Sebagian besar manusia bekerja karena takut kemiskinan. Buktinya adalah ketika mereka ditanya kenapa harus bekerja? Jawaban mereka tidak jauh akan hal-hal yang berbau materialistis.
Syariat memang tidak melarang hal yang demikian. Tujuan kasat mata dari bekerja memang sebagai bentuk ikhtiar mendapatkan rezeki yang telah disiapkan oleh Allah SWT.
Allah berfirman, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)
Dalam Tafsir Al-Qurtubi, Hasan bin Sa’id menafsirkan “mencari karunia Allah” dengan mencari pekerjaan. Senada dengan ini, Ja’far bin Muhammad menafsirkannya dengan bekerja sebagai bentuk ikhtiar. (Lihat Tafsir Al-Qurtubi, jilid 9 hal 553)
Di lingkungan yang lain, ada segelintir manusia pilihan Allah yang berpandangan bahwa bekerja adalah ibadah (penghambaan). Mereka bekerja sebagai bentuk realisasi perintah Tuhan yang harus ditunaikan.
Mereka paham, bahwa dunia sudah diatur sebagai tempat yang mengalir dengan sebab. Mereka paham sebabnya Siti Maryam diperintahkan oleh Allah untuk menggoyahkan pohon kurma untuk mendapatkan makanan, padahal sebetulnya Allah mampu untuk menghadirkan kurma tanpa ada pohon. Tidak lain itu merupakan sebuah upaya untuk mengambil sebab.
Baca juga: Pandemi Covid-19 dan Anjuran Ulama Tentang Wabah
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits dalam Sunan Al-Kubra jilid 7 hal 479:
Suatu hari Rasulullah sedang duduk bersama para sahabatnya. Di tengah majlis ada seorang pemuda yang lewat dengan tekad yang kuat ingin bekerja. Sontak para sahabat berkata, “Celaka dia! Seandainya waktu mudanya untuk berjihad maka itu lebih baik.”
Dengan bijak Rasulullah menyikapi pada sahabatnya. Beliau bersabda, “Jangan berkata seperti itu, seandainya ia bekerja dengan tujuan menjaga dirinya dari meminta kepada manusia maka dia berada di jalan Allah. Begitu juga jika dia pergi bekerja demi mencukupi kebutuhan kedua orang tuanya dan keluarganya, maka ia di jalan Allah. Tapi jika ia pergi untuk membanggakan harta dan menumpuknya, maka ia berada di jalan setan.”
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang seseorang yang hanya duduk di pojokan masjid menunggu rezekinya datang dengan sendirinya. Beliau menjawab, “Orang tersebut tidak paham ilmunya.”
Imam Ahmad menjelaskan, “Bukankah Rasulullah ketika menyebutkan tawakal, beliau mencontohkan seekor burung yang pergi dengan keadaan perut kosong dan pulang dalam keadaan kenyang? Rasulullah menyebutkan bahwa untuk mendapatkan rezeki, harus disertai dengan usaha, yang mana dalam contoh burung ia harus pergi untuk mendapatkan makanannya.” (Lihat kitab Ihya` Ulumuddin, jilid 3 hal 245)
Luqman Al-Hakim juga pernah menasehati agar bekerja dengan pekerjaan yang halal. Menurut beliau jika seorang sudah meminta-minta kepada manusia setidaknya dia akan ditimpa 3 masalah: agamanya yang menipis, otaknya yang melemah, dan hilangnya harga diri. Yang lebih parah dari 3 ini adalah manusia akan meremehkannya.
Al-Habib Ali Al-Jufri dalam salah satu majlisnya, pernah mengingatkan tentang orang-orang yang bekerja sebagai dokter, insinyur, dan lain-lain yang bernuansa duniawi.
Menurut pandangan beliau, bekerja dengan hal tersebut hukumnya fardhu kifayah. Artinya di setiap daerah, harus ada orang muslim yang mumpuni dalam bidang-bidang tersebut. Sehingga umat muslim yang lain tercukupi kebutuhannya tanpa harus mengandalkan orang lain.
Beliau melanjutkan, seandainya orang-orang yang berkecimpung dalam hal ini berniat untuk menegakkan nama agama Islam agar tidak dipandang sebelah mata, dan melaksanakan fardhu kifayah, maka pahala yang dijanjikan oleh Allah sangat besar.
Baca juga: Pesona Masjid Koutoubia dan Shalat Jumat di Akhir Waktu
Menurut pandangan penulis, pahala yang besar itu jelas adanya. Bagaimana tidak? Orang yang berkecimpung dalam pekerjaan tersebut telah melaksanakan fardhu kifayah, yang mana dengan adanya jasa mereka, umat muslim yang lain tidak tekena beban dosa.
Bahkan ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, “Di antara bentuk dosa, ada dosa yang tidak dapat diampuni kecuali dengan bekerja.” Bisa jadi dosa yang diampuni sebab orang yang berprofesi itu menggugurkan dosa yang lain.
Memandang hal-hal yang disebutkan, kita dapat memahami berapa banyak ladang pahala yang dihasilkan dari bekerja. Kita juga paham, bahwa ibadah bukan hanya di atas sajadah.
Kita sudah mulai bekerja. Artinya kita sudah berada dalam nuansa ibadah sejak lama. Hanya saja niat dan tujuannya harus diubah. Berawal dari ingin menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya, menjadi ibadah untuk menjaga diri dari minta-minta, atau berniat mengerjakan fardhu kifayah agar orang lain tidak terkena dosa.
Tanda jika bekerja sudah berniat ibadah, adalah apapun hasil dari bekerja kita terima dengan lapang dada. Karena urusan hasil, adalah ranah Tuhan. Namun, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah-Nya.
Kamis, 1 Oktober 2020, Kairo