Sebagai seorang hamba, tentu bangga memiliki Tuhan yang Maha Sempurna. Yang Maha Agung. Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk mengagungkan-Nya bukan karena Dia butuh diagungkan.
Namun agar menjadi pengingat bagi hamba-Nya yang rentan lalai, dan agar tertanam dalam diri seorang hamba, kesempurnaan-Nya dalam mengatur kehidupan dunia. Bahwa semua yang terjadi di dunia ini berada dalam genggaman keagungan-Nya.
Dulu, orang-orang Yahudi-Nasrani mengklaim bahwa Allah memiliki anak. Kemudian Allah sendiri membantah mereka dengan ayat: “Katakanlah, segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak.”
Orang-orang kafir Quraisy juga pernah mengklaim, bahwa Allah memiliki sekutu dalam mengatur kehidupan ini. Lalu Allah pun membantah mereka: “Dan katakanlah, bahwa Dia Allah tidak memiliki sekutu.”
Dulu, orang-orang Majusi juga mengklaim, bahwa Allah tidak akan kuat tanpa penolong-penolongNya. Allah pula lah yang membantah mereka dengan berkata: “Dan katakanlah, bahwa Allah tidak membutuhkan siapapun untuk menolong-Nya.”
Itu semua direkam dalam sebuah ayat:
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِّنَ الذُّلِّ ۖ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا
Setelah mereka mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang tidak layak, ayat di atas ditutup dengan perintah untuk mengagungkanNya, “Agungkanlah Allah yang Maha Agung.”
Baca juga: Dimensi Sufistik dalam Kitab Nahwul Qulub Imam Al-Qusyairi
Dalam ayat puasa, Allah SWT secara khusus memerintahkan untuk mengagungkan-Nya di akhir bulan Ramadhan. “Agar kalian mengagungkan Allah swt, karena Dia telah memberikan hidayah kepada kalian, dan agar kalian bersyukur.”
Artinya, setelah Allah memberikan nikmat hidayah, setelah Dia membuka pintu rahmat dan ampunan selebar-lebarnya, dan setelah Dia mensyariatkan puasa untuk menyucikan hati, Dia Allah sendiri kemudian menjelaskan bahwa maksud dari itu semua adalah agar kalian mengagungkanNya.
ولتكبروا الله على ما هداكم
Masih banyak sekali teks-teks syariat yang berbicara tentang mengagungkanNya. Dulu, setelah hati umat Islam dipenuhi dengan kesadaran bahwa Allah memang satu-satu Dzat yang layak untuk diagungkan, kemudian keluarlah lafadz Allahu Akbar dari lisan mereka untuk mengungkapkan makna keagungan-Nya. Sehingga, ada riwayat yang mengatakan bahwa ungkapan yang paling tinggi bagi orang Arab dalam mengagungkan-Nya adalah lafadz “الله أكبر”, Allah lebih besar dari apa pun.
Oleh karena itu, syariat menjadikan lafadz takbir sebagai syiar Islam di banyak tempat karena kedalaman maknanya. Jadi, hakikatnya, mengucapkan Allahu Akbar adalah untuk mengungkapkan makna yang sangat mulia dan suci dalam hati. Bukan untuk menuntun hati agar menghadirkan makna itu dalam hati. Namun bagi kita orang awam, minimal menggunakan lafadz takbir untuk menuntun hati. Satu hal yang pasti, Islam tidak menghendaki lafadz takbir yang mulia itu kosong akan makna mengagungkan dan memuliakan.
Islam menjadikan lafadz takbir sebagai pembuka shalat, pembuka-penutup azan, dan penutup puasa Ramadhan, hingga hari-hari Tasyrik. Ini semata agar orang yang melafadzkan takbir dan yang mendengarnya, bisa merasakan keagungan Allah SWT.
Sebagai pembuka shalat agar mereka khusyu sepanjang shalat, dengan menganggap bahwa selain Allah, semuanya kecil, yang besar hanya Allah.
Sebagai pembuka-penutup azan, agar mereka lebih mementingkan panggilan-Nya yang lebih besar dari panggilan siapa pun.
Sebagai penutup Ramadhan, agar mereka menyadari betapa besar nikmat hidayah yang Allah berikan. Maka dari itu, perlu hati-hati jika malah lafadz takbir tidak memberikan kesan mulia, baik kepada sesama manusia, apalagi kepada Allah sendiri.
Baca juga: Menguak Sakralitas Makna Basmalah dalam Literasi Islam
Dulu, para salaf menggunakan lafadz Takbir juga untuk segala hal yang membahagiakan.
Misalnya, ketika Sayyidina Ali duel dengan Abdullah bin Wudd pada perang Khandaq –dedengkot kafir Quraisy yang berhasil melewati parit yang dibangun oleh umat Islam, dan berhasil membunuh Abdullah bin Wud dengan sekali tebasan pedang, para sahabat lainnya sontak bahagia bukan main dan meneriakan lafadz takbir, “Allahu Akbar“. Karena sebelum ini, para sahabat besar telah gugur dalam medan perang, seperti sahabat Ubaidah pada perang Badar, dan sahabat Hamzah pada perang Uhud. Pasti kesedihan akan semakin berlarut jika seandainya sayydina Ali kalah dalam duel.
Para salaf juga menggunakan takbir untuk memperkuat kaki-kaki mereka dalam medan perang. Sayyidina Sa’d bin Abi Waqqash misalnya, menggunakan takbir untuk menjadi aba-aba dalam perang Qadisiyyah melawan persia dulu. Takbir pertama agar pasukan bersiap-siap, takbir kedua agar pasukan menggunakan baju perang, takbir ketiga agar pasukan mulai bergegas, dan takbir keempat agar pasukan menyerang dan perang pun berkecamuk.
Begitu kira-kira kedudukan lafadz takbir dalam Islam. Lafadz yang menunjukan puncak ketakjuban kepada-Nya, lafadz yang suci dan mulia, digunakan untuk hal-hal yang mulia, pada tempat-tempat yang mulia, pada waktu-waktu yang mulia, dan untuk memunculkan kesan-kesan mulia.
Kini, ketika kita mengucapkan lafadz takbir itu, masih adakah makna keagungan-Nya dalam hati kita? Atau hanya sebatas kata yang kita baca karena terbiasa?