Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Sekian Alasan Rasulullah Membangun Masjid Usai Hijrah ke Madinah

Avatar photo
36
×

Sekian Alasan Rasulullah Membangun Masjid Usai Hijrah ke Madinah

Share this article

Setelah persembunyian sudah dianggap selesai, dan sudah waktunya hijrah
ke Madinah, Rasulullah melihat keadaan di sekitar gua Hira saat sebagian kaum
kafir Quraisy berupaya membunuhnya. Beliau bersiap-siap berangkat ke Madinah
dengan sahabat karibnya Abu Bakar sesudah menganggap upaya pencarian sudah mereda.

Sesampainya di Madinah, Rasulullah disambut dengan gegap gempita oleh
kaum muslimin, kebahagiaan dan kegembiraan sangat tampak di raut wajah mereka.
Mereka pun melantunkan bait-bait syair penyambutan yang semarak:

طلع البدر علينا *** من ثنيات الوداع

وجب الشكر علينا *** ما دعا لله داع

أيها المبعوث فينا *** جئت بالأمر المطاع

“Bulan
purnama telah terbit di atas kami. Dari Tsaniatil Wada’.”

“Kami harus bersyukur atas apa yang dia serukan di jalan Allah.”

“Wahai orang yang diutus untuk kami, engkau datang membawa amanah yang
harus ditaati.”

Syekh Shafiyurrahman
al-Mubarakfuri mengatakan
, saat
Rasulullah sampai di Madinah, masyarakat saat itu terdiri dari tiga golongan,
yaitu:

Pertama: Kaum Muslimin

Menurut Syekh Shafiyurrahman, masyarakat Islam saat itu terdiri dari dua
kalangan, yaitu kalangan Muhajirin (para sahabat yang hijrah dari Makkah) dan
Anshar (para sahabat penduduk asli kota Madinah).

Kedua: Kaum Musyrikin

Sebagian kaum musyrik di kota Madinah saat itu, bisa dikatakan, sudah
ragu terhadap keyakinan syiriknya dan tidak menyimpan dendam kesumat terhadap
Islam, sehingga banyak dari mereka yang kemudian masuk Islam.

Namun, ada juga yang tetap memusuhi Islam dalam kesyirikannya, hanya
saja mereka tidak berani berbuat banyak karena kekuatan umat Islam semakin
besar. Akhirnya, yang mereka lakukan hanyalah berpura-pura masuk Islam, sembari
menyembunyikan kekafiran dan kebenciannya terhadap Islam. Merekalah orang-orang
yang disebut sebagai orang munafik, dengan tokoh mereka, yaitu Abdullah bin
Ubay.

Ketiga: Kaum Yahudi

Kelompok ketiga ini, terdiri dari orang-orang yang berasal dari ras
Yahudi dan sudah bercampur baur dengan masyarakat Arab dan Madinah, namun tetap
menjaga aturan dan adat istiadat dan keyakinan mereka. Merekalah yang selama
ini menguasai perekonomian masyarakat Madinah dan dikenal sebagai orang-orang
yang banyak memiliki keahlian.
(Syekh
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri,
Rahiqul Makhtum, [Wazaratul Auqaf: Qatar 2007], h. 180).

Pilar Pertama, Pembangunan Masjid

Setibanya di Madinah Rasulullah
segera membangun pilar-pilar penting negara. Pilar-pilar itu dibangun dalam
tiga program: membangun masjid; mengikat tali persaudaraan antar muslim, utamanya
antara kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar; dan menetapkan undang-undang
dasar (
dustur) yang mengatur sistem kehidupan
kaum muslim dan memperjelas hubungan mereka dengan kalangan nonmuslim, khususnya
kaum Yahudi.

Ketika Rasulullah mengelilingi
rumah-rumah sahabat Anshar, tiba-tiba unta yang ditungganginya berhenti di sebidang
tanah milik dua anak yatim. Di tanah yang sama, jauh sebelum kedatangan
Rasulullah di Madinah, As‘ad bin Zararah pernah membangun mushalla. Di tanah
itu pulalah, Rasulullah memerintahkan mereka membangun masjid. Dua anak yatim
itu merupakan bagian dari sahabat Anshar, yang berada di bawah perwalian As‘ad
bin Zararah, lalu dipanggil oleh Rasulullah untuk menyampaikan niatnya membangun
masjid di tanah itu. Mereka menjawab, “Kami akan memberikan tanah ini kepadamu,
wahai Rasulullah.” Namun, Rasulullah bersikeras menolak dan memutuskan untuk
membelinya dengan harga sepuluh dinar. (Syekh
az-Zarkasyi, I‘lamus
Sajid
fî Ahkamil Masajid, h. 223)

Sebenarnya, tanah yang ingin
dijadikan tempat bangunan masjid, bukanlah layaknya padang sahara yang sudah
siap guna, sebab di atas tanah itu tumbuh beberapa pohon Gharqad dan kurma, juga
ada beberapa kuburan orang musyrik. Melihat hal itu, lantas Rasulullah
memerintahkan para sahabat untuk membongkar kuburan-kuburan itu, pohon-pohonnya
ditebang dan kayunya dipergunakan untuk membangun bagian kiblat masjid. Kemudian,
masjid dibangun setelah tanah dibersihkan dan diratakan. Panjang masjid dari
mulai bagian depan (kiblat) hingga bagian belakangnya sekitar seratus hasta,
begitu juga lebar kedua sisinya.

Saat pembangunan dimulai, Rasulullah
terlibat langsung bersama para sahabat. Beliau ikut mengangkut batu dan
beberapa kebutuhan dalam proses pembangunannya. Waktu itu, kiblat masjid masih
menghadap ke arah Baitul Maqdis. Pilar-pilar masjid terbuat dari batang pohon kurma,
sementara atap terbuat dari pelepahnya. Saat yang bersamaan, Rasulullah melantunkan
sebuah bait syair, yaitu:

اللهم لاعيش الا
عيش الأخرة # فاغفر للأنصار والمهاجرة

Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali
kebaikan akhirat, ampunilah kaum Muhajirin dan Anshar.”
(Syekh Shafiyurrahman, Rahiqul Makhtum, 2007, h. 182).

Dari paparan di atas, ada beberapa poin penting
yang mesti dicatat dan direnungkan menurut Syekh Said Ramadhan al-Buthi, yaitu:

Pertama, Urgensi masjid di tengah masyarakat muslim.

Menurut Syekh al-Buthi, mendirikan masjid adalah
langkah utama dan paling penting dalam pembentukan komunitas muslim. Karena,
masyarakat muslim bisa berdiri kukuh dengan berpedoman pada ajaran Islam, juga
akidah dan etikanya, yang semuanya bersumber dari spiritualitas masjid,
dipatuhi dan dipegang erat-erat. Hal itu bisa terwujud apabila sudah ada
masjid, melihat saat itu umat Islam tidak mempunyai banyak tempat peribadatan
secara khusus.

Di antara sistem dan etika Islam adalah
terwujudnya ikatan tali persaudaraan antar Muslim. Namun, penting untuk
dicatat, ikatan persaudaraan saat itu tidak akan pernah bisa terwujud kecuali
melalui masjid. Jika kaum Muslim tidak pernah berjumpa satu sama lain di rumah
Allah setiap hari, mustahil persaudaraan dapat terjalin. Mereka akan dihalangi sekat-sekat
perbedaan kedudukan, kekayaan, dan status sosial.

Di antara sistem dan etika Islam lainnya adalah
penyebaran ruh persamaan dan keadilan di tengah masyarakat yang melampaui perbedaan
status dan kedudukan mereka. Namun, ruh ini tidak akan terwujud kecuali jika
kaum muslimin berbaris dalam satu barisan yang kukuh setiap hari, berdiri
bersama-sama menghadap Allah swt. Hati mereka harus terpaut satu sama lain
dalam ruang penghambaan kepada-Nya. Artinya, jika setiap kaum muslimin
mengerjakan rukuk dan sujud di rumah mereka masing-masing tanpa adanya sebuah
ikatan dan kebersamaan, mustahil ruh keadilan dan persamaan dapat menundukkan
sifat egois dan sifat “keakuan” yang sudah mengakar di tubuh masyarakat saat
itu.

Sistem dan etika Islam lainnya adalah meleburnya
seluruh muslim dalam satu wadah kesatuan yang diikat oleh hukum dan syariat
Islam. Namun, jika di tengah masyarakat Islam tidak ada masjid yang menjadi
tempat mereka berkumpul dan mempelajari hukum Allah dan syariat-Nya, persatuan
dan kesatuan mereka pasti akan hancur. Mereka akan mudah terpecah menjadi
kepingan-kepingan kecil, dikalahkan ambisi dan nafsu dunia.

Maka, demi mewujudkan seluruh elemen di atas, di
tengah masyarakat Islam yang baru terbentuk, Rasulullah membangun masjid
sebelum menjalankan program-program lainnya.

Kedua, Hukum bertransaksi dengan anak kecil.

Bagian kisah ini memberi sebuah gambaran mengenai
hukum bertransaksi dengan anak kecil yang belum mencapai usia
rusyd (baligh, bisa membedakan baik-buruk). Sebagian fukaha, menjadikan
hadist tentang pembelian sebidang tanah milik dua anak yatim yang dilakukan
Rasulullah di atas sebagai dalil diperbolehkannya transaksi jual-beli dengan
anak yang belum mencapai usia baligh. Jika transaksi jual-beli dengan anak belum
baligh dianggap tidak sah, Rasulullah tentu tidak akan membeli tanah itu dari
kedua anak yatim tersebut.

Kemudian, berkaitan dengan kejadian di atas, sebagian
ulama menanggapinya dengan dua catatan.
Pertama,
dalam riwayat Ibn Uyainah disebutkan, Nabi tidak membeli langsung tanah itu dari
kedua anak itu, tetapi dari paman yang menjadi wali mereka. Jadi, pendapat
sebagian ulama di atas tidak bisa dibenarkan dan tidak berdasar.
Kedua, Rasulullah memiliki hak perwalian dalam urusan seperti itu. Artinya,
ia bisa membeli tanah itu dari kedua anak tersebut dalam kapasitasnya sebagai wali
bagi seluruh kaum muslim, bukan sebagai individu.

Ketiga, Diperbolehkannya membongkar kuburan dan menggunakan tanahnya yang
telah diratakan dan dibersihkan untuk masjid.

Ketika mengomentari hadis “pembongkaran makam”,
Imam Nawawi mengatakan, “Hadis ini menunjukkan dibolehkannya membongkar makam
lama dan menjadikan tanahnya untuk tempat shalat atau masjid. Syaratnya, bagian
tanah yang telah bercampur nanah dan darah mayat yang dikubur di sana telah
dibersihkan dan disingkirkan. Hadist ini juga menjadi dasar dibolehkannya
menjual tanah kuburan, dan tanah itu tetap menjadi hak milik si pemilik yang
bisa diwariskan selama belum diwakafkan.” Sedangkan kuburan di tanah milik dua
anak yatim tersebut adalah kuburan yang sudah lama. Tentu, mustahil masih ada
campuran darah dan nanah dari mayat yang dikubur di tanah itu. Meski demikian,
atas perintah Rasulullah, kuburan itu tetap digali, dibongkar, dan tulang
belulang yang masih tersisa dipindahkan ke tempat lain.

Sedangkan menurut Syekh al-Buthi sendiri, kuburan
kuno boleh dibongkar dan tanahnya bisa dijadikan masjid jika tidak berstatus
tanah wakaf. Hanya saja, jika berupa tanah wakaf, dia tidak boleh
dialihfungsikan untuk keperluan apa pun selain yang dikehendaki si muwakif
(orang yang mewakafkan).
(Syekh
Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus
Sirah Nabawiyah, [Beirut: Dar al-Fikr 2020], h. 159)

 

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.