Secara umum, konsep hukum dalam Islam terbagi menjadi dua. Pertama, hukum tsabit, yang bermakna tetap. Dengan kata lain, apapun yang terjadi tidak akan kita dapati perubahan. Kedua, hukum mutaghayyir, yang bermakna dapat berubah.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Islam bukan hanya agama yang diperuntukkan bagi negeri Arab di 14 abad yang lalu. Namun ia diperuntukkan untuk seluruh umat manusia, lintas ruang, lintas waktu, lintas kondisi.
Maksudnya Islam harus bisa sesuai dengan setiap kondisi umat manusia, baik ia yang hidup dengan berkendara unta dan kuda, maupun ia yang bisa makan pagi di Jakarta dan makan malam di Kairo.
Oleh karenanya, ada hukum yang tsabit atau tetap, dan ada hukum yang berubah-ubah atau mutaghayyir.
Hukum yang Tsabit
Hukum yang tsabit tidak akan pernah berubah sampai hari kiamat, karena jenis hukum ini dapat dilaksanakan di belahan dunia manapun dan di zaman kapanpun.
Oleh karenanya tidak heran bila hukum yang tsabit ini tidak banyak, namun merupakan hal esensial dalam Islam.
Maulana Prof. Dr. Abbas Shouman dalam karyanya, Nazhrât fî Tajdîd menyebutkan hukum-hukum yang bersifat tsabit, berjumlah amat sedikit. Misalnya seperti syahadat, kewajiban shalat lima waktu, wajibnya puasa di bulan ramadhan, dan lain sebagainya yang notabenenya hal-hal esensial dalam agama. Pengerjaannya tidak akan terpengaruh oleh perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan keadaan, dan perubahan manusia.
Hukum Yang Mutaghayyir
Sementara hukum yang mutaghayyir, sifatnya selalu berubah-ubah. Baik karena zaman, tempat, keadaan, atau karena manusianya itu sendiri.
Perlu diketahui, mayoritas hukum dalam Islam masuk ke wilayah hukum yang mutaghayyir. Artinya, sebagian besar hukum akan selalu berubah-ubah menyesuaikan tempat, waktu, keadaan, dan manusia. Prof. Dr. Abbas Shouman dalam buku yang sama menyebutkan bahwa mayoritas hukum dalam Islam bersifat mutaghayyir.
Beliau memberi contoh seperti mualaf pada zaman Sayyidina Umar Ra.
Pada masa kenabian, Nabi Muhammad Saw. mengkategorikan mualaf sebagai satu dari delapan golongan yang menerima zakat.
Namun pada masa menjabat sebagai khalifah, Sayyidina Umar bin Khattab Ra. tidak memasukkan mualaf sebagai penerima zakat. Karena beliau memandang mualaf bukanlah golongan yang masih termasuk ke dalam kategori penerima zakat.
Hal ini menjadi salah satu bukti, bahwa mayoritas hukum dalam Islam itu dapat berubah-ubah, dengan melihat empat 4 faktor utama: perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan keadaan, dan perubahaan orang.
Namun, perlu kita ketahui juga, bahwa perubahan status hukum dalam Islam tidak dapat dilakukan secara semena-mena begitu saja. Apalagi bila dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kapasitas untuk berijtihad.
Karena menentukan status hukum diperlukan kepakaran khusus dalam agama Islam, dengan segala penguasaan keilmuan keislaman, dan mempertimbangkan berbagai macam faktor. Tujuannya, agar hukum tidak ditentukan berasaskan hawa nafsu, melainkan sesuai dengan ilmu yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Setelah kita mengetahui kedua konsep hukum tersebut, kita juga perlu mengetahui adanya konsep perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan hukum suatu permasalahan.
Dalam bangunan keilmuan umat Islam, dalil-dalil yang ada di al-Quran dan Sunnah itu secara umum dibagi menjadi dua: Qath’i Dilalah dan Zhanni Dilalah.
Qath’i Dilalah
Yaitu ayat-ayat al-Quran atau hadits Nabi Saw. yang hanya memiliki satu makna bagi orang yang hendak mengambil kesimpulan hukum darinya.
Misalnya ayat dalam surat al-Ikhlas, yaitu:
قل هو الله أحد
“Katakanlah (Muhammad), ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa.’” (QS. Al-Ikhlas: 1)
Ayat ini memiliki makna yang lugas dan jelas. Yaitu Allah Swt. ialah Tuhan Maha Esa. Sehingga tidak mungkin diartikan ke makna yang lain, karena memang tidak ada kemungkinan lain.
Ayat-ayat seperti ini ialah ayat-ayat yang termasuk ke dalam kategori Qath’i Dilalah, hanya memiliki satu makna saja.
Zhanni Dilalah
Yaitu ayat-ayat al-Quran atau hadits Nabi Saw. yang hanya memiliki berbagai makna bagi orang yang hendak mengambil kesimpulan hukum darinya.
Munculnya berbagai makna disebabkan oleh ayat-ayat atau hadits-hadits tersebut yang memang tidak memiliki penunjukkan makna secara lugas dan jelas.
Sehingga ketika para ulama menafsirkan dan mengambil kesimpulan hukum dari ayat atau hadits tersebut, mereka akan menghasilkan kesimpulan hukum yang juga amat mungkin berbeda-beda.
Misalnya seperti ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah: 6)
Dalam ayat di atas, ada redaksi yang berbunyi: برءوسكم pada konteks membasuh kepala.
Kata tersebut menjadi pembahasan panjang di kalangan para ulama. Karena huruf ب ba di ayat tersebut dalam kaidah bahasa Arab memiliki berbagai macam fungsi.
Karena huruf ب ba merupakan salah satu huruf ma’ani (huruf yang memiliki arti), kadang ia berfungsi sebagai زائدة zaidah, kadang ia berfungsi sebagai التبعيض tab’id, dan sebagainya.
Sehingga merupakan sebuah kewajaran jika para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam menentukan kesimpulan hukum.
Dengan bangunan metodologi ushul fikihnya, mazhab Syafi’i berpendapat bahwa huruf ب ba di ayat tersebut berfungsi sebagai ba zaidah. Sehingga dalam mazhab syafi’i, kepala sebagai salah satu rukun wudhu tidak perlu dibasuh secara keseluruhan, melainkan hanya beberapa helai saja (selama masih berada pada batas kepala).
Adapun mazhab Maliki, diharuskan membasuh kepala secara keseluruhan, karena mereka berpendapat bahwa huruf ب ba di ayat tersebut berfungsi sebagi ba tab’id.
Dari sini dapat dipahami, bahwa perbedaan yang ada dalam permasalahan Zhanni Dilalah berasal dari al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Karena redaksi ayat dan bunyi hadits memang menghendaki adanya perbedaan.
Lantas Mana yang Benar?
Para ulama dalam hal ini terbagi menjadi beberapa pendapat. Ada yang berpendapat bahwa karena Zhanni Dilalah merupakan ranah ijtihad, maka setiap ulama yang berijtihad mendapatkan dua pahala bila ia benar, dan mendapat satu pahala bila ia salah dalam memahami ayat dan hadits tersebut. Tentunya ia hanya akan mendapat pahala bila memiliki kapasitas dan alat untuk berijtihad.
Sementara ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa kebenaran dalam ranah Zhanni Dilalah ialah berbilang. Artinya Allah Swt. memang menghendaki adanya banyak kebenaran dalam ranah ini, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Abi al-Ma’ali al-Haramain ( W. 478 H) dalam karyanya yang berjudul al-Waraqât fi Ushûl al-Fiqh.
Terakhir, perlu sama-sama kita pahami juga bahwa perubahan status hukum dalam Islam merupakan hal yang wajar bahkan sesuai dengan syariat dan kaidah-kaidah keilmuan umat Islam. Karena Islam merupakan agama yang diperuntukkan untuk lintas ruang dan waktu.
Perubahan status hukum merupakan keniscayaan dalam kaidah keilmuan Islam, asalkan bila dilakukan sesuai dengan syarat dan ketentuan.
Begitupun dengan perbedaan pendapat di antara para ulama. Hal itu juga sangat lumrah, telah terjadi dan diakui oleh Nabi Saw. ketika beliau masih hidup, bahkan dapat kita dapati di antara para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, dan seluruh generasi setelahnya yang menjadi ahli waris para nabi.
Sebagaimana disebutkan dalam satu riwayat, khalifah Harun al-Rasyid pernah meminta kitab al-Muwattha karya Imam Malik Ra. agar menjadi dasar hukum kekhalifahan umat Islam kala itu.
Namun Imam Malik menolak dengan beralasan bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama ialah hal yang lumrah.
Imam Malik Rahimahullahu kala itu berkata:
يا أمير المؤمنين، إنَّ اختلاف العلماء رحمة من الله تعالى على هذه الأمّة، كلٌّ يتَّبع ما صحَّ عنده، وكلهم على الهُدى، وكلٌّ يريد الله تعالى
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya perbedaan pendapat di kalangan ulama ialah rahmat yang diberikan oleh Allah Swt. kepada umat ini, setiap dari mereka mengikuti apa yang benar menurutnya, dan setiap dari mereka berada di bawah petunjuk, dan setiap dari mereka menginginkan ridha Allah Swt.”
Kairo, 25 Agustus 2021