Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Amerika Tidak Pernah Meninggalkan Timur Tengah

Avatar photo
34
×

Amerika Tidak Pernah Meninggalkan Timur Tengah

Share this article

Kebangkitan negara-negara Timur Tengah dengan letak geografisnya yang strategis dan kekayaan alamnya merupakan hal yang ditakuti oleh Barat khususnya Amerika Serikat. Oleh karena itu, Amerika dan Barat selalu mengawasi pergerakan di negara-negara kawasan tersebut. Oleh karena itu, Amerika dan Barat menanamkan bom mematikan tepat di jantung kawasan Timur Tengah: Israel.

Dalam buku Covering Islam, Edward Said mengatakan ada tiga fantasi yang terus dikembangkan untuk mempertahankan dominasi Amerika di Timteng. Pertama, memperburuk citra Islam melalui media dan institute akademi. Kedua, menggaungkan wacana modernisasi dengan klaim menyelamatkan negara-negara Timteng dari kemunduran. Dan ketiga, menegaskan nilai Israel sebagai sampel demokrasi di Timur Tengah.

Amerika menggunakan fantasi pertama secara masif pada saat terjadi krisis sandera di Iran pada tahun 1979. Saat itu para mahasiswa Iran berhasil menduduki Kedutaan Besar Amerika di Taheran setelah Amerika memberikan suaka kepada Shah Pahlevi yang digulingkan.

Langkah yang dilakukan Amerika cukup berhasil dalam melahirkan rasa benci dan takut terhadap Islam. Terlebih setelah peristiwa 9/11. Namun nampaknya, narasi Islamfobia sudah tidak efektif digunakan untuk ‘menyerang’ negara-negara Timteng bersamaan dengan digaungkannya nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi di kancah internasional. 

Baca juga: Edward Said, Pikiran Palestina di Tanah Amerika

Amerika dan Barat mencitrakan diri sebagai negara demokrasi terbuka berhadapan dengan negara-negara Timteng yang diktator. Hal yang perlu digarisbawahi, demokrasi yang dipromosikan oleh Amerika di Timteng adalah demokrasi terikat. Yaitu demokrasi yang mensyaratkan keterbukaan terhadap Israel dan mengakui eksistensinya.

Karenanya, Amerika sebenarnya tidak mempermasalahkan pemimpin otoriter selama ia tidak mengusik Israel seperti negara-negara Arab Teluk dan Iran pada era Dinasti Pahlevi. Demokrasi hanya dijadikan sebagai tameng oleh Amerika untuk mengendalikan negara-negara Arab yang lemah secara ekonomi dan politik.   

Terlepas dari perdebatan mengenai apakah Arab Spring buatan Amerika atau tidak, Amerika telah berhasil menggunakan instabilitas Timteng pasca serentetan revolusi Arab Spring sebagai kesempatan untuk menata ulang tatanan Timteng sesuai dengan kepentingan politik Amerika.

Perang yang tak kunjung usai di Suriah, Irak, Libya dan Yaman, dan ancaman terorisme di Timteng menjadikan negara-negara Arab kewalahan dan terjepit baik secara politik maupun ekonomi. Dalam kondisi lemah inilah, Amerika mengambil sejumlah keputusan besar dalam kebijakan politik luar negerinya di bawah kepemimpinan Donald Trump.

Pada tahun 2017, Amerika berani mengambil keputusan mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke al-Quds. Pada tahun 2019, Amerika mengakui secara resmi Dataran Tinggi Golan Suriah sebagai kawasan teritorial Israel. Dan pada awal tahun 2020, Amerika mengumumkan rencana perdamaian Timur Tengah dalam ‘Deal of the Century’  yang sama sekali tidak mengetengahkan isu kependudukan Israel di Palestina.

Bersamaan dengan Timur Tengah yang terpecah belah dan Iran yang dianggap tidak lagi menjadi ancaman untuk kepentingan strategis Amerika, ia mengalihkan perhatian ke Timur Jauh yaitu China dan membenahi urusan dalam negeri sesuai dengan janji kampanye Trump.

Baca juga: Kedekatan Emosional antara Al-Azhar dan Warga Afro-Amerika

Amerika pun menarik keluar sistem rudal Patriot dan puluhan tentara dari Arab Saudi. Sebagaimana Amerika Serikat menarik pasukannya dari Irak dan Afganisthan. Sebelum itu, Donald Trump memberikan interuksi untuk menarik pasukan Amerika dari Suriah Utara.

Terdapat kesan bahwa Amerika sengaja membiarkan para pesaingnya seperti Rusia, Iran dan Turki berebut pengaruh di Timteng. Kesan ini pula yang menyebabkan pertentangan internal di kalangan politisi Amerika sendiri. Namun yang jelas Donald Trump tidak mengambil keputusan secara serampangan.

Hal itu terbukti dengan Rusia yang terjebak dalam perang di Suriah walaupun Rusia berhasil mendirikan pangkalan militer permanen di Tartus dan Hmeimim. Mantan Penasihat Keamanan Nasional Amerika, John Bolton, pernah mengatakan bahwa Rusia berusaha mencari jalan keluar dari perang dan menemukan mitra untuk menanggung biaya dalam merekonstruksi Suriah. Amerika menggunakan situasi terjepit Moskow.

Adapun Iran dan Turki, Amerika tidak perlu mengkhawatirkan posisi keduanya di Timteng karena negara-negara Arab telah menganggap keduanya sebagai musuh utama baru yang harus diperangi. Negara-negara Arab memilih untuk merangkul Israel dan meminta bantuannya untuk menghadapi pengaruh Iran dan Turki di kawasan.

Selain itu, keduanya telah ditekan dan dilemahkan secara ekonomi oleh Amerika dengan sanksi yang diberlakukannya. Karena alasan ekonomi inilah, Turki bersedia mengirimkan pasukannya untuk berperang di Libya mendukung Pemerintahan Kesepakatan Nasional kemudian mengirimkan pasukannya ke Nagorno Karabakh setelah ambisinya di Libya gagal.

Hal yang perlu diingat, kegagalan Turki di Libya setelah Amerika turun tangan dengan menyerukan genjatan senjata antara Parlemen Libya dan Pemerintahan Kesepakatan Nasional. Bahkan Amerika berhasil ‘meminta’ Fayez Al Sarraj untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai perdana menteri.

Baca juga: Palestina Melawan Israel Sendirian

Bukti paling konkret ‘kemenangan’ Amerika di Timteng adalah ia telah berhasil menekan negara-negara Arab dan memaksa mereka untuk berdamai dengan Israel dan mengakui eksistensinya di tengah-tengah mereka. Diawali oleh Mesir pada masa Presiden Anwar Sadat hingga normalisasi Bahrain-Israel yang baru disahkan pada 11 September lalu.

Siapapun yang menjadi presiden Amerika, Israel akan terus menjadi prioritas bagi kebijakan politik luar negeri Amerika. Jika gejolak di negara-negara Arab masih terus berlanjut, maka hal tersebut hanya akan memberikan ruang luas bagi pergerakan Israel. Dan pada akhirnya keuntungan bagi Amerika itu sendiri.   Melalui Israel, Amerika dapat mengontrol Timur Tengah dari jauh. Melalui Israel, Amerika tak perlu bermain langsung dalam ‘permainan’.

Kontributor

  • Zulfah Nur Alimah

    Penulis dan Penerjemah, sedang menempuh program magister kritik sastra Arab di Universitas al-Azhar Mesir.