juga tidak dipahami secara metafisis, melainkan manusia yang kongkrit. Manusia kongkrit artinya, menunjuk pada orang-orang beriman dalam agama tertentu. Dalam kekongkritanya inilah dialog mendapatkan tempat sebagai fungsi kritis.
Dialog di sini berarti mau menerima pertanyaan, penjelasan, sanggahan dan komentar. Sehingga argumen-argumen yang dilemparkan ini membentuk sebuah hujjah yang bisa menjelaskan kebenaran masalah yang dipertanyakan, tanpa mengandung tipu daya dan masalah berakhir dengan penerimaan karena keyakinan atau penolakan juga karena keyakinan. Mereka benar karena diselamatkan dengan bukti dan mereka yang salah akan hancur karena bukti.
Lantas ketika masing-masing telah menentukan agama sesuai dengan pilihannya, apakah dialog otomatis berhenti? Tentu tidak, dialog akan tetap berlanjut, namun dalam bidang lain, yaitu dalam bidang saling bantu-membantu dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia dengan tanpa memandang agama. Merupakan dialog yang dikontrol dengan aturan-aturan yang didasarkan pada kemanusian dan saling menghormati satu sama lain. Inilah yang diajarkan Al-Quran kepada kita melalui banyak contoh-contoh bagaimana semestinya interaksi kita sebagai muslim dalam menjalin hubungan dengan agama lain, tanpa harus mengatakan firman Allah:
وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَىٰ هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ قُل لَّا تُسْأَلُونَ عَمَّا أَجْرَمْنَا وَلَا نُسْأَلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Ironi sekali rasanya ketika melihat pemberitaan di media hanya terfokus pada aspek negatif dari dialog antar agama, menunjukan agama sebagai sumber konflik dan perpecahan alih-alih sebagai sumber perdamaian.
Memang betul, dialog bukanlah solusi untuk perbedaan ideologi, melainkan didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan kehidupan yang dimiliki oleh semua agama. Point of interest berpusat pada bagaimana individu dari perspektif dan latar belakang agama yang berbeda dapat berinteraksi satu sama lain tentang hal-hal dan topik yang menyangkut mereka semua.
Inilah yang kemudian disebut dengan Dialog Kehidupan, dan kebutuhan pada dialog semacam ini merupakan tantangan bagi umat manusia. Maka sangat menarik apa yang pernah disampaikan Hans Kung seorang teolog terkenal dari Swiss:
“Tidak akan ada kedamaian antar bangsa tanpa adanya kedamaian antar agama, tidak akan ada kedamaian antar agama tanpa adanya dialog di dalamnya.”