Rasa yang
dimiliki oleh para sufi memang tidak bisa diukur. Mereka berada di antara dua
pilihan yang sama-sama berisiko. Pertama, mereka cukup menikmati rasa itu
sendiri, memendamnya tanpa mengungkapkannya. Risikonya adalah batin yang
tersiksa. Tubuh yang boleh jadi semakin kurus, dan air mata yang akan terus
mengucur, karena kecenderungan orang adalah mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Kedua,
mereka mengungkapkannya dengan lisan maupun tulisan. Ini juga berisiko, karena
rasa itu sungguh tidak terbatas, sedangkan bahasa sangat terbatas.
Pada
akhirnya, banyak para sufi yang memilih untuk mengungkapkannya. Walhasil,
ungkapan setiap sufi berbeda antara satu dengan yang lain, karena sangat
ditentukan oleh daya pikir, kemampuan bahasa, level rasa, dan sudut pandang.
Bagaimana
pun, karena keterbatasan bahasa, ungkapan-ungkapan mereka menimbulkan polemik
yang disebabkan selain keterbatasan bahasa itu, juga karena keterbatasan
kapasitas pembacanya.
Sehingga,
mereka para sufi memunculkan paradoks-paradoks yang aneh. Bahkan jika melihat
sekilas ungkapan-ungkapan mereka, sepertinya mereka tidak waras. Padahal justru
logika merekalah yang melampaui logika pembaca.
Ada sekian
contoh kisah para sufi yang menawarkan logika memandang hidup. Misalnya, kisah
ini. Ada dua sahabat yang sangat dekat, yang satu menjadi seorang raja atau presiden,
satu lagi seorang wali sufi.
Suata saat,
sang wali mendatangi sahabatnya yang menjadi raja untuk meminta uang yang dia
butuhkan. Sesampainya di kerajaan, dia melihat sang raja sedang merintih
berdoa, meminta ini dan itu kepada Allah Swt. Melihat itu, sang wali malah
cenderung tidak menghormatinya dan bergegas pulang.
Keesokan
harinya, mereka bertemu kembali, sang raja bertanya, “Kenapa kamu
menyepelakanku kemarin, padahal saya ini raja?”
Sang wali
menjawab, “Loh, aku mendatangimu sebagai seorang raja, tapi ternyata kamu
sedang merintih meminta-minta kepada Dzat yang saya mintai juga. Artinya,
tempat meminta kita sama dan status kita sama di hadapan-Nya.”
Sang wali
pun bertanya balik, “Sekarang begini, ketika kamu di tengah padang pasir, kamu
kehausan hampir mati, dan saya memiliki segelas air. Kamu lebih milih menukar
kerajaanmu dengan segelas air ini dan kamu tetap hidup, atau memilih kerajaanmu
dan kamu mati kehausan?”
Raja dengan
tegas mengatakan, “Saya tentu memilh air ketimbang kerajaan, dengan air saya
bisa hidup sekalipun tidak jadi raja, dari pada memilih kerajaan tapi mati.”
Wali pun
menimpali, “Lah, terus kenapa kamu membanggakan kerajaanmu yang tidak sebanding
dengan segelas air?”
Sang raja
terdiam, dan sang wali malah tersenyum.
Ada kisah
anekdot lain yang diceritakan oleh seorang sufi. Dulu, ada seorang wali yang
mendatangi sebuah pesta dengan pakaian kotor nan lusuh. Dia dibiarkan tanpa
disambut dengan semestinya. Padahal, tamu-tamu lain disambut dengan sebegitu
ramahnya, disuguhi makanan dan minuman yang lezat. Akhirnya, dia keluar dari
pesta dan mengganti pakaian dengan pakaian yang bermerk dan berharga mahal. Dia
terlihat menawan.
Setelah
memasuki pesta, dia benar-benar disambut dengan ramah dan sangat dihargai.
Kemudian, saat dia disuguhi makanan lezat, seketika itu dia langsung memasukan
seluruh makanan itu ke dalam baju. Tidak lama setelah itu, dia juga disuguhi
air minum, dia pun menyiramkannya ke saku bajunya.
Tergaket
para tamu yang hadir. Para penerima tamu lantas bertanya, “Kenapa kamu
melakukan ini?”
Dia
menjawab, “Aku tadi masuk dengan pakaian lusuh dan tidak kamu hormati. Sekarang
aku masuk dengan pakaian mewah dan kamu hormati begini. Aku ini orang yang
sama. Jadi, kamu sedang menghormatiku atau menghormati pakaianku? Maka dari
itu, aku berikan makanan dan minuman itu ke dalam bajuku, karena itu rezeki
bajuku, bukan rezekiku, dan kamu memberikan makanan itu karena bajuku kan,
bukan karena aku?” Seluruh tamu terdiam, dan sang wali malah tersenyum.
Pada
akhirnya, justru logika para sufilah yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan
sosial, bahkan akhirat. Logika-logika sederhana yang mengkritik realita.
Bahkan, mereka para sufilah yang bisa menertawakan kehidupan.