Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

I’tifad, Sisi Lain dari Masyarakat Jahiliah

Avatar photo
30
×

I’tifad, Sisi Lain dari Masyarakat Jahiliah

Share this article

Era
sebelum Islam datang disebut jahiliah (kebodohan) karena masyarakat di masa itu
tidak mengenal Allah Swt dengan benar. Tapi ini tidak berarti mereka bodoh
dalam segala hal. Banyak keunggulan mereka yang mungkin tidak dimiliki oleh
masyarakat modern. Seperti kemampuan mengenali nasab seseorang hanya dengan
melihat tumitnya saja yang dikenal dengan istilah al-qiyafah (
القيافة),
dan lain-lain. Tidak hanya itu. Banyak dari karakter masyarakat di masa itu
yang sangat luar biasa, yang bisa membuat malu masyarakat modern.

Salah
satunya apa yang disebut dengan al-I’tifad (
الاعتفاد).
I’tifad adalah ketika datang kemarau yang panjang, dan bekal untuk bertahan
hidup tak ada lagi, sang ayah sebagai kepala keluarga akan membangun sebuah
gubuk dari batu. Lalu ia mengajak anak dan istrinya masuk ke dalam gubuk itu.
Setelah anak istrinya masuk ia pun masuk lalu menutup gubuk itu dengan batu
terakhir. Mereka sudah siap mati kelaparan di dalam gubuk itu. Itu semua mereka
melakukan supaya tidak jatuh pada kehinaan menerima belas kasihan orang lain.
Mereka juga tidak ingin ada orang yang tahu kalau mereka sedang berada dalam
kondisi yang sangat sulit.

Tentu
kebiasaan jahiliyah ini tidak sepenuhnya benar. Menyerah pada kondisi hidup
yang sulit tentu bukan sesuatu yang baik. Tapi mari lihat sisi luar-biasanya.
Keengganan dibelaskasihani. Keengganan termakan budi. Keengganan kehilangan air
muka.

Siapa
orang pertama yang punya inisiatif menghilangkan tradisi ini? Dialah Hasyim bin
Abdu Manaf. Ia berkata pada masyarakat Quraisy: “Wahai masyarakat Quraisy, kita
adalah suku yang paling mulia dan disegani dalam masyarakat Arab. Jumlah kita
juga banyak. I’tifad ini telah banyak memakan korban di
antara
kita. Saya punya pendapat.”

Serentak
mereka berkata, “Pendapatmu akan kami dengar wahai Hasyim.”

Hasyim
melanjutkan, “Saya berpendapat, orang miskin di
antara
kita ‘ditumpangkan’ pada orang kaya di antara kita. Untuk setiap keluarga kaya
kita tumpangkan satu keluarga miskin. Keluarga miskin yang menumpang ini akan
membantu keluarga kaya dalam dua perjalanan yang biasa kita lakukan; perjalanan
di musim panas ke Syam dan perjalanan di musim dingin ke Yaman.”

Pendapat
itu diterima baik oleh masyarakat Quraisy. Sejak saat itu tradisi I’tifad pun
berakhir. (lihat: at-Tadzkirah al-Hamduniyyah)

***

Sebagian
orang ada yang selalu memandang ‘hitam’ pada setiap tradisi yang berkembang di
masyarakat. Padahal tidak sedikit dari tradisi itu yang baik. Benar, sebagian
tradisi itu perlu ‘dibersihkan’ (di-tahdzib) dari hal-hal yang
negatifnya, tidak dengan melenyapkannya sama sekali. Adalah lebih mudah
mengajak masyarakat melalui adat dan tradisi yang sudah mendarah-daging,
setelah di-tahdzib dan diperbaiki, daripada datang dengan sesuatu yang
sama sekali baru sambil menuduh bahwa apa yang selama ini mereka lakukan adalah
salah.

Rasulullah
Saw sendiri ketika masih remaja pernah ikut serta dalam salah satu perang
masyarakat jahiliyah, yaitu perang Fijar. Setelah menjadi Rasul, beliau
mengenang kembali masa-masa itu dan merasa bahagia pernah ambil bagian dalam
perang yang membela keadilan dan kemanusiaan itu.

Islam
tidak semestinya dipertentangkan dengan adat dan budaya lokal, kecuali sesuatu
yang jelas-jelas bertentangan dengannya. Untuk mengatakan bahwa sesuatu
bertentangan dengan Islam tidaklah sesederhana mengucapkannya. Wallahu
a’lam.

Kontributor

  • Yendri Junaidi

    Bernama lengkap Yendri Junaidi, Lc., MA. Pernah mengenyam pendidikan di Perguruan Thawalib Padang Panjang, kemudian meraih sarjana dan magister di Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.