Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Berbagai Penyakit yang Ditimbulkan oleh Pujian Menurut Imam Al-Ghazali

Avatar photo
28
×

Berbagai Penyakit yang Ditimbulkan oleh Pujian Menurut Imam Al-Ghazali

Share this article

Dalam perbincangan sehari-hari, terkadang seseorang bingung untuk mencari topik yang akan dibicarakan. Biasanya untuk mengatasi hal ini, dia akan berbasa-basi, atau sekadar melontarkan pujian kepada lawan bicaranya.

Kebiasaan melontarkan pujian ini banyak tersebar di berbagai negara. Mesir salah satunya, begitu bertemu dengan orang Indonesia, dia akan berkata, “Ahsan An-Nas” yang artinya orang paling baik.

Pujian itu terlontar begitu saja, baik objeknya sudah dikenal maupun tidak dikenal, atau bisa saja orang yang dipuji sebetulnya tidak sesuai dengan pujian yang diberikan.

Berinteraksi dengan pujian tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pujian bisa saja masuk ke bagian hati terdalam, sehingga objek yang dipuji merasa dirinya menjadi merasa dirinya lebih baik dari yang lain, penyakit hati ini dinamakan  dengan kesombongan.

Salah satu murid dari Habib Umar bin Hafidz, ketika berada di Dar Al-Musthafa pesantren asuhan gurunya yang berada di Tarim itu bercerita bahwa Habib Umar memperlakukan santrinya dengan khusus.

Perlakuan khusus ini bermakna, Habib Umar tidak mudah untuk memberikan senyuman, atau pujian untuk santri-santrinya. Perlakuan ini bertujuan agar para santrinya tidak merasa jumawa.

Begitu juga dengan Masyaikh di Damaskus, guru-guru di sana tidak pernah memuji murid-muridnya dengan kalimat yang dinilai berlebihan, seperti al-‘Alim, atau lainnya.

Biasanya, Masyaikh di Damaskus memuji murid yang pintar dengan kalimat yang sederhana dengan sekiranya murid tersebut tidak berbangga diri, semisal; “Walad Mubarak” yang artinya anak yang diberkahi.

Meskipun pada guru sudah melatih para muridnya sedemikian rupa, namun pujian-pujian dari berbagai sisi terkadang datang menghampiri. Meskipun pujian tersebut sebetulnya tidak layak disematkan, seperti memanggil “kyai” kepada teman sendiri.

Imam Al-Ghazali menyinggung masalah muji-memuji ini di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin. Menurut beliau pujian akan mengakibatkan timbulnya 6 penyakit pujian; 4 penyakit pada orang yang memuji, dan sisanya bagi yang dipuji.

Penyakit pertama yang didapatkan oleh orang yang memuji adalah lebay dalam memuji, yang suatu saat bisa jatuh kepada kalimat yang berisi kebohongan.

Ibnu Abi ad-Dunya meriwayatkan sebuah perkataan dari Khalid bin Ma’dan,

من مدح إماما او أحدا بما ليس فيه على رؤوس الاشهاد، بعثه الله يوم القيامة يتعثر بلسانه

“Barang siapa memuji seorang pemimpin, atau siapapun itu orangnya, dengan pujian yang tidak sepatutnya di hadapan umum, maka dia akan dibangkitkan oleh Allah pada hari kiamat dengan keadaan lidah yang menjulur sehingga membuat dia tersandung.”

Penyakit yang kedua, menurut Imam Al-Ghazali, memuji adalah implementasi dari rasa cinta. Jika orang yang memuji memiliki spiritual yang belum baik, maka ungkapan cintanya ini akan menjerumuskan dia kepada riya’.

Ini jika dia betul-betul memiliki rasa cinta bagi yang ia puji. Tapi, jika dia memuji objeknya sedangkan hati dia menyimpan rasa kebencian, maka orang seperti ini tidak beda jauh dengan munafik; menampakkan apa yang tidak ada pada dirinya.

Penyakit yang ketiga, orang yang memuji dengan hal yang belum ia yakini keberadaannya, dan dia tidak mungkin untuk mencari tahu kebenarannya. Semisal orang memuji, “Hati si fulan itu khusyuk”. Pujian seperti ini menurut beliau sebaiknya tidak diungkapkan.

Imam Ibnu Abi ad-Dunya meriwayatkan sebuah khabar bahwa suatu hari Umar bin Al-Khattab mendengar seseorang memuji temannya. Kemudian Sayyidina Umar bertanya, “Apakah kamu pernah berpergian dengannya?” Dia menjawab, “Tidak.” Kemudian Sayyidina Umar melanjutkan pertanyaan yang lain seputar kedekatan satu sama lain, namun jawabannya selalu “tidak”.

Sayyidina Umar pun berkata, “Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, saya tidak melihatmu mengenal dia, lalu kenapa kamu memujinya?!”

Penyakit yang keempat, terkadang objek yang kita puji adalah orang yang fasik atau zhalim. Sedangkan memuji orang fasiq atau zhalim tidak dibenarkan dalam syariat.

Rasulullah bersabda,

ان الله يغضب اذا مدح الفاسق

“Sesungguhnya Allah murka bila orang fasiq dipuji.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, no 4543)

Adapun penyakit yang menyerang kepada objek yang dipuji adalah rasa sombong dan berbangga diri. Imam Hasan Al-Bashri bercerita sebagari berikut:

Suatu hari Umar bin Al-Khattab pernah sedang bersantai dan di sekilingnya ada banyak orang. Ketika Al-Jarud bin Munzir datang, seseorang yang bersama Umar melontarkan pujian bagi al-Jarud.

Pujian itu didengar oleh semua yang hadir. Ketika sudah mendekat kepada Sayyidina Umar, al-Jarud dikepak oleh Umar bin Khattab. Dia pun terkejut dan bertanya, “Ada apa ini wahai Amirul Mu’minin?”

Sayyidina Umar menjawab, “Saya takut di hati muncul sesuatu akibat pujian tersebut, oleh karena itu saya buat ia tertunduk kembali.”

Penyakit yang kedua, jika seseorang dipuji dengan kebaikan dia akan merasa senang dan puas dengan dirinya sendiri. Orang yang sudah puas dengan dirinya, akan sangat sulit untuk mengembangkan talenta yang ia punya. Karena orang yang berkembang adalah orang yang merasa dirinya selalu kurang.

Namun, jika pujian sudah banyak menghampiri dia, dia akan merasa dan menganggap dirinya sudah mencapai puncak. Oleh karena itu ketika melihat seseorang yang memuji temannya, Rasulullah SAW bersabda,

قطعت عنق صاحبك لو سمعها ما أفلح

“Kamu sudah menebas leher temanmu, jika dia mendengar pujian itu, ia tidak akan beruntung.” (HR. Ahmad)

Oleh karena itu, sebaiknya kita menjaga betul arah pujian yang kita berikan; dengan mengenal siapa yang kita puji, dan memahami apa yang kita puji. Adapun jika dipuji sebaiknya kita berdoa dengan doa sebagai berikut,

اللَّهُمَّ لا تُؤَاخِذْنِي بِمَا يَقُولُونَ، واغْفِر لِي مَا لَا يَعْلَمُونَ واجْعَلْنِي خَيْراً مِمَّا يَظُنُّونَ

“Ya Allah, jangan Engkau menghukumku disebabkan pujian yang dia ucapkan, ampunilah aku, atas kekurangan yang tidak mereka ketahui. Dan jadikan aku lebih baik dari pada penilaian yang mereka berikan untukku.”

Kontributor

  • Fahrizal Fadil

    Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Aceh. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Bahasa dan Sastra Arab. Aktif menulis di Pena Azhary. Suka kopi dan diskusi kitab-kitab turats.