Sebagai rukun Islam yang ketiga, zakat merupakan suatu bentuk ibadah mahdhah, yang syarat dan rukunnya sudah dijelaskan dalam nash baik Al-Qur’an maupun Sunnah. Sejak zaman Rasulullah SAW, terdapat dua macam cara pendistribusian zakat; zakat yang bersifat konsumtif dan zakat yang bersifat produktif.
Zakat Produktif dan Pandemi Covid-19
Pandemi yang terhitung sejak 9 bulan yang lalu, kala Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada bulan Maret 2020 yang lalu, hingga saat ini belum juga menemukan titik terang kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir.
Banyak sektor yang terimbas oleh pandemi Covid-19, baik di sektor kesehatan maupun sektor-sektor lainnya, seperti halnya sektor perekonomian, sektor sosial maupun sektor pendidikan dsb. Terkhusus pada sektor perekonomian banyak pengusaha baik makro maupun mikro yang terpaksa untuk gulung tikar akibat musibah yang tak kunjung berkesudahan ini.
Salah satu solusi yang dapat membantu untuk mengentaskan masalah perekonomian saat ini adalah dengan pendayagunaan zakat produktif.
Zakat produktif ialah harta zakat yang dikumpulkan dari para muzakki, kemudian didayagunakan dan dikembangkan agar dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan para mustahiq secara terus-menerus.[1] Akan tetapi banyak dari masyarakat masih kurang familiar dengan istilah zakat produktif ini.
Baca juga: Fatwa Al-Azhar tentang Distribusi Zakat antar Provinsi
Masyarakat umum masih memahami zakat hanya terbatas pada zakat konsumtif yang biasanya disalurkan berupa sembako atau uang tunai yang nantinya hanya digunakan untuk konsumsi kehidupan sehari-harinya tanpa menghasilkan sesuatu yang lain.
Menurut Imam An-Nawawi dalam kitabnya yang berjudul Al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab,[2] dijelaskan bahwa ketika seseorang memiliki kemampuan yang dapat mengembangkan profesinya, maka dia boleh mendapatkan alat dari hasil zakat tersebut, di mana dengan alat itu dia dapat bekerja dan menghasilkan uang bahkan merubah kondisinya dari yang awalnya bertatus sebagai seorang mustahiq menjadi seorang muzakki.
Dari pendapat Imam An-Nawawi tersebut dapat dipahami bahwa pemberian zakat produktif itu bersifat fleksibel, namun tetap harus memperhatikan beberapa ketentuan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat yang diantaranya adalah melakukan studi kelayakan, menetapkan jenis usaha produktif, melakukan bimbingan dan penyuluhan, melakukan pemantauan, mengadakan evaluasi dan yang terakhir membuat laporan.
Zakat Produktif dalam kacamata Istishab
Istishab adalah salah satu metode dengan cara menjadikan hukum yang sudah ada sebelumnya tetap menjadi hukum hingga saat sekarang sampai ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan. Apabila dikorelasikan dengan zakat produktif, metode istishab dapat digunakan sebagai metode untuk mengetahui dasar hukum dari praktik zakat produktif.
Baca juga: Bolehkah Mencicil Pembayaran Zakat Jika Sudah Mencapai Haul?
Beberapa ulama ada yang menetapkan tentang kebolehan dari praktik zakat produktif berbekal dalil umum mengenai pengembangan zakat produktif melalui sebuah atsar yang artinya:
“Memberikan sedekah kepada Umar, namun Umar menolak seraya berkata: berikanlah sedekah ini kepada yang lebih membutuhkan dariku. Kemudian Rasulullah menjawab: ambillah dan kembangkanlah (produktifkanlah) atau sedekahkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya harta yang datang kepadamu sedangkan engkau tidak berambisi dan tidak memintanya, maka ambilah. Dan apabila harta itu tidak datang kepadamu, maka janganlah engkau mengikuti hawa nafsumu.”[3]
Di daerah pedesaan rata-rata masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani yang dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari mengandalkan hasil panen. Pada bagian ini, penyaluran zakat konsumtif berupa bahan pokok/sembako, penulis rasa kurang efektif. Ibarat seorang seniman lukis, tentu saja yang diperlukan untuk melukis adalah canvas dan cat air.
Baca juga: Penerapan Manajemen Zakat Umar bin Abdul Aziz di Masa Pandemi
Begitupun seorang petani, untuk mengembangkan usaha pertaniannya, ia butuh alat pertanian, pupuk dan benih. Alat dan bahan yang diperoleh dari harta zakat produktif kemudian dapat diberdayakan oleh petani yang tujuan akhirnya agar hasil panen bisa mencukupi kebutuhan dalam jangka panjang.
Lapangan pekerjaan dalam tragedi pandemi Covid-19 membuat banyak pihak kalang kabut, baik para pencari kerja maupun para pedangang. Di sinilah waktu yang tepat bagi amil zakat atau Lembaga penyalur zakat untuk mencari solusi alternatif agar segera mengentaskan permasalahan ekonomi di masa pandemi,misalnya, dengan memberlakukan pengelolaan dana zakat produktif.
[1] Siti Zalikha, “Pendistribusian Zakat Produktif Dalam Perspektif Islam”, Islam Futura, Vol.15, No.2, Februari 20`6, Hal.2
[2] Muhyiddin Nawawi, al-Majmū‟ Syarah al-Muhażżab (Beirut : Dār al-Kutub Ilmiah, 2007), jil 7, h. 237.
[3]Imamul Muttaqin, ”Hukum Produktifitas Zakat Fitrah”.