Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Menjawab Tuduhan dan Kritik atas Kitab Shahih Al-Bukhari

Avatar photo
30
×

Menjawab Tuduhan dan Kritik atas Kitab Shahih Al-Bukhari

Share this article

Orang-orang
yang menyimpan kebencian pada
Islam ketika melihat Shahih
Al-Bukhari
, mungkin akan bertanya-tanya, apakah Imam
Al-Bukhari tidak pernah berbuat kesalahan (ma’shum)
sehingga karyanya itu menjadi
kitab terautentik yang pernah ditulis oleh manusia?

Bukankah
mungkin jika apa yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya itu memiliki kemungkinan salah?

Tuduhan
dan s
yubhat ini akan muncul
pada sebagian manusia yang berpikiran tidak baik, atau karena memang dia belum
pernah belajar bagaimana cara berpikir yang baik.

Pertama,
perlu diketahui bahwa belum ada satu pun orang yang mengatakan bahwa Imam
Al-Bukhari atau siapapun yang meriwayatkan hadits tidak pernah salah (ma’shum),
bahkan sahabat sekalipun, karena akidah Ahlus Sunnah meyakini bahwa yang
ma’shum hanya para nabi. Karena itu, bisa saja Imam Al-Bukhari melakukan
kesalahan, dan bisa saja beliau tergelincir melakukan maksiat, karena sekali
lagi, beliau tidaklah ma’shum.

“Oh,
kalau begitu, bisa jadi Imam Al-Bukhari salah dalam meletakkan hadits dalam Shahihnya,
bisa jadi apa yang diletakkan bukanlah hadits?”

Jawabanya,
tentu tidak. Kok bisa? Imam Al-Bukhari tidak meletakkan dalam kitab Shahihnya,
melainkan hanya hadits-hadits
shahih. Ini bukan berarti beliau tidak pernah salah dan tergelincir.

Shahih
Al-Bukhari
mendapatkan tempat mulia
bukan karena Imam Al-Bukhari yang mengumpulkan hadits
. Tapi karena para ulama sepakat untuk menerima keberadaan kitab hadits itu sekaligus mengakui bahwa seluruh hadits yang dikumpulkan olehnya
adalah hadits
shahih. Dan tidaklah mungkin ulama sepakat dalam sebuah kesalahan
selama 12 abad.

Shahih
Al-Bukhari
menduduki posisi mulia
ini karena kesepakatan para ulama atas keabsahannya. Bukan
karena sosok penyusunnya, meskipun Imam Al-Bukhari juga sangat layak disebut
sebagai salah satu sebab kitab itu bisa sampai ke posisi tersebut.

Contoh
sederhananya seperti ini:
Ada seorang kandidat doktoral yang telah usai menyelesaikan
disertasi pada bidang tertentu. Kemudian diadakan sidang untuk
mempertanggungjawabkan sekaligus mempertahankan apa yang dia tulis.
Seusai
sidang, dosen penguji
menilai bahwa disertasinya sempurna dan hanya terjadi sedikit kesalahan, dan ia
mendapatkan nilai cumlaude. Tiba-tiba datang
mahasiswa baru yang
masih ingusan menuduh disertasi itu buruk dan penuh kesalahan. Apakah dia hanya
menghina kandidat
itu dan disertasinya? Atau dia telah menghina para dosen yang memberikan penilaian di sidang itu? Tentu, ia telah menghina semua dosen yang menilai.

Inilah
sebenernya yang dilakukan oleh seseorang jika mencaci atau mencari cela pada
kitab Shahih Al-Bukhari. Dia
tidak hanya mencela
Imam
Al-Bukhari saja, tapi juga
mencela kesepakatan
ulama atas kitab tersebut. Seakan-akan dia berkata bahwa para
ulama
yang mengakui keautentikan Shahih Al-Bukhari telah tersesat selama 12 abad.

Imam
Al-Bukhari memang tidak ma’shum, namun beliau tidak mungkin meletakkan
hadits-hadits yang tidak shahih pada karyanya, karena beberapa alasan.
Di antaranya:
kesepakatan ulama atas keshahihan hadits-hadits tersebut, dan mustahil
ulama bersepakat pada sebuah kesalahan.

Kemudian,
Imam Al-Bukhari tidak menuliskan hadits dengan pendapatnya sendiri tanpa
menuliskan sumber
.
B
eliau menyebutkan sanad
hadits dari gurunya, hingga tersambung dengan Rasulullah, baru
kemudian beliau menyebutkan teks haditsnya. Tentu dengan syarat yang
sangat ketat hingga hadits yang beliau dengar dapat tertulis dalam kitab
Shahihnya.

Selanjutnya,
para ulama yang menerima Shahih Al-Bukhari, tidak menerimanya
mentah-mentah tanpa mengkaji ulang. Mereka meneliti dan kaji dengan sangat
telaten. Mereka sesuaikan kitab tersebut dengan kaidah-kaidah keilmuan, dan
mereka menemukan bahwa kitab tersebut sangatlah indah.

Para ulama kagum dan takjub dengan apa yang dikumpulkan oleh Imam
Al-Bukhari. Hati mereka terpesona dengan pemilihan hadits, penamaan serta
peletakan bab,
hingga
akhirnya mereka
mengakui hasil dari jerih payah Imam Al-Bukhari itu.

Lalu,
bagaimana dengan segelintir ulama yang mengkritik bahwa dalam Shahih
Al-Bukhari
terdapat beberapa hadits ma’lul (cacat)?

Syubhat
ini sudah dibantah oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani
bahwa Imam Al-Bukhari lebih
paham tentang hadits ma’lul daripada yang mengkritik. Jika ada
orang yang menyatakan bahwa dalam Shahih Al-Bukhari terdapat hadis-hadis
ma’lul, kritik ini yang justru dipertanyakan?!

Terakhir,
Imam Al-Bukhari tidaklah sendiri dalam meriwayatkan hadits-hadits yang ada dalam
Shahihnya.
Ada ulama-ulama besar lain yang juga meriwayatkannya. Seandainya hadits itu terhapus
dari Shahih Al-Bukhari,
insya Allah akan tetap ada dalam perlindungan Allah.

Senin
30 Agustus 2021.

Madinah Al-Bu’uts Al-Islamiyyah, Kairo.

 

Kontributor

  • Fahrizal Fadil

    Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Aceh. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Bahasa dan Sastra Arab. Aktif menulis di Pena Azhary. Suka kopi dan diskusi kitab-kitab turats.