Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Hakikat Pemberian Menurut Ibnu Athaillah As-Sakandari

Avatar photo
30
×

Hakikat Pemberian Menurut Ibnu Athaillah As-Sakandari

Share this article

Bermula dari pembicaraan ringan penuh canda tawa,
saya dan teman-teman bercerita tentang kisah masing-masing selama beberapa
tahun lalu. Awalnya biasa saja, sekadar nongkrong bersama ditemani beberapa
kitab khas ala pesantren.

Pada mulanya, pembahasan masih seputar hukum-hukum fikih
yang sudah biasa diperdebatkan santri dan akademisi, dan tersaji dalam
kitab-kitab klasik. Pembahasan kemudian seakan berubah ketika salah satu teman
membuka kitab yang ia bawa, sekilas sangat biasa, tapi mampu mencuri beberapa
perhatian dan mengalihkan pembahasan.

Kitab itu adalah masterpiece yang
dipersembahkan pada pertengahan abad ke-7 oleh Imam Ibnu Athaillah
as-Sakandari, melalui tangannya yang ikhlas dan upayanya yang luar biasa untuk
menyelamatkan umat Islam dari cinta buta pada dunia dan mengajak mereka kembali
kepada kesucian diri dengan menuhankan Allah subhanahu wata’ala tanpa mempersoalkan
bagaimana Allah menghendaki manusia sebagaimana yang dikehendaki-Nya

Sebuah karya luar biasa berisi untaian kalam
hikmat yang ditulis oleh Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari. Dalam kitab itu
disebutkan sebuah kalam hikmah yang akan menjadi pembahasan pada tulisan ini,
yaitu:

رُبَّمَا أَعْطَاكَ
فَمَنَعَكَ وَرُبَّمَا مَنَعَكَ فَأَعْطَاكَ.

“Bisa jadi Allah memberimu kemudian menghalangimu.
Dan, boleh jadi Allah menghalangimu padahal Ia memberimu.”

Setelah satu dari teman membaca penggalan kalam
hikmah di atas, kami seakan dibawa melayang pada dataran tasawuf yang sangat
dalam namun masih tersekat di antara serpihan-serpihan kebodohan dalam memahami
hakikat “pemberian” dari-Nya Yang Mahabijaksana. Bagaimana mungkin apa yang
telah diberikan akan dihalangi untuk mendapatkannya dan bagaimana pula sesuatu
yang sudah dihalangi akan diberikan?

Konsep pemberian (atha’) yang sebenarnya dan
patut disyukuri adalah pemberian Islam sebagai nikmat yang sangat hakiki.
Segala pemberian yang Allah berikan tidak ada yang bisa menandingi pemberian
“Islam”. Masih berpedoman padanya menunjukkan masih menikmati nikmat sangat
besar yang telah Allah berikan.

Pada penggalan hikmah di atas, Imam Ibnu Athaillah
seakan hendak menyampaikan bahwa terkadang Allah memberikan sesuatu yang
dianggap baik menurut keinginannya (syahwat), hanya saja pemberian itu akan
menghalanginya dari taufiq untuk bisa semakin dekat kepada-Nya dengan melakukan
ibadah. Sebabnya, Allah menghalangi makhluk dari mendapatkan nikmat yang
sebatas baik menurutnya agar tidak sampai terhalangi dari meraih taufiq dan
hidayah-Nya.

Apalah arti cukupnya segala kebutuhan dan terpenuhinya
semua harapan bila lentera kehidupan berupa cahaya Islam dan Iman justru padam?

Namun, yang sering terjadi adalah adanya
kedangkalan manusia dari memahami hakikat pemberian itu sendiri. Ia cenderung
buta akan hakikat-hakikat di dalamnya yang justru lebih baik baginya. Ketika
‘kinginan tak Allah sesuaikan dengan kenyataan’ betapa banyak manusia yang
sering menyalahkan takdir yang menimpanya, seolah Allah tidak adil dengan
semuanya. Padahal, jika seseorang bisa memahami hakikatnya, ia akan sadar bahwa
semua yang telah Allah beri dan Allah halangi murni sebuah kebaikan.

Dalam hal ini, Ibnu Athaillah melanjutkan
hikmahnya:

مَتَى فَتَحَ لَكَ
بَابُ الْفَهْمِ فِي الْمَنْعِ عَادَ الْمَنْعُ عَيْنَ الْعَطَاءِ.

“Ketika Dia (Allah) membukakan pintu pemahaman
kepadamu tentang penolakan-Nya, maka penolakan itu pun berubah menjadi
pemberian.”

Syekh Ibnu Ajibah dalam kitabnya Iqadul Himam
mengibaratkan seseorang yang diundang dalam jamuan makanan di tempat yang sama
sekali tidak ada cahaya lampu. Makanan yang tersedia sangat banyak, namun
bisakah saat itu mengetahui makanan yang diambil dan yang akan dimakan?
Begitulah pemberian Allah kepada manusia, terkadang ketika seseorang diberi
kecukupan di satu sisi, ia akan selalu merasa kekurangan di sisi yang lain.
(Ibnu Ajibah, Iqadul Himam Syarah Matnul Hikam, [Bairut: Darul Ma’rifah,
2000], halaman 97).

Seringkali seseorang terhalang dari sebuah harapan,
memiliki keinginan yang ditunggu namun tak kunjung tiba, tak sesekali terkadang
seseorang kehilangan kebahagiaan dan kenyamanan yang ada pada dirinya tanpa
disadari olehnya. Tenang! Dan pahami, harapan yang oleh manusia dianggap baik,
terkadang tidak baik atau bahkan sangat buruk di sisi Allah subhanahu
wata’ala
. Karena, bisa jadi apa yang dinilai tidak baik justru itulah yang
terbaik. Sebelum itu terjadi, dalam Al-Qur’an Allah sudah memberikan pesan
indah agar manusia bisa bersikap tenang ketika keinginannya tidak sesuai
kenyataan:

وَعَسَى أَن
تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ
شَرٌّ لَّكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Maka boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik
bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS Al-Baqarah: 216)

Syekh Ibnu Ajibah mengibaratkan manusia seperti
anak kecil yang masih sangat polos dan tidak tahu apa-apa, yang mengingkan
manisan atau permen yang terdapat racun di dalamnya.

فَكُلَّمَا بَطَشَ
الصَّبِي لِذَلِكَ الطَّعَامِ رَدَّهُ أَبُوْهُ فَالصَّبِي يَبْكِيْ عَلَيْهِ لِعَدَمِ
عِلْمِهِ وَأَبُوْهُ يَرُدُّهُ بِالْقَهْرِ لِوُجُوْدِ عِلْمِهِ.

“Maka ketika si anak mengambil makanan (yang di dalamnya
terdapat racun), sang ayah menolaknya, anaknya menangis karena tidak tahu (di
dalamnya terdapat racun), sedangkan ayahnya menolaknya dengan paksa karena ia
tahu ada apa di dalamnya.” (
Ibnu
Ajibah, Iqadul Himam Syarah Matnul Hikam, 2000, halaman 100).

Begitulah gambaran hubungan manusia dengan Allah subhanahu
wata’ala
dalam konsep ‘pemberian’ pada setiap harapan maupun keinginannya
yang tak kunjung Allah berikan. Manusia tak ubahnya anak kecil yang masih lugu
dan sangat polos itu. Allah menghalangi semua keinginan dan kemauannya disebabkan
adanya bahaya yang belum ia ketahui.

Penilaian akhir yang baik dalam hidup adalah ketika
sesuai dengan kehendak-Nya. Sangat mungkin, segala anggapan baik yang manusia
wacanakan, justru hal yang sangat buruk yang tidak Allah inginkan. Tidak ada
hal yang lebih nyaman dan lebih menerima terhadap semua kejadian yang terjadi
selain dengan mempelajari dan menggali hikmah yang terjadi sesuai dengan
keinginan-Nya. Setiap ketentuan-Nya selalu beriringan dengan kebijaksanaan-Nya.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.