Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Memahami Jinayat (Pidana Islam) di Masa Kini

Avatar photo
32
×

Memahami Jinayat (Pidana Islam) di Masa Kini

Share this article

Dalam
berbagai literatur fikih, baik klasik hingga kotemporer, baik yang berbasis
riwayat hadits, ataupun susunan pendapat para ulama, akan ditemui pembahasan
khusus tentang ketentuan-ketentuan pidana Islam yang bernama Bab Jinayat dan
Bab Hudud.

Jinayat adalah
bentuk jamak dari kata jinayah yang bisa diterjemahkan (dalam bahasa
Indonesia) sebagai “kriminal”. Sedangkan Hudud diambil dari kata “had”
yang berarti mencegah. Sebagaimana ketentuan dalam Bab Hudud (diharapkan) dapat
mencegah dari perbuatan-perbuatan keji.

Di dalam Bab
Jinayat biasanya terdapat pembahasan tentang ketentuan jika terjadi pembunuhan,
memotong anggota tubuh, atau melukai anggota tubuh. Ketentuan ini mencakup dari
proses penuduhan, pembuktian, hingga hukuman yang diterapkan dalam tindak-tindak
kriminal tersebut.

Sedangkan
dalam Bab Hudud biasanya berisi tentang ketentuan jika terjadi pelanggaran
perzinaan, pencurian, minum minuman keras, meninggalkan shalat, begal, hingga
pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.

Dalam
ketentuan Hudud juga dibahas hingga hukuman yang diterapkan jika terjadi
pelanggaran tersebut. Sebagai contoh, jika terjadi perzinaan dilakukan oleh
orang yang telah memilki pasangan sah, terbukti dengan empat orang saksi, maka
dijatuhi hukuman rajam. Contoh lain, hukuman potong tangan untuk orang yang
terbukti melakukan pencurian.

Adanya
ketentuan fikih dalam literatur semacam ini, acap kali dimanfaatkan untuk
mempertanyakan dan membenturkan sistem hukum di Indonesia dengan pertanyaan: “Sudahkah
hukum di Indonesia sesuai dengan syariat Islam?”

Untuk
memahami ketentuan fikih pidana Islam pada era masa kini, maka perlu dipahami
secara berurutan sebagai mana berikut:

Pertama, kata “syariat
Islam” dalam pertanyaan di atas adalah makna syariat Islam dalam arti sempit,
yaitu syariat Islam dalam arti hukum fikih. Arti syariat secara luas adalah
mencakup perkara akidah, ibadah, dan akhlak sebagai ajaran Islam secara umum.

Kedua, ketentuan
fikih yang terekam dalam kitab-kitab era klasik adalah hasil usaha para ulama
untuk menetapkan hukum-hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah dan
sesuai dengan kondisi zaman dan tempat. Sehingga sangat wajar ditemui, antar
satu kitab fikih dengan yang lain, yang masih sama-sama satu madzhab, terdapat
perbedaan pendapat.

Ketiga, syariat
Islam secara arti luas tidak bisa hanya diukur dari penerapan hukum-hukum
pidana sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab Fikih.

Keempat, kitab-kitab
fikih yang membahas tentang ketentuan pidana Islam adalah sebuah panduan yang
dibuat oleh para ulama untuk penerapan hukum pada masa tersebut. Panduan itu
dibuat untuk para qadhi (hakim), dan penerapannya itu sesuai dengan ketentuan
pemerintahan pada masa tersebut.

Kelima, ketentuan pidana
semacam itu ada untuk mengarahkan masyarakat pada masa tersebut agar tidak
melanggar batas-batas tujuan-tujuan syariat: memelihara agama, menjaga
jiwa-raga, menjaga akal, menjaga kehormatan, dan penjagaan terhadap harta
kepemilikan sesama muslim. Sehingga penerapan formalisasi hukum pidana amat
bergantung kepada konteks sekitar hukum tersebut diterapkan.

Kontributor

  • Landy T. Abdurrahman

    Asal Purworejo, Jawa Tengah. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir. Sekarang sedang menyelesaikan program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta