Seyogianya bagi setiap orang, lebih-lebih seorang pendidik dan da’i, tidak bicara asal nyeplos tanpa didasari ilmu yang kuat. Adalah bentuk kerendahan hati dan akhlak bajik ketika ditanya mengenai satu perkara di luar kapasitas pengetahuannya, ia tidak sungkan mengakui ketidaktahuannya.
Karena, tidak sedikit orang yang enggan berkata demikian, entah karena gengsi atau khawatir hilang kepercayaan, mereka tanpa pikir panjang berkata seenak tengkuk. Asal terjawab, yang penting semakin menambah kekaguman orang lain terhadap dirinya.
Padahal kemuliaan itu tidak diukur berdasarkan bisa tidaknya menjawab suatu pertanyaan. Justru semakin bertambah ilmu seseorang semakin ia tawadhu’ dan tahu batasan-batasan dirinya. Mereka tidak mencari kemuliaan di mata makhluk, tetapi lebih mencarinya dari sang pencipta makhluk dengan rasa takut menjawab hal yang belum ia pahami.
Nabi dan Sahabat pernah Berkata La Adriy
Bila dirunut ke belakang, mengucapkan ibarot la/ma adriy, la a’rif, la a’lam, la ‘ilma lana biy dan sejenisnya yang menunjukkan arti “aku tidak tahu” merupakan akhlak mulia sesuai tuntunan Nabi Muhammad Saw, para sahabat dan ulama salafus saleh.
Malik bin Annas ra mengatakan bahwa Rasulullah saw ketika ditanyai perihal sesuatu, beliau tidak lantas segera menjawabnya, beliau menunggu dulu hingga ada wahyu turun dari langit.
Lain kesempatan, diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im ra, ketika seorang laki-laki datang ke hadapan Nabi lalu mengajukan tanya, “mana tempat yang paling dicintai dan dibenci oleh Allah SWT”. Nabi lebih memilih jawaban “aku tidak tahu”, hingga akhirnya meminta malaikat Jibril as untuk menanyakan kepada Allah SWT terlebih dahulu, baru kemudian beliau menjawabnya.
Sementara para sahabat seperti Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khottob dan Ali bin Abi Thalib juga sama halnya. Mereka menolak menjawab ketika ditanya mengenai soal di luar kuasanya. Terlebih lagi pertanyaan yang menyangkut tentang firman Allah swt. Mereka dengan tegas menjawab ma lam a’lam (aku belum mengetahuinya).
Bahkan menantu kanjeng Nabi sendiri, Imam Ali ra, amirul mukminin yang disebut sebagai pintu ilmunya Nabi SAW, sampai berwasiat agar jangan malu-malu berkata la a’lam bila ditanyai hal yang tidak kamu ketahui, dan jangan malu juga untuk belajar agar tahu.
Maka tidak heran kalau tradisi guru-guru di pondok pesantren Nusantara, selepas mengajar selalu dipungkasi dengan kalimat wa Allahu a’lam bis Showab. Kalimah ini selain bentuk ikrar keterbatasan diri juga sebagai pagar jaminan apabila terdapat sesuatu yang silap saat menyampaikan ilmu kepada santri.
Mengakui Ketidaktahuan adalah Ilmu
Menurut para Ulama ketidaktahuan yang dibarengi dengan perkataan la/ma adriy (aku tidak tahu) adalah satu ilmu itu sendiri. Dalam artian seseorang telah mengenali kadar kemampuan dirinya sendiri, sehingga ia tidak malu mengakui bahwa ia tidak tahu. Meski sepele justru nilai penting ini yang kadang sering diabaikan.
Dalam kitab I’lamul Mauqi’in anggitan Ibn Qoyyim al-Jauziy, menurut Ibn Mas’ud, mengatakan “aku tidak tahu” merupakan sepertiga ilmu. Sedangkan dalam kitab Jami’ Bayani al-‘Ilm, Abu Darda’ menyebutkan bahwa mengikrarakan diri dengan mengatakan “aku tidak tahu” termasuk separuh dari ilmu. Sehingga dengan sikap begitu sejatinya seseorang telah menjaga separuh dari ilmu.
Senada dengan ungkapan Abu Darda’, diceritakan oleh Yahya bin Adam dalam kitab Tarikh Baghdad, satu kali Imam Abu Hanifah menuturkan bahwa mengatakan “aku tidak tahu” merupakan separuh dari ilmu, maka dari itu sebutkanlah dua kali supaya sempurna (utuh) ilmu tersebut.
Lebih lanjut, Yahya bin Adam menafsirkan, yang namanya ilmu kalau tidak mengetahui, ya mengetahui, sehingga salah satu dari keduanya dihitung separuhnya.
Seorang Imam Malik saja—pendiri madzhab Maliki—yang kealimannya sudah terakui di seantero jagat, ketika disodori lima puluh masalah beliau dengan rendah hati menjawab, “tidak ada daya dan upaya selain Allah SWT”.
Tidak satupun dari sekian pertanyaan tersebut yang bisa beliau jawab. Lagi-lagi ini adalah ilmu dan teladan dari para ulama terdahulu. Lisan mereka sangat dikunci rapat dari menjawab masalah yang belum diketahui duduk permasalahannya. Beliau menjaga diri dari keburukan dan bahaya fitnah yang mungkin terjadi.
Kali lain, Kholid bin Khodas datang jauh-jauh dari Irak menghadap Imam Malik, ia menyetorkan empat puluh kasus, dan hanya lima yang bisa dijawab, selebihnya beliau berkata la adri (aku tidak tahu). Kesaksian ini dikuatkan juga oleh Abu Nuaim al-Fadhl:
“Tidak seorangpun yang lebih banyak berkata la adriy (aku tidak tahu) ketimbang Imam Malik bin Annas ra.”
Saking menaruh kehati-hatian, Imam Malik ra sempat marah ketika ada seorang penanya yang malah balik menyanggah dengan dalih ini pertanyaan ringan. Beliau lantas menyergah, apanya yang mudah, tidak ada ilmu yang mudah. Seluruhnya ilmu itu berat karena besok akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat. Tidakkah kamu mendengar firman Allah yang berbunyi:
“Sesungguhnya kami akan menurugkan perkataan yang berat kepadamu.” [Surah Al-Muzammil: 5]
Imam Syafi’i juga tidak jauh beda, dikisahkan dalam kitab Tadzkirotus Sami’, Muhammad bin Abdul Hakam saat berjumpa dengan Imam Syafi’i menanyakan kasus fiqih terkait mut’ah, adakah perlu talak, hak waris, kewajiban menafkahi dan butuh saksi. Imam Syafi’i hanya menjawab pendek, La, Wa Allahi ma adriy (demi Allah, saya tidak mengetahuinya).
Lain kisah namun dengan muatan nilai yang sama datang dari cerita Imam Ahmad bin Hambal. Tidak terhitung sudah beliau ditanya perihal masalah khilafiyah, tetapi beliau hanya membalas singkat la adriy (aku tidak tahu). Momen lain, Imam Ahmad berkata, tanyakanlah kepada selainku (orang lain), adukanlah keapada para ulama yang lain.
Berkah Berkata La Adriy
Cerita ini saya kutip dari tulisan Amru Hamdani di kanal facebooknya. Satu kesempatan Syekh Ali Jum’ah pernah bercerita, dahulu ketika Syekh Ahmad Thoyyib (Grand Syeikh Azhar sekarang) masih menjabat sebagai mufti Mesir, beliau yang menunjuk Syekh ‘Imad ‘Iffat untuk bekerja di Darul Ifta’.
Dan beliau sendirilah yang menguji Syeikh ‘Imad saat itu. Syekh Ahmad Thoyyib menguji beliau dengan mengajukan beberapa persoalan dan masalah, kemudian Syekh ‘Imad Iffat menjawab persoalan-persoalan itu dengan gamblang bitaufiqillah.
Beranjak ke sesi selanjutnya, Syekh Ahmad Thoyyib menyodorkan beberapa ibarot/teks dari kitab Hasyiah ibni ‘Abidin dan berkata, “baca dan tafsirkan”, Syekh ‘Imad kemudian membaca ibarot tersebut dan ternyata beliau tidak memahami maksud dari teks hasyiah itu.
Kemudian beliau dengan penuh kejujuran dan ketakwaan mengatakan kepada Syeikh Ahmad Thoyyib,
“لم أدرك شيئا، لم أفهم هذه العبارة”
“Saya tidak memahami teks ini“
Setelah mendengar ini Syeikh Ahmad Thoyyib lantas mengatakan, “Engkau bersama kami (engkau diterima sebagai salah satu anggota di Darul Ifta’)”.
Amanah keilmuan yang tampak dari Syeikh Imad menyebabkan Syeikh Ahmad Thoyyib mengatakan,
“Engkaulah yang akan banyak memberi manfaat kepada kami, kami mau orang yang tidak mencampur adukkan ketika ia tidak tahu kemudian mengatakan saya tahu“.
Setelah bercerita demikian, Syeikh Ali Jum’ah mengatakan,
أول خطوة لطالب العلم أن يقول: “لا أفهم” إذا لم يفهم، و “لا أعلم” إذا لم يعلم
“Langkah pertama bagi penuntut ilmu itu adalah dengan mengatakan “saya tidak paham” jika memang belum paham, dan “saya tidak tahu” jika memang belum tahu.”
Kemudian Syeikh Ali Jum’ah mengakhiri cerita tersebut dengan mengatakan, “Ini adalah pelajaran penting, memang inilah yang diajarkan oleh ulama-ulama kita kepada para penuntut ilmu“.
Wallahi ini adab. Demi Allah, ini penting. Wallahu a’lam bisshowab