Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Syeikh Ali Ash-Shabuni Dan Bahaya Belajar Tanpa Guru

Avatar photo
60
×

Syeikh Ali Ash-Shabuni Dan Bahaya Belajar Tanpa Guru

Share this article

Innalillahi
wa Innailaihi Raji’un.
Syeikh
Ali As-Shabuni
, seorang ulama agung, ahli tafsir, meninggal dunia. Karya
beliau berjumlah sekitar 58 judul buku. Di antara yang masyhur dalam tafsir
adalah shafwat al-tafâsir dan rawâi’ al-bayân, atau tafsir ayat hukum (tafsîr
ayât al-ahkâm
). Beliau merupakan salah seorang Guru Besar ilmu tafsir di
Umm Al-Qura University, Makkah, Saudi Arabia.

Lahir
dari ayah yang sangat mencintai ilmu. Sehingga semua saudara saudara Syeikh Ali
piawai dalam disiplin ilmu
ilmu Islam: mawaris, nahwu, sharaf,
balaghah, fikih dan tafsir. Guru beliau yang masyhur adalah Syeikh Muhammad
Said al-Idlibi, Syeikh Najib Sirajuddin, Syeikh Raghib al-Thabbakh dan Syeikh
Najib al-Khayyath.

Dalam
fikih, Syeikh Ali tercatat pernah belajar pada ulama kenamaan, Abdul Fattah Abu
Ghuddah. Nahwu belajar pada ulama besar masyhur, Syeikh Abdullah Hammad. Dalam
tafsir ada beberapa ulama yang membentuk keilmuan beliau, diantaranya adalah
Abu al-Khair Zainal Abidin dan ayahnya sendiri.

Beliau
dikenal mempunyai banyak guru dan sangat disiplin mengikuti pengajian guru
gurunya tersebut. Karena itu, dalam muhadlarah maupun tulisan tulisannya, kerap
Syeikh Ali menyebut bahayanya belajar tanpa guru.

Huruf
Arab tanpa harakat seringkali disalah pahami melenceng dari maksud penulis,
meskipun penguasaan nahwu sharaf telah mumpuni.

Contohnya
adalah saat Syeikh Ali berdiskusi dengan seorang yang belajar secara otodidak
tanpa guru.

Satu
hari, seorang laki laki lulusan sebuah universitas ternama mendatanginya
menanyakan satu permasalahan. Ia bertanya sembari mengeraskan suara agar orang
di sekililingnya mendengar:

“Syeikh,
orang-orang berlebihan dalam mensifati Rasul. Beberapa bahkan mengatakan air
seni Rasul suci, tidak najis. Pernyataan ini tidak bisa diterima oleh akal:
bahkan sampai pada pembenaran riwayat Rasul mengencingi anak kecil.”

Syeikh
Ali bertanya, “Di mana kamu mendapati pernyataan Rasul mengencingi anak kecil?

“Dalam
Shahih Bukhari.” Jawabnya.

 “Datangkan kitab itu kemari!” Pinta Syeikh Ali.

Ia
diminta membuka riwayat yang berbicara Rasul mengencingi anak kecil.

Setelah
diteliti, ternyata hadis tersebut berbicara bahwa ada anak kecil yang dibawa
pada Nabi untuk ditahnik. Kemudian anak kecil itu diletakkan di pangkuan Nabi.
Tiba tiba ia kencing di pangkuan Nabi (
بال عليه). Laki laki tersebut memahami redaksi
hadis keliru karena terbalik mengembalikan marji’ dhamir: Nabi
mengencingi anak kecil.

Syeikh
Ali mengatakan, terkadang kesalahan makna itu bisa sangat fatal. Ia
menceritakan kasus, pernah ada seseorang yang salah memahami bentuk jama’
(plural) ke bentuk kata dasar pekerjaan (isim mashdar).

Kasusnya
adalah saat orang tersebut membaca 
حلق الذكر bukan dengan bentuk plural (hilaq),
melainkan dibaca dengan bentuk kata dasar pekerjaan (halq). ‘Hilaq’ sendiri
mempunyai makna beberapa halaqah/majelis. Sementara ‘halq’ mempunyai makna
pemotongan. Sehingga redaksi “hilaqudz dzikri” (halaqah halaqah dzikir)
dibaca dengan redaksi “halqudz dzakar (pemotongan penis).

حلق الذكر فإن لله
سيارات من الملائكة يطلبون حلق الذكر فاذا اتوا عليهم صفوا بهم

”Majelis
dzikir. Allah memiliki sekelompok malaikat yang mencari majelis-majelis dzikir.
Jika mereka mendatanginya, malaikat-malaikat tersebut akan mengelilinginya.”

Jika
memakai cara baca yang keliru di atas, tentu saja maksudnya menjadi sangat
berbeda: “Malaikat mencari pemotongan penis.”

Itulah
bahaya
belajar tanpa guru
. Meskipun penguasaan nahwu sharaf baik, tapi maksud
penulis sebuah kitab tidak bisa didapat dari metode otodidak. Sebuah kitab bisa
benar dan tepat jika dibaca dari sudut pandang bahasa, tapi pada saat yang sama
melenceng dari maksud penulis. Nah, kesesuaian dengan maksud penulis tidak bisa
diperoleh kecuali melalui silsilah mata rantai sanad.

Mari
kita doakan bersama sama agar Syeikh Ali Ash-Shabuni diterima segala amal
baiknya, dan karya karya beliau menjadi amal jariyah yang tak terputus
pahalanya sampai Hari Akhir. Amin Ya Rabbal Alamin.

Kontributor

  • Ahmad Hadidul Fahmi

    Kiai muda NU, suka mengkaji pemikiran Islam, dan rutin menulis berbagai isu mutakhir agama. Mengaku suka musik metal sejak di pondok. Alumni Universitas al-Azhar Mesir dan sekarang menjadi salah satu pengasuh Pesantren Attaujieh al-Islamy Leler Rawalo Banyumas