Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Syekh Ali Jum’ah: Adanya Poligami untuk Memuliakan Kaum Wanita

Avatar photo
27
×

Syekh Ali Jum’ah: Adanya Poligami untuk Memuliakan Kaum Wanita

Share this article

Praktik poligami ternyata sudah menyebar umum di kalangan bangsa Arab pada masa pra-Islam. Begitu juga yang terjadi di kalangan kaum Yahudi dan bangsa Persia. Demikian dikatakan oleh Syekh Ali Jum’ah ketika membandingkan poligami dalam Islam dengan sistem perkawinan di Barat.

Menurut Mantan Mufti Mesir yang juga Syekh Tarekat Shiddiqiyyah Syadziliyah itu, sejarah mencatat bahwa para raja dan sultan membangun beberapa rumah besar, yang terkadang mampu menampung lebih dari seribu orang, untuk dijadikan tempat tinggal bagi istri-istri dan selir mereka.

Tidak jarang mereka mempersembahkan wanita-wanita itu sebagai hadiah untuk para raja lainnya, lalu mereka mendatangkan wanita-wanita baru untuk dijadikan selir.

Dan anehnya, pihak-pihak yang menentang sistem hukum Islam dalam hal diperbolehkannya laki-laki untuk berpoligami dalam kondisi tertentu, merasa menderita dan bersedih hati bila melihat fenomena keretakan rumah tangga, tersebar luasnya perzinaan, dan diperbolehkannya memiliki wanita simpanan (gundik) dengan jumlah tak terbatas.

Padahal pada kenyataannya, wanita simpanan tidak bisa menikmati hak-hak seorang istri. Menjadi wanita simpanan rentan dikhianati pihak laki-laki dan kehilangan hak-hak yang umumnya diterima istri, ditambah tidak adanya pengakuan terhadap dirinya dan anak-anaknya.  Walhasil, wanita itu sendiri yang akan menanggung biaya aborsi (dari janin hasil hubungan gelap), atau hidup sebagai single parent dan membesarkan anaknya dari hasil hubungan di luar nikah.

Seperti tertuang dalam laman resminya, Syekh Ali Jum’ah melanjutkan bahwa banyak pemikir barat mendukung Islam perihal diperbolehkannya poligami—tentunya dengan memenuhi beberapa syarat.

Baca juga: Poligami Antara Sunnah Rasul dan Hasrat Seksual Semata

Seorang filsuf ternama berkebangsaan Jerman, Schopenhauer, mengatakan bahwa struktur dalam sistem undang-undang pernikahan di Eropa telah usang, sebab menyamakan laki-laki dan perempuan.

Undang-undang tersebut masih menetapkan batasan seorang laki-laki hanya boleh menikah dengan satu perempuan. Dengan begitu, aturan itu telah menghilangkan separuh hak kaum laki-laki dan melipatgandakan kewajiban-kewajiban mereka.

Schopenhauer bahkan mengatakan:

“Kaum wanita dari umat-umat yang memperkenankan poligami tidak ada satu pun yang merasa kehilangan suami yang menanggung kebutuhan mereka. Wanita yang telah bersuami dari kalangan kami jumlahnya sedikit, sementara wanita yang belum berumah tangga jumlahnya tak terhitung.”

“Kamu melihat mereka tanpa ada orang yang menopang kehidupannya. Ada di antara gadis dari kalangan kelas atas merasa sedih hati saat usianya semakin menua, sementara banyak wanita lemah dari kalangan bawah menanggung kesulitan dan beban kerja. Boleh jadi mereka mengorbankan dirinya sehingga hidup dalam penyesalan dan rasa malu.”

“Di kota London saja, terdapat sekitar 80.000 perempuan. Darah kehormatan mereka dipertaruhkan di altar pernikahan, sebagai korban pembatasan memiliki satu istri, serta akibat dari sikap keras kepala para wanita Eropa dan klaim palsu terhadap dirinya sendiri. Bukankah sudah waktunya bagi kita untuk menganggap bahwa poligami merupakan sebuah kenyataan bagi seluruh wanita.” (Al-Islam Ruh Al-Madaniyah, karya Musthafa Al-Ghalayaini, halaman 224.)

Sebanyak 80.000 wanita itu adalah angka yang disebutkan Schopenhauer pada masa hidupnya di mana ia meninggal pada 1860 M.

Baca juga: Menikah Itu Sederhana Sekali

Syekh Ali Jum’ah menambahkan, Annie Besant pemimpin sufi dunia mengatakan dalam bukunya yang berjudul Al-Adyan Al-Muntasyirah fi Al-Hind (Agama-agama yang tersebar di India), “Setiap kali kita menimbang masalah-masalah berdasarkan standar keadilan yang lurus, tampak bagi kita bahwa poligami yang dalam Islam menjaga, melindungi, dan memelihara kaum wanita, ternyata lebih unggul dan lebih dipilih untuk menjadi pertimbangan dibanding dengan sistem prostitusi ala barat yang memungkinkan bagi kaum laki-laki untuk menjadikan perempuan hanya sebagai alat pemuas syahwat, kemudian melemparkannya begitu saja ke jalanan ketika keinginannya telah terpenuhi.”

Gustave Le Bon  mengatakan, “Sistem poligami merupakan sistem terbaik yang mampu meningkatkan taraf moralitas di kalangan umat seluruh dunia yang mempraktekkannya, serta menambah ikatan keluarga, dan memberi rasa hormat serta kebahagiaan kepada wanita, di mana hal itu tidak kamu temukan di Eropa.” (Hadharah Al-‘Arab, hlm. 397)

Menurut Syekh Ali Jum’ah, seluruh keterangan di atas menegaskan bahwa ternyata sistem poligami demi mewujudkan tujuan-tujuan utama syariat yang telah ditetapkan dalam hukum Islam, bukanlah suatu sistem yang mendapat penolakan di kalangan mayoritas pemikir.

“Kami telah melihat kesaksian sebagian dari mereka.” ujar Syekh Ali Jum’ah, “Bahkan sebenarnya poligami adalah bentuk penghormatan terhadap kaum wanita. karena pola pikir seseorang seharusnya komprehensif (dalam melihat persoalan). Hanya melihat istri pertama saja dalam kasus poligami bukanlah sikap yang adil, karena yang akan dinikahi oleh suaminya juga sama-sama wanita, dan syariat Islam memuliakan wanita dengan mengizinkan laki-laki menikahi wanita untuk turut andil mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat.

“Kita memohon kepada Allah agar senantiasa menuntun dan mencerahkan seluruh urusan agama dan duniawi kita,” pungkas Syekh Ali Jumah.

Kontributor

  • Arif Khoiruddin

    Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Tinggal di Pati. Pecinta kopi. Penggila Real Madrid.