Yulianti
Muthmainah, Ketua Komunitas Aisiyah ITB Ahmad Dahlan Jakarta, menyampaikan
pendapat bahwa perempuan sedang haid tidak dilarang berpuasa. Pendapat ini ia
sampaikan
dalam
diskusi online yang diadakan oleh Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan
Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta bersama Kongres
Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Secara
pribadi saya sangat menghargai pendapat Yulianti ini. Ia mendasari pendapatnya
dengan argumentasi sebagai berikut.
1.
Menurutnya, dalam Al-Quran tidak ada larangan perempuan haid untuk berpuasa.
2.
Perempuan yang sedang haid berarti sedang sakit. Hukum berpuasa bagi orang
sakit adalah “rukhsah”, yaitu boleh memilih puasa atau tidak puasa.
3.
Dalam hadits Nabi Saw, adanya perintah meng-qadha puasa bukan berarti larangan
untuk berpuasa. Meng-qadha itu wajib jika perempuan haid memilih tidak
berpuasa.
Saya
ikut nimbrung begini:
1.
Sumber hukum Islam ada empat: Al-Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Dalam kasus
hukum haram berpuasa bagi perempuan yang sedang haid, salah satu dalil yang
mendukung hukum ini adalah ijma’.
Imam
Nawawi dalam al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab menyatakan sebagai berikut:
اجمعت الأمة على تحريم الصوم على
الحائض والنفساء، وعلى أنه لا يصح صومها، ويستدل من السنة على تحريم صومها بحديث
أبي سعيد أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصم، فذلك
نقصان دينها
“Telah
terjadi kesepakat umat (ulama) bahwa perempuan yang sedang haid dan nifas haram
berpuasa. Jika mereka berpuasa, puasanya tidak sah. Hukum ini berdasarkan pada
hadits dari Abi Said yang menyatakan bahwa Nabi Saw. bersabda, ‘Ketika
perempuan sedang haid tidak shalat dan tidak puasa. Inilah kekurangan
keberagamaan mereka.’”
Sebagian
ulama mendasari pendapat haramnya perempuan haid berpuasa dengan hadits dari
Sayyidah Aisyah:
لقد كنا نحيض عند رسول الله صلى الله
عليه وسلم فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة”. رواه مسلم
“Kami
pernah dalam keadaan haid berada di samping Rasulullah Saw., maka kami
diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha
shalat.”
2.
Dalam hukum Islam, kita mengenal istilah ta’abbudi dan ta’aqquli. Kasus hokum
keharaman puasa bagi perempuan haid adalah persoalan ta’abuddi. Hal ini bisa
dipahami dari pernyaataan Imam Syafii di dalam kitab Mughni al-Muhtaj:
قال الامام: وكون الصوم لا يصح منها
لا يدرك معناه لان الطهارة ليست مشروطة فيه
“Imam
Syafii mengatakan: soal haramnya berpuasa bagi mereka (perempuan yang sedang
haid) alasannya tidak bisa kita cerna, karena kesucian (thaharah) bukanlah
syarat dalam berpuasa.”
Jadi,
larangan berpuasa bagi perempuan haid terdapat dalam hadits Nabi, dan telah
disepakati oleh para ulama.
Dalam
Al-Quran ditegaskan:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ
“Apa
yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagi kalian, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7).
Dengan
demikian, di dalam Al-Quran ada larangan bagi perempuan haid berpuasa, meskipun
tidak secara langsung. Wallahu a’lam.