Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Al-Azhar: Wanita Sering Dieksploitasi untuk Lakukan Aksi Terorisme

Avatar photo
15
×

Al-Azhar: Wanita Sering Dieksploitasi untuk Lakukan Aksi Terorisme

Share this article

 

28 Januari lalu, tanah air kembali dikejutkan dengan
tragedi menyedihkan bom bunuh diri oleh pasutri muda di depan salah satu gereja
yang terletak di kota Makassar. Dua pelaku melakukan aksi tersebut saat jemaah
gereja tengah menjalankan ibadah misa.

Tak lama setelah itu, publik kembali dihebohkan
dengan aksi seorang wanita, lengkap dengan cadar dan baju kurungnya, melakukan
tembakan secara brutal di kantor Mabes Polri Jakarta. Dalam kejadian tersebut,
si wanita harus berakhir begitu menyedihkan dengan peluru panas menembus
tubuhnya.

Dua kejadian dengan waktu yang berdekatan, aksi yang
serupa dan sama-sama melibatkan perempuan, bukanlah kewajaran yang bisa
dibiarkan begitu saja. Dua kasus tersebut bukanlah yang pertama dalam
melibatkan wanita sebagai tokoh utamanya.

Sebenarnya ada apa dengan keterlibatan kaum
perempuan dalam berbagai kasus terorisme?

Baru-baru ini Pusat Observatori Al-Azhar menemukan
fakta soal mengapa wanita paling banyak menjadi korban terorisme dan
kekerasaan. Seperti dilansir dari Youm7,
bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional pada Maret silam,
Pusat Observatori Al-Azhar mengumumkan hasil penelitian mereka tersebut.

Presentase keterlibatan wanita dalam berbagai aksi
terorisme rupanya tidak sedikit, yakni antara 10% hingga 15%. Pusat observatori
menambahkan, peran para wanita tersebut paling banyak ada dalam aksi bom
bunuh diri, baik dalam keadaan dipaksa, ditipu ataupun sebagai pelarian dari
masalah hidup mereka. Seperti yang terjadi di Afghanistan, Pakistan, Irak,
Tunisia, Nigeria, dan masih banyak lagi.

Semua wanita yang berada dalam pusaran aksi
terorisme adalah korban, meski jika kita lihat secara zahir tentu menunjukan
bahwa para wanita ini terlibat aktif dan punya peran penting dalam kasus
terorisme.

Keterlibatan mereka sesungguhnya bermula dari perekrutan, yang
sebagian besar di luar kesadaran mereka, kemudian dieksploitasi untuk memainkan
peran krusial dan jadi elemen penting dalam aksi berdosa ini, bukan berdasarkan
kemauan pribadi.

Selain jadi elemen penting, para wanita ini juga
terkadang berfungsi sebagai alat pemikat para pendatang, wadah bagi ide-ide
ekstrimis ala para teroris, pekerja logistik, menyelundupkan senjata-senjata,
pengangkut bahan peledak, mengumpulkan sumbangan dan penyebar propaganda
melalui sosial media dan internet.

Fakta pedih lainnya mengungkapkan, pemerkosaan jadi
salah satu cara yang paling banyak dilakukan dalam meneror para perempuan dan
anak-anak, sebagaimana yang terjadi di daerah-daerah yang pernah menjadi tempat
konsentrasi kelompok-kelompok teroris.

Pada tanggal 3 Mei 2017, Perserikatan Bangsa-Bangsa
atau PBB melaporkan para korban kekerasan seksual ini mengalami trauma luar
biasa yang berasal dari dua faktor, faktor pertama dari stigma dan respon
masyarakat, faktor kedua dari agama.

Pusat Observatori Al-Azhar menambahkan, beberapa
peraturan anti terorisme kadang melanggar hak-hak para perempuan dan membatasi
kebebasan mereka. Seperti halnya yang terjadi pada wanita-wanita mantan tahanan
kelompok teroris yang dibebaskan kemudian ditahan kembali dengan alasan mereka
berafiliasi ke ideologi ekstrimis. Sehingga hal tersebut memberi kesan kepada
masyarakat bahwa para perempuan dan anak-anak bekas budak teroris harus
dikucilkan.

Pusat observatori mengatakan, memberi dukungan
psikis dan mendapat pendampingan dari pakar-pakar psikologi dan aktivis
kemanusiaan lebih utama ketimbang kembali menahan mereka dengan alasan yang
kurang bisa diterima.

Aksi terorisme
memang sesuatu yang masih sulit kita atasi hingga saat ini, beberapa hal yang
menjadi alasan terjadinya kasus terorisme adalah sedikitnya kesempatan dalam
ranah sosial dan ekonomi, adanya diferensiasi sosial, sistem pemerintahan yang
buruk, pelanggaran HAM, dan tidak adanya supremasi hukum.

Pada September 2015, para petinggi dunia sepakat
atas era baru dari tujuan pembangunan, hal itu ditandai dengan disusunnya tujuh
belas tujuan global pada tanggal 1 Januari 2016, atau yang lebih dikenal dengan
‘Tujuan Pembangunan Berkelanjutan’.

Kelima dari tujuh belas poin berisi upaya-upaya
penyetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan anak-anak yang secara
terus-menerus menjadi korban diskriminasi dan kekerasaan di seluruh penjuru
dunia. Poin penyeteraan gender tersebut bukan hanya menyinggung soal hak asasi
saja, namun juga dasar utama dalam perdamaian, kemakmuran dan keberlanjutan
dunia.

Poin tersebut juga membahas adanya kesempatan yang
sama bagi perempuan dan anak-anak untuk mempunyai akses dalam hal pendidikan,
kesehatan, pekerjaan yang layak dan keikutsertaan mereka dalam pengambilan
suara di bidang politik dan ekonomi.

Sebelum menutup laporannya, Observatori Al-Azhar menyampaikan
kesimpulan yang mereka dapatkan dari penelitian ini adalah bahwa kelompok
ekstrimis teroris memanfaatkan keadaan sosial yang timpang di suatu masyarakat,
termasuk masalah ketidak adilan yang dialami perempuan dalam ranah ekonomi,
sosial dan politik.

Ketika para dalang ekstrimis ini menemukan masalah
serupa di suatu daerah, mereka akan dengan mudah membuka perekrutan massal, dan
dalam waktu yang sama menjejali berbagai ideologi rusak untuk kemudian
dieksploitasi menjadi pemain dalam aksi-aksi terorisme. Dalam hal ini, kaum
perempuan lah yang paling banyak menjadi korban.

Untuk itu, kampanye penyetaraan gender tidak melulu
selalu menjurus ke hal-hal negatif, justru dari kampanye dan adanya peraturan
resmi dari pemerintah soal penyetaraan gender diharapkan menjadi sinyal baik
bagi para wanita dalam memastikan keamanan, kedamaian
dan kelayakan hidup mereka.

Kontributor

  • Redaksi Sanad Media

    Sanad Media adalah sebuah media Islam yang berusaha menghubungkan antara literasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Mengampanyekan gerakan pencerahan melalui slogan "membaca sebelum bicara". Kami hadir di website, youtube dan platform media sosial.