Jalan-jalan atau traveling pada dasarnya adalah pekerjaan mubah (diperbolehkan oleh agama). Sama dengan makan, minum, tidur dan semua kebiasaan sehari-hari. Tak ada yang istimewa dari kebiasaan ini. Yang bisa menyulapnya menjadi istimewa adalah niat.
Dewasa ini tradisi jalan-jalan menjadi semacam rutinitas yang bahkan dianggap sakral. Dalam sepekan atau setidaknya sebulan sekali, manusia modern memiliki jadwal khusus untuk traveling. Tujuannya juga beragam: ada yang sekedar mengisi hari libur kantor atau sekolah, ada yang menepi dari kepenatan kota dst. Pilihan destinasinya juga variatif. Mulai dari kuliner hingga yang hedon.
Secara psikologis manusia memang butuh traveling. Ia madani bi at-tab’i (makhluk sosial), dalam bahasa Ibn Khaldun, dan dengan jalan-jalan akan terealisasi interaksi sosial.
Jalan-jalan Rasulullah
Agama pun memandang penting jalan-jalan. Buktinya, Rasulullah Saw. pernah mengalami peristiwa maha penting: isra’ dan mi’raj. Setelah hampir enam bulan wahyu tidak turun dan Nabi mulai bersedih karena diejek oleh kaum musyrikin dengan “Muhammad sudah ditinggalkan Tuhannya”.
Maka Allah menghiburnya dengan jalan-jalan berupa isra’ dan mi’raj. Selain berfungsi sebagai hiburan, peristiwa ini tentu saja memiliki manfaat dan hikmah yang tidak terhitung dalam urusan agama. Yang paling signifikan adalah diwajibkannya shalat sebagai tiang agama.
Traveling Mencari Hadis
Kaum muhaddisin merupakan ulama yang memiliki tradisi mengakar dalam jalan-jalan. Said bin Al-Musayyib (seorang ulama dari kalangan tabi’in) terkadang harus menempuh perjalanan berhari-hari demi menemui sahabat dan mendokumentasikan satu hadis.
Sahabat Jabir bin Abdillah bersama 10 orang sahabat lain pernah menempuh perjalanan dari Madinah ke Mesir yang berjarak 1.470 km, selama sebulan, hanya demi mendengarkan satu hadis riwayat Abdullah bin Unais Al-Anshari.
Bagi siapapun yang membaca profil Imam Al-Bukhari, Muslim dan semua penulis kitab Sunan, pasti mengetahui betapa mereka menghabiskan ribuan kilometer untuk belajar dan mendokumentasikan hadis-hadis Rasulullah.
Imam mazhab kita, As-Syafi’i, yang dilahir di Gaza Palestina menempuh perjalanan panjang menuju Mekkah, ke Madinah menemui gurunya, Imam Malik, pernah menjadi Qadi di Yaman, ke Baghdad hingga akhirnya ke Mesir, lalu bermukim dan menyebarkan mazhab jadid di sana.
Baca juga: Berkunjung ke Zawiyah Tertua di Maroko, Surganya Manuskrip Langka
Traveling dalam Tradisi Kaum Sufi
Kaum sufi juga tak kalah dari muhaddisin dalam memandang urgensitas safar (traveling). Yang paling masyhur tentu saja Ibn Arabi, seorang sufi agung berasal dari Murcia Spanyol, wafat dan dimakamkan di gunung Qasiwun Damaskus (638 H). Karya-karyanya menginformasikan tempat-tempat yang pernah dikunjunginya dan mendokumentasikan nama-nama tokoh yang pernah dijumpainya.
Al-Ghazali dalam petualangan spritualnya keluar dari kota Baghdad pada Dzul Qo’dah 488 H. menuju kawasan Syam, ke Mekkah berhaji hingga ke Baitul Maqdis Palestina dalam rangka penyucian jiwanya selama hampir 10 tahun. Dia meninggalkan semua nama besar dan popularitasnya sebagai guru besar madrasah Nizamiyah demi jalan sunyi kesufian.
Abdul Ghani An-Nablusi, seorang pengagum Ibnu Arabi dan tokoh penting kaum sufi, mendokumentasikan perjalanannya dalam sebuah catatan buku berjudul “At-Tuhfah An-Nablusiyah”.
Safardalam Kaca Mata Sufi
Safar(jalan-jalan) secara terminologis berarti “tersingkapnya tabir”. Dengan perjalanan seseorang bisa menyingkap ayat-ayat (tanda kekuasaan Allah), menyingkap tabir hatinya, menyingkap perangai buruknya. Sebab safarmemiliki makna lebih dari sekedar berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Safar ada dua: perjalanan ragawi dan perjalanan hati. Ia memiliki manfaat kesufian yang tidak didapatkan oleh seorang sufi yang hanya uzlah (menyepi). Di antaranya, safarakan memiliki arti tatkala bertujuan menambah ilmu, menemui para ulama, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat.
Al-Ghazali memberi catatan, bahwa menemui ulama yang masih hidup lebih afdal dari yang telah wafat karena (1) bisa mendapatkan nasehat dan ilmu (2) meminta doa (3) dan memandangi wajahnya. Tujuan kedua, beribadah ke tanah suci dan berjihad di jalan Allah. Ketiga, lari dari bahaya (baik duniawi maupun agama). Seperti para nabi dan rasul yang melakukan hijrah: Rasulullah ke Madinah, Musa ke Madain hingga menikah dengan dua putri Nabi Syuaib. Maupun safarkarena bahaya virus penyakit yang menular.
Ada satu tujuan mulia safar, yang menurut penulis sudah tidak ada dan tidak akan ada yang mempraktikkannya, yaitu lari dari kuasa dan popularitas (jah). Keluarnya Imam Al-Ghazali dari kota Baghdad di antaranya bertujuan melepaskan diri dari ikatan dengan makhluk, lari dan popularitas, dan melepaskan diri dari kuasa politik yang sedang dinikmatinya.
Baca juga: Mengenal Ritual Haji Agama-agama Selain Islam
Etika Safar dalam Ihya’ Al-Ghazali
Etika safar harus diperhatikan bila ingin mendapatkan manfaatnya. Dalam pandangan kaum sufi, seorang yang berniat melakukan perjalanan terlebih dahulu harus:
(1) Mengembalikan hak milik orang lain yang dipinjam atau amanat yang dititipkan, atau mungkin hak orang lain yang pernah dicuri dan dizalimi.
(2) Memilih kawan (traveller) yang shaleh, yang bisa mengingatkannya.
(3) Berpamitan dan mengucapkan selamat tinggal pada sanak saudara.
(4) Shalat safarempat rakaat dengan membaca surat Fatihah dan Al-Ikhlas setiap rakaatnya kemudian berdoa.
(5) Di depan pintu keluar membaca doa-doa yang diajarkan oleh Nabi Saw.
(6) Berangkat pagi-pagi karena umat ini diberkahi di pagi hari, sabda Nabi.
(7) Melanjutkan traveling malam hari sebab malam punya keistimewaan bisa melipat waktu.
(8) Memperhatikan keselamatan jiwa dan bekal yang dibawa.
(9) Memperhatikan fungsi kendaraan.
Semua yang disebut di atas adalah etika lahir. Sementara etika batin, hendaknya memperbaiki niat, selalu mengoreksi niatnya. Usahakan tidak melakukan safar kecuali ada manfaat ukhrawi. Jika ternyata dalam safar hanya semakin menjauhkan seorang sufi dari Allah maka pasti ada cacat dalam niatnya.
Traveler juga harus melengkapi dirinya dengan semua ilmu agama yang terkait: seperti ada rukhsah (kemurahan syariat) terkait cara bersuci; dalam perjalanan cukup mengusap dua muzah dan tayammum saat syarat-syarat terpenuhi. Shalat traveller diperbolehkan jama’ (mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu) qashar (meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat). Shalat sunnah bisa dilakukan dengan berjalan dan di atas kendaraan. Traveller yang berpuasa bisa berbuka dan mengganti puasanya di hari lain.
Mana yang lebih baik antara dua model travel ala kaum sufi? Al-Ghazali menjawab, “Safar ada dua: dengan badan zahir dari tempat tinggal dan tanah air; dan safar yang berupa perjalanan hati dari tingkatan rendah menuju alam malakut. Perjalanan terbaik adalah safar batin.”
Adanya konsep maqamat dan ahwal dalam tasawuf sejatinya adalah traveling spiritual (perjalanan ruhani) yang harus dilalui seorang sufi dalam meniti suluknya.