Masjid Amr bin Al-Ash bukan masjid pertama yang
dibangun di Afrika dan Mesir, meski banyak yang mengira demikian. Sudah begitu,
bangunan Masjid ini sekarang juga tidak autentik, sebab bangunan aslinya tak
lagi tersisa.
Masjid Amr bin Al-Ash di benua Afrika ini
sebenarnya pondasi awalnya sudah tidak ada. Kehancuran besarnya terjadi pada
1169 M saat akhir Dinasti Fathimiyah berkuasa di Mesir, di mana Perdana Menteri
Syawar membumihanguskan kota Kairo termasuk membakar masjid bersejarah ini.
Langkah itu menurutnya harus dilakukan agar kota Kairo yang terancam jatuh ke
tangan Pasukan Salib tidak dapat digunakan musuh.
Namun penduduk Kairo marah dan putus asa terutama
kaum wanita. Mereka lantas mengirim surat meminta tolong pada Penguasa Damaskus
Nurudin Zanki. Putra pahlawan Perang Salib Imadudin Zanki ini lantas menitahkan
Asaduddin Syirkuh bersama kemenakannya Yusuf Shalahuddin untuk mnyelamatkan
Mesir.
Pasukan ini berhasil menghalau tentara Salib dan
Asaduddin diangkat menjadi wazir pengganti Syawar. Namun Asaduddin tidak
berusia panjang, ia wafat dan posisinya digantikan Shalahuddin. Di sinilah
kilau bintang Shalahuddin bersinar. Yusuf an-Nashir Shalahuddin lalu
membubarkan Dinasti Syiah Fathimiyah di Mesir dan menggantinya dengan Dinasti
Ayyubiyah yang berkuasa pada rentang 1171-1250 M.
Masjid Amru bin al-Ash ini lalu direnovasi
besar-besaran oleh Shalahuddin dan kini menjadi objek wisata agama yang sangat
populer di Negeri Anbiya Mesir. Di sini pulalah ulama-ulama terkenal semisal
Imam Laits bin Saad, Imam asy-Syafi’i, Ibnu Hisyam, Sulthanul Ulama al-‘Izz bin
Abdissalam mengajar dan membuat pengajian rutin mereka.
Alkisah saat Amr bin Ash melakukan futuhat ke
Mesir pada masa Khalifah Umar bin al-Khathab, dia tiba di kota Al-‘Arisy tepat pada
Idul Adha 10 Dzulhijjah 18 H/639 M. Lalu dari sana, dia bertolak menuju selatan
ke kota Farma (sekitar 30 km dari timur Port Said). Tanpa adanya alat berat,
kota Farma dikepung sebulan lamanya dan ditaklukkan pada 19 Muharram 19 H/640
M. Setelah itu tembok kota dan benteng Farma dihancurkan, agar tak digunakan
lagi oleh pasukan Romawi Byzantium.
Dari Farma, Amr bin Ash merangsek ke pedalaman
negeri Mesir sampai Bilbis, kini kota di Provinsi Syarqiyah. Di Bilbis, pasukan
Romawi telah siap sedia dan membentengi kota di bawah pimpinan Arthabun.
Namun ternyata di sana terdapat pula Armanusa,
putri Muqauqis, Gubernur Mesir dari Kaisar Heraklius. Armanusa beserta
rombongannya tadinya tengah menuju Qaesaria untuk menikah dengan Konstantin
anak Kaisar Heraklius. Armanusa mengirim surat pada sang ayah memohon bantuan
sebab Bilbis diserang. Muqauqis yang setengah hati hanya mengirim pasukan
pengintai yang tak mampu menghadapi pasukan Muslimin.
Setelah sebulan dikepung, lewat pertempuran sengit
kota Bilbis jatuh ke pangkuan kaum Muslimin. Seribu tentara Romawi terbunuh dan
tiga ribu tertawan, adapun syuhada kaum Muslimin sebanyak 250 orang, 40 dari
kalangan sahabat dan 210 dari tabiin. Rombongan Armanusa diantar pulang ke
tempat ayahnya Muqauqis oleh sahabat Qais bin Saad bin Ubadah.
Qais menyapa Muqauqis dengan berkata, “Wahai Raja,
kalian pasti akan kami taklukkan.” Sekali lagi Qais menawarkan Islam pada
gubernur yang sempat menghadiahkan Nabi Saw Maria Qibtiyah dan Syirin ini.
Muqauqis berjanji akan menyampaikan pada pengikutnya meskipun dia yakin
ajakannya itu pasti ditolak kaumnya. Kemenangan di Bilbis kian menginspirasi
kaum Muslimin melanjutkan futuhat Mesir hingga berlanjut pada Pertempuran Ain
Syams, pengepungan Benteng Babylon dan penyerahan kota Alexandria, sampai
seluruh Mesir bergabung dalam Daulah Islamyah.
Armanusa sendiri tak jadi menikah dengan
Constantine III. Setelah Kaisar Heraklius mangkat 641 M, Constantine III
memerintah Imperium Romawi bersama adik tirinya Heraklonas, namun hanya selang
tiga bulan Constantine III meninggal. Penyebab resminya karena sakit TBC namun
rumor beredar ibu tirinya Martina yang meracuninya. Martina ingin agar anaknya
Heraklonas berkuasa sendirian. Tak dinyana Heraklonas juga hanya memerintah
beberapa bulan di bawah perwalian ibunya, sebelum akhirnya digulingkan Jenderal
Valentinus yang mengembalikan takhta kaisar kepada Constans II anaknya
Constantine III. Heraklonas dipotong hidungnya dan diasingkan ke Pulau Rhodes
hingga meninggal di sana. Usai terbunuhnya Constanine III, Armanusa menikah
dengan Arcadius anak Lairaj, Komandan Angkatan Bersenjata. Kisah Armanusa dan
futuhat Amr bin Al-Ash dinovelkan oleh penulis Lebanon, Jurji Zaedan tahun 1896
dengan judul Armanusa Al-Mashriyyah.
Lantas masjid apa yang pertama kali dibangun di
bumi Afrika dan Mesir? Sejarawan menguatkan pendapat mereka dengan menyebut Masjid
Sadat Quraisy. Masjid inilah yang dibangun pasukan Amr bin Al-Ash di kota
Bilbis. Awalnya masjid ini bernama Masjid Syuhada terus berganti nama beberapa
lama menjadi Masjid Al-Ma’mun.
Ceritanya Khalifah Al-Ma’mun (786-833 M) dari
Dinasti Abbasiyah di Baghdad datang ke Mesir dan tinggal selama 40 hari di sana
untuk menstabilkan negeri itu dari pembangkangan sipil akibat kesemenaan
gubernurnya, Isa bin Manshur. Kini namanya beralih menjadi Masjid Sadat
Quraisy. Dinamakan Sadat Quraisy atau para pemuka Quraisy, sebagai penghormatan
dan pemuliaan banyaknya syuhada dari kalangan sahabat Quraisy yang gugur
melawan pasukan Romawi.
Masih perihal yang pertama, beberapa sumber
mengisyaratkan kalau Masjid Najasyi di Ethiopia adalah masjid yang pertama
dibangun di Afrika, di mana masjid ini dibangun para sahabat muhajirin yang
hijrah ke Habasyah saat fase dakwah di Mekkah.
Lain masjid, lain pula universitas. Jamak sudah
diketahui bukan Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir yang paling lama didirikan
di dunia ini melainkan Al-Qarawiyyin di Fez Maroko. Meski memang Al-Azhar lebih
konsisten untuk tetap beraktivitas dan hanya sebentar mengalami kevakuman.
Rupanya upaya Al-Azhar membenahi sistem dan birokrasinya terutama
administrasinya mulai terasa. Saat ini, Universitas Al-Azhar berada di peringkat
51 dalam Peringkat Universitas Wilayah Arab QS 2021. Ini sudah cukup
membanggakan.