Setiap
pelajar syariah, khususnya ilmu Ushul Fiqih, tentu tahu bahwa ijmak atau
kesepakatan ulama merupakan salah satu landasan hukum yang utama dalam Islam.
Ia menempati urutan ketiga setelah al-Quran dan Sunnah. Saking pentingnya
kaidah ijmak ini sampai-sampai banyak ulama mengatakan orang yang menyalahi dan
berseberangan dengan ijmak dihukum kafir.
Kenapa
dihukum kafir? Karena ia telah mengingkari sesuatu yang sudah diketahui dari
agama secara pasti (bersifat aksiomatik). Misalnya mengingkari bahwa shalat
yang wajib dalam sehari semalam itu adalah lima kali, mengingkari kewajiban
puasa di bulan Ramadhan, mengingkari Ka’bah sebagai kiblat kaum muslimin dan
sebagainya. Artinya ini sesuatu yang hampir tidak ada seorang muslim pun yang
tidak mengetahuinya.
Imam
al-Ghazali mengatakan:
مستند الإجماع فى
الأكثر نصوص متواترة وأمور معلومة ضرورة بقرائن الأحوال والعقلاء كلهم فيه على
منهج واحد
“Sandaran
ijmak itu sebagian besar adalah nash-nash yang mutawatir dan hal-hal yang sudah
diketahui secara pasti (dalam agama), dimana setiap orang yang berakal sama
dalam memahaminya.” (Al-Mustashfa: 2/295)
Karena
itulah para ulama sangat berhati-hati untuk mengatakan, “Ulama sepakat
mengharamkan ini…” atau, “Ulama sepakat mewajibkan ini…”.
Banyak
klaim ijmak dari para ulama dibantah ulama yang lain. Berbagai klaim ijmak yang
dimuat oleh Imam Ibnu al-Mundzir an-Nisaburi (wafat tahun 318 H) dalam kitabnya
yang terkenal (الإجماع)
tidak diterima begitu saja oleh para ulama.
Imam
Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H) ketika menulis kitab Maratib al-Ijmak tak luput
dari berbagai kritikan dan bantahan. Di antara ulama yang mengkritisinya adalah
Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728) dalam kitabnya Naqd Maratib al-Ijma’.
Padahal motivasi Ibnu Hazm menulis kitab itu adalah untuk meminimalisir klaim ijmak
yang begitu mudah dilontarkan oleh sebagian orang.
وقد أدخل قوم فى
الإجماع ما ليس فيه وقوم عدوا قول الأكثر إجماعا وقوم عدوا ما لا يعرفون فيه خلافا
إجماعا
“Banyak
orang yang memasukkan dalam ijmak sesuatu yang bukan ijmak. Ada yang menganggap
pendapat mayoritas adalah ijmak. Ada juga yang menganggap pendapat yang mereka
tidak tahu ada perbedaan di dalamnya sebagai ijmak.”
Ia
lalu menyebutkan beberapa sandaran para ulama dalam klaim ijmak, seperti
pendapat sahabat yang mereka tidak tahu ada pendapat lain yang berbeda
dengannya, pendapat masyarakat Madinah, pendapat masyarakat Kufah dan
seterusnya.
Kemudian
ia berkata:
وكل هذه آراء فاسدة
“Itu
semua pendapat yang rusak.”
Artinya,
Ibnu Hazm sudah sangat hati-hati dalam mengkategorikan sesuatu sebagai ijmak.
Namun demikian tetap saja hasil ijtihadnya ini dikritik. Dan di antara yang mengkritiknya adalah Ibnu Taimiyyah yang dalam banyak hal
sejalan dengan pemikiran Ibnu Hazm.
Karena
sulitnya untuk mengatakan sesuatu sebagai ijmak, Imam Ahmad bin Hanbal pernah
melontarkan kalimat yang cukup pedas :
من ادعى الإجماع فقد
كذب
“Siapa
yang mengklaim ijmak maka ia telah berbohong.”
Alasan
Imam Ahmad mengatakan demikian sangat simpel tapi masuk akal, “Dari mana ia tahu kalau semua ulama telah sepakat? Boleh jadi saja di antara
mereka ada yang tidak sepakat?”
Tentu
ini tidak berarti Imam Ahmad mengingkari hujjiyyah Ijmak. Pesan yang ingin
disampaikan adalah bahwa untuk mengatakan, “Ulama telah sepakat…” bukan sesuatu
yang mudah.
***
Di sini kita heran melihat orang yang mengaku sebagai pengikut Imam Ahmad dan
Ibnu Taimiyyah, tapi begitu mudah mengatakan, “Ulama sepakat mengharamkan ini…”
Apalagi untuk sesuatu yang bersifat furu’iyyah dan sangat potensial mengandung
khilafiyyah (perbedaan pendapat) seperti halnya masalah tahlilan.
Ada
dua kemungkinan:
Pertama,
orang tersebut tidak mengerti apa itu ijmak dan bagaimana ulama berbeda pendapat
tentang hakikatnya, definisinya, kemungkinan adanya (إمكان وجوده فعلا), dan sebagianya.
Kedua,
ia tidak terlalu memikirkan apa yang keluar dari mulutnya (يهرف بما لا يعرف).
Termasuk
juga masalah musik dan nyanyian yang oleh sebagian mereka dikatakan bahwa para
ulama sepakat mengharamkannya. Imam Syaukani sengaja menulis satu risalah
khusus untuk membantah hal itu yang berjudul:
إبطال دعوى الإجماع
على تحريم مطلق السماع
Bahwa
para ulama ada–atau banyak-yang mengharamkannya, iya. Tapi dikatakan bahwa para
ulama sepakat mengharamkannya, ini klaim yang oleh para ulama disebut sebagai: دونه خرط القتاد (sesuatu yang
nyaris mustahil digapai).