Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Bila Kaum Sufi Merasakan Cinta

Avatar photo
47
×

Bila Kaum Sufi Merasakan Cinta

Share this article

Bagi sufi, cinta adalah
keabadian dan keagungan, karenanya obyek cinta yang teragunglah menjadi
tujuannya, yakni Tuhan. Maka pancaran yang ditimbulkan akan senantiasa
menyinari perjalanan, dan jarak tempuh nan jauh yang dilalui akan membawa pada
pencerahan.

Dengan kata lain,
ekspresi cinta terbaharukan dan tak lekang oleh putaran zaman, sebab tujuan
akhirnya adalah kekal bersama Yang Maha Kekal.

Ungkapan ekspresif
cinta sufi ini, terangkum dalam sebuah syarah terhadap syair Imam Ibnu Arabi
perihal keabadian cinta mereka:

أَمَّا الْحُبُّ الصُّوْفِيْ فَهُوَ بَحْرٌ لَا سَاحِلَ لَهُ،
وَطَرِيْقٌ لَا يَنْتَهِيْ مَسْلَكُهُ، وَعَيْنٌ لَا تُطْفِئُ الظَّمَاءَ

“Cinta mistisisme sufi
selaksa samudra yang tak bertepi, jalanan yang tak berujung untuk dilalui, dan
mata air yang tak melepas dahaga.”

Lalu dengan apakah para
sufi bisa mendapatkan?

Mereka mendapatkannya
dengan memandang Allah Swt dengan kedalaman jiwa, bukan sekadar hubungan timbal
balik materialis, yakni memandang Tuhan hanya sebagai objek yang diminta kala
dibutuhkan. Karena yang sedemikian, akan menutup makna terdalam cinta dan kasih
sayang Tuhan.

Seperti yang dikatakan
Imam Jalaludin ar-Rumi:

الْوَدَاعُ لَا يَقَعُ إِلَّا لِمَنْ يَعْشِقُ بِعَيْنَيْهِ،
أَمَّا ذَاكَ الَّذِيْ يَحِبُّ بِرُوْحِهِ وَقَلْبِهِ فَلَا ثَمَةَ انْفِصَالٌ
أَبَدًا

“Perpisahan hanya akan
menimpa pada yang merindu (Tuhan) dengan kedua mata (materialistik-empiris),
akan tetapi jika cinta yang didera oleh jiwa (suci) dan sanubari, maka ia akan
kekal dan tak terpisah.”

Arti luasnya, mereka
yang berkomunikasi dengan Allah hanya karena keinginan materialis, maka
hubungan cintanya dengan-Nya hanya terhubung sementara. Namun jika komunikasi
itu berasal dari sanubari terdalam, maka devine vibration  yang berupa cinta akan dirasa dalam kekekalan
dan keabadian.

Ketika seorang sufi
sudah mencercap hakikat Allah Swt melalui cinta kepada-Nya, maka segala bentuk
yang menimpa dirinya—baik atau buruk—sejatinya adalah proses mengenal
Kemahacintaan Tuhan atas dirinya. Efeknya, dia memandang segalanya dengan rasa
cinta dan penuh kasih sayang, tanpa terkecuali. Meski dalam waktu tertentu, dia
juga bisa marah, bukan karena dirinya, karena ada yang mencederai kasih sayang
Tuhan.

Seperti sebuah ungkapan
yang cukup mendalam dari Maulana Syaikh Ibrahim Salamah ar-Radhi:

من شهد الأفعال من الفعال، تجلى عليه الفعال، ومن تجلى عليه
الفعال، سطعت عليه أنوار الصفات، ومن اضمحل في أنوار الصفات، صار محوه ثباتا وموته
حياة وفناؤه بقاء وذله عزا وفقره كمالا
.

“Barang siapa mampu
merasakan bahwa segala perbuatan manifestasi dari Zat Maha Pembuat, maka Dia
telah menjelma ke dalam hatinya. Sehingga orang yang mampu demikian, lentera
sifat-sifat-Nya berpendar ke dalam kalbunya. Karenanya siapapun tenggelam dalam
cahaya sifat-sifat-Nya, maka apa yang hilang darinya dia akan tetap tegak;
kematiannya berubah menjadi kehidupan; kefanaannya tertelan oleh kekekalannya;
kehinaannya berwujud kemulian; dan kefakirannya beralih menjadi kesempurnaan.”

Lalu bagaimanakah kita
dengan cinta sufi? Setidaknya setiap kita suka pada sesuatu, maka iringkanlah
rasa cinta dan suka kepada orang tua, guru, keluarga, teman, dan yang terdekat
dengan nama Allah Swt. Kelak hal itulah yang akan membuat hubungan tersebut
kekal, meski tingkatan cintanya berada di bawah para sufi. Atau jika kita
mengacu pada kalamnya ar-Rumi, cinta kita kepada mereka bukan karena apa yang
dilihat, tapi apa yang dirasa oleh lubuk hati.

مَا كَانَ لِله دَامَ وَاتَّصَلَ، وَمَا كَانَ لِغَيْرِ اللهِ
انْقَطَعَ وَانْفَصَلَ

“Segala hal yang
ditautkan karena Allah Swt akan abadi, namun jika sebaliknya akan fana dan tak
abadi.”

Kontributor

  • Ahmad Ilham Zamzami

    Ahmad Ilham Zamzami, mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir pada jurusan Islamic Theology and Philosophy. Aktifis kajian dan literasi di PCINU Mesir.