Beberapa dekade terakhir dunia menanggung beban perubahan iklim, tidak
terkecuali negara-negara dengan mayoritas Muslim. Namun kesadaran manusia dalam
menanggapinya terbilang sangat terbatas, lebih-lebih umat Muslim.
Apakah pernyataan di atas dapat dibetulkan? Siapapun bisa memulai
penelitian.
Agama Islam yang selalu digaung-gaungkan sangat komplit dalam mengatur
seluruh aspek kehidupan bukankah memiliki petunjuk dan landasan berpikir dalam
menentukan aksi perubahan iklim? Bila memang sudah ada aturan serta cara
mainnya, apa aksi kongkrit yang sudah diambil para pemeluknya?
Tidak sedikit yang berpendapat bahwa gerakan Islam Ekologi berdasarkan
tradisi Islam akan jauh lebih efektif dibanding harus mengimpor koar-koar
kampanye politik dari Barat. Namun sayang, ketika berkaitan dengan kesehatan
ekologi, tanpa aksi nyata pendapat serta wacana hanyalah omong kosong.
Aksi-aksi ekologis dari negara bermayoritas Muslim sangat mendesak untuk
dilakukan. Terhitung telat sebetulnya, namun jauh lebih baik timbang tidak sama
sekali.
Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, Indonesia bukan hanya
produsen sampah plastik terbanyak kedua namun juga penghasil emisi gas rumah
kaca tertinggi kelima di dunia, akan tetapi terlihat tidak banyak berbuat
sesuatu demi menguranginya.
Siapapun boleh tidak terima, tetapi begitulah yang tampak dari kacamata
dunia.
Bangladesh dan Pakistan juga demikian, sudah menjadi wawasan bersama dua
negara yang terkenal Islami tersebut menyandang predikat negara paling tercemar
di dunia, akan tetapi sampai hari ini belum juga mengambil langkah jitu untuk
melakukan perbaikan.
Para pakar memperkirakan Bangladesh dalam kurun 30 tahun mendatang satu
dari setiap tujuh warganya harus mengungsi entah kemana, memopulerkan istilah“climate
refugees”, lantaran jutaan penduduknya terpaksa mengungsi karena tuntutan
cuaca, bukan adanya konflik senjata. Hal serupa akan terjadi di banyak wilayah Timur
Tengah.
Kasus lain terjadi di Turki, destinasi peradaban Islam itu kini sangat
rentan oleh dampak dari perubahan iklim, suhu meningkat sementara curah hujan
menurun dari tahun ke tahun menyebabkannya memiliki masalah serius dengan
persediaan air.
Terlepas dari kerentanan-kerentanan tersebut, sebetulnya tidak sedikit
langkah yang sudah diambil. Hanya saja masih jauh dari kata maksimal. Meski
sudah lahir deklarasi dari segenap negara-negara Muslim tahun 2015 lalu,
kelambanan-kelambanan dalam berperan aktif masih dirasakan oleh siapa saja di
mana saja.
Belum tentu mereka yang paling menderita karena dampak perubahan iklim
menjadi pihak yang paling getol dalam menghentikannya. Seorang profesor
filsafat d Universitas Uskudar yang juga aktifis lingkungan, Ibrahim Ozdemir,
menulis bahwa banyak negara Muslim ogah menerapkan konsep-konsep Barat tentang
lingkungan, atau studi banding kepada negara-negara industri yang cakap dalam
menanggulangi pencemaran.
“Kolonialisme lingkungan,” tambah Ozdemir, “is not the answer.
Yang akan berhasil dan jelas terbukti hasilnya adalah penerapan prinsip-prinsip
Islam dalam mendorong semangat konservasi.”
Sebagian isi Deklarasi Islam untuk Perubahan Iklim
Global yang diumumkan oleh sejumlah ilmuwan lingkungan hidup dan iklim, ulama
terkemuka dari dunia Islam pada 17-18
Agustus 2015 di Istanbul Turki.
Setiap Muslim sadar betul bahwa agamanya mengajarkan untuk selalu
menjaga lingkungan. Setiap individu meyakini bahwa mereka bertugas tidak lain
sebagai khalifah di bumi, menjadi pelestari bukan perusak. Masing-masing
meyakini bahwa sekecil apapun tindakan terhadap alam kelak akan diminta
pertanggungjawaban.
Konsep di atas sangat gamblang dan transparan. Dalam Deklarasi Islam
tentang Perubahan Iklim pada 2015 lalu juga dijadikan tolok ukur utama, tidak
lain guna mendorong pemberantasan krisis lingkungan di negara-negara Muslim.
Tidak kurang dari 200 ayat Al-Qur’an berbicara tentang lingkungan hidup.
Misalnya umat Muslim diingatkan bahwa yang lebih besar dari penciptaan manusia
adalah penciptaan langit dan bumi (baca QS. Ghafir ayat 57). Firman tersebut
secara tidak langsung menjelaskan bahwa tidak ada yang lebih Islami dibanding
menjaga dan melestarikan alam sebagai ciptaan paling berharga Tuhan.
Pendekatan tersebut senantiasa harus digalakkan dalam menggerakkan hati
nurani 1,8 milyar umat Islam di seluruh dunia, hal yang barangkali akan lebih
mudah lagi bila dibarengi pembentukan gerakan-gerakan melestarikan lingkungan
secara merata.
Nabi Muhammad SAW. mengajarkan rahmat serta kepedulian melalui sikap
mendasar dan ringan dilakukan setiap orang, hal yang seyogyanya dijadikan contoh
setiap Muslim. Dalam merawat binatang misalnya, beliau melarang membunuh atau
menyiksa binatang untuk keperluan olahraga; menyerukan supaya tidak memberikan
beban terlalu berat kepada unta maupun keledai; juga mengajarkan etika serta
tata cara yang baik dalam menyembelih binatang konsumsi; bahkan ada kisah yang
sangat populer bagaimana beliau memercayakan untanya memilih tempat untuk
dijadikan masjid pertama di Madinah.
Hasil sebuah studi tahun 2013 di Indonesia menunjukkan bahwa menyelipkan
pesan-pesan ekologis dalam ceramah-ceramah keislaman berhasil meningkatkan
kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Pada tahun 2014, MUI bahkan
mengeluarkan fatwa yang mewajibkan umat Islam di Indonesia turut aktif
melindungi spesies-spesies yang terancam punah, melarang keras perburuan ilegal
dan perdagangan hewan langka.
Gerakan seperti Alliance for Religions and Conservation (ARC)
agaknya layak ditiru dan dipromosikan, mereka mempersembahkan layanan publiknya
dengan cara menggunakan agama untuk menyampaikan salah satu pesan intinya, yaitu
semangat konservasi. Bukti keberhasilan mereka misalnya, bersama kaum santri mereka
berhasil menghentikan tradisi nelayan di Tanzania dengan menggunakan peledak
dan potas dalam menangkap ikan karena sangat bertentangan dengan spirit beragama.
Keberhasilan tersebut juga menunjukkan bahwa bujukan dari atas ke bawah
tidak selamanya efektif. Sebelumnya mereka sudah berulang kali menolak perintah
pemerintah, namun giliran narasi agama yang berbicara walhasil mereka terdorong
merubah cara bernelayan.
Kabar baik juga terdengar sekitar setahun lalu ketika Forum Dhaka
mengadakan seminar panel tentang masalah-masalah ekologis paska Covid-19 dengan
mendatangkan sebagian besar nara sumbernya Muslim. Terselenggaranya forum itu
adalah bukti bahwa tidak sedikit para pemimpin Muslim memiliki kepekaan
terhadap nasib lingkungan.
Fazlun Khalid, Direktur Pendiri Islamic Foundation
for Ecology and Environmental Sciences (IFEES) dan penggagas Islamic
Declaration on Global Climate Change (Deklarasi Islam untuk Perubahan Iklim
Global).
Agaknya penting ditekankan bahwa negara-negara Muslim sejatinya beberapa
langkah lebih depan dalam kepemilikan kerangka dasar dan kerja nyata melindungi
bumi pertiwi. Lebih spesifik lagi, misalnya tokoh lingkungan sekelas Sayyed
Hossein Nasr menegaskan bahwa abad pencerahan Barat telah berhasil melahirkan
sebuah ideologi bahwa manusia memiliki kekuasaan penuh atas bumi, yang mana
jelas melahirkan kesan congkak dan bebas berbuat apa saja terhadapnya. Berbeda
dengan Islam, sebagai pemilik prinsip rahmatan lil ‘alamin memosisikan
manusia sebagai pengelola yang diberi tanggung jawab secara penuh.
Kerangka kerja sudah jelas, aksi nyata sudah dimulai, jika hasil belum
tampak bukan berarti panduan dan gerakannya keliru. Besar kemungkinan kampanye
dan sosialisasinya perlu dioptimalkan.