Syeikh Muhammad Ali bin
Ali bin Jamil ash-Shabuni
dan Syeikh Muhammad Said bin Ramadhan al-Buthi adalah dua ulama besar lulusan Al-Azhar
Mesir kebanggaan Suriah bahkan
dunia.
Syeikh Ali ash-Shabuni
masyhur sebagai ulama
ahli Tafsir dengan berbagai karya yang menyebar ke berbagai penjuru Negara semial
kitab Ṣafwat al-Tafāsīr, ījāz al-Bayān fī Suwar al-Qur’ān dan Rawā‘i al-Bayān fī Tafsīr al-Āyāt al-Aḥkām. Di samping kitab Tafsir tersebut, Syeikh Ali al-Shabuni
yang pada dasarnya lulusan kuliah Syariah al-Azhar juga menulis kitab fikih,
semisal al-Mawārīth fī al-Sharī‘ah al-Islāmiyyah, Mawqīf al-Sharī‘ah al-‘Izzā’
min Nikāḥ al-Mut‘ah, Risālat al-Ṣalāh dan lainnya.
Sedangkan Syeikh M.
Ramadhan al-Buthi
adalah figur masyhur sebagai Ulama yang multi talenta terbukti dengan
karya-karya mendunia beliau yang lebih dari 60 kitab dalam berbagai disiplin
ilmu, semisal Min Rawā‘I al-Qur’ān al-Karīm, Manhaj al-Ḥaḍārat
al-Insāniyyah fī al-Qur’ān, Barnāmij
Dirāsāt al-Qur’āniyyah (yang masuk dalam kajian Tafsir al-Qur’an), al-Ḥikam
al-‘Aṭā‘iyyah Sharḥ wa Taḥlīl, Fī
Sabīl Allāh wa al-Ḥaqq (dalam
kajian Tasawwuf), Ḥiwār Ḥawla Mushkilāt Ḥaḍāriyyah,
al-Maẓāhib al-Tawḥidiyyah wa al-Falsafāt
al-Mu‘āsirah (dalam kajian filsafat),
Fiqh al-Sīrah, Qadāyā Fiqhiyyah Mu‘āsirah (dalam bidang Fikih), Haẓā Mā
Qultuhu Amāma Ba‘d al-Ru’asā’ wa al-Mulūk, Shakhṣiyyāt
Istawqafatnī, Haẓā Wālidī (kumpulan
nasehat dan biografi-biografi yang mempengaruhi beliau) dan lainnya.
Dalam politik Syeikh Ali ash-Shabuni
adalah salah satu ulama yang mendukung revolusi Suriah, sedangkan Syeikh M.
Said Ramadhan al-Buthi cenderung berpikir jauh, bijak dan memandang bahwa
gejolak politik Suriah dengan ancaman ISIS dan perang pengaruh negara-negara
Barat atas Suriah, maka lebih baik rakyat Suriah tidak melakukan agenda
revolusi menentang pemerintah, sebagaimana yang disaksikan oleh Habib Ali al-Jufri, di mana Syeikh M. Said Ramadhan al-Buthi berkata pada
Habib Ali al-Jufri; “Ini bukan perkara mempertahankan rezim Basyar Asad, namun
jika sang presiden digulingkan maka negara Suriah akan lenyap (layaknya Irak,
Afganistan yang berkonflik secara berkepanjangan)”.
Akibat sikap beliau ini,
Syeikh M. Said Ramadhan al-Buthi menjadi musuh gerakan oposisi Suriah dan jamah
Ikhwanul Muslimin, beliau dianggap oleh cendekiawan Muslim yang lain semisal
Syeikh Yusuf Qardhawi dan Syeikh Ali ash-Shabuni, yang mengkategorikan Syeikh
M. Said Ramdhan al-Buthi sebagai “Ulama Pemerintah” yang gemar berbicara agama
untuk syahwat dunia.
Namun banyak ulama lain mengapresiasi sikap politik beliau yang memilih
bertahan di Suriah dan dekat dengan rezim, sebagaimana kesaksian Habib Ali
al-Jufri, bahwa Syeikh al-Buthi adalah figur warak nan shaleh, tidak ada di hati kecintaan pada dunia, pilihan
politik beliau ini merupakan ijtihad agar leluasa menasehati sang presiden dan
mengajak semua rakyat Suriah bersatu dan tidak meninggalkan negara hancur sebab
konflik internal.
Pada tahun 2013 Syeikh Ali
ash-Shabuni berkunjung ke Indonesia, dakwah kelililng ke berbagai masjid dan
pesantren di Indonesia. Di sela-sela dakwah beliau tersebut terkadang beliau membahas
situasi Suriah yang sedang konflik dan tak jarang menyinggung dan menyayangkan
akan sikap ulama-ulama Suriah yang kekeh mendukung rezim, sebagaimana
terjadi saat beliau menyampaikan mau’idhah di pesantren Gresik, tempat
penulis dididik.
Pasca syahidnya Syeikh M.
Said Ramadhan al-Buthi pun, Syeikh Ali ash-Shabuni masih belum mengapresiasi dan menyalahkan sikap politik
koleganya tersebut, di mana beliau menganggap bahwa sang kolega tidak syahid
sebab memilih jalan salah yang berlawanan dengan jalannya orang-orang Mukmin
Suriah sebab mendampingi Basyar Asad yang dijuluki oleh Syeikh Ali ash-Shabuni
sebagai Musailamah al-Kazzab.
Walau demikian, perbedaan
pandangan politik kedua ulama besar tersebut sebenarnya telah ada contohnya dan
bagaimana seharusnya kita menyikapi. Di mana konflik kedua ulama mulia ini
dapat kita komparasikan dengan konflik antara pihak sayyiduna Ali bin Abi Thalib
ra., Ibnu Abbas ra. dan lainnya dengan pihak sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan
ra., Amru bin Ash ra. dan lainnya. Atau antara sayyiduna Ali bin Abi Thalib ra.
dan sayyidah Aisyah ra. atau sayyiduna Usman bin Affan ra. yang beda pandangan
politik pemakzulan dengan sahabat Thalhah ra. Artinya, bagaimanapun
perbedaan politik yang timbul kala itu, rasa cinta dan hormat kita pada para
Sahabat tidak boleh luntur.
Setelah membaca fakta
sejarah mungkin timbul dalam diri kita penilaian benar dan salah atas
sikap-sikap para Sahabat dan Ulama tersebut sehingga kita mengkategorikan diri
kita sebagai pihak yang pendukung Sahabat A atau ulama B. Bagi penulis itu
manusiawi, namun jangan sampaikan penilaian kita ini mengurangi cinta dan adab
kita pada beliau-beliau. Lahum al-Fatihah.