Saya dan beberapa kerabat kerja dari Sanad Media tiba di Lasem kurang lebih pukul sepuluh menjelang siang. Sejak awal, peta digital Google sengaja kami arahkan ke sebuah bangunan bercorak Tionghoa yang kabarnya menarik dikunjungi, Roemah Oei.
Boleh dibilang kunjungan kami ke sana beberapa waktu lalu sekadar mampir sejenak, di sela-sela rangkaian agenda sowan ke sejumlah kediaman kyai berikut kerabat di kota Rembang, tentunya supaya rihlah kami lebih berwarna dan berwawasan.
Sesampai di depan gerbang, masing-masing dari kami terpana oleh daun pintu berlapis dua yang berbahan kayu dengan warna cokelat tua, sementara di bagian atasnya terukir Aksara Hanzi berwarna keemasan berikut terjemahannya: “Roemah Oei”. Suasana menyenangkan membuat kami hampir tidak menyadari hari mulai terik.
Begitu melewati gerbang, kami langsung memasuki pelataran terbuka tempat beberapa meja dan kursi tertata rapi menyesuaikan lingkarannya, tampak beberapa di antaranya sudah ditempati pengunjung bersama rombongan masing-masing. Layaknya kafe-kafe di area terbuka, suasana yang ditawarkan adalah serambi lengkap dengan pelataran yang didesain seelok mungkin menyesuaikan tema. Pohon mangga yang cukup rindang di salah satu sudutnya menjadikan area depan rumah tersebut terasa lebih teduh dan nyaman.
Lantaran masih diserang rasa ingin tahu, kami tidak langsung memilih tempat duduk untuk bersantai-santai, tetapi berbegas ke arah serambi di sebelah kiri rumah untuk menuju pelataran bagian belakang. Di sana kami mendapati area cukup luas yang menarik untuk diabadikan lensa kamera. Pelataran Ramayana, demikian sebutannya. Sebuah halaman yang sejenak mengingatkan pada adegan-adegan Kung Fu Shaolin dalam berbagai film mandarin.
Baca juga: Pajaro Negro, Musik dan Budaya Bersolek di Eropa
Sebelum mengetahui lebih detail terkait sejarah tempat yang kental dengan akulturasi Tionghoa -Jawa itu, berdiri di tengah-tengah pelataran memaksa saya membayangkan apa yang bertengger dalam benak Oei Am sehingga memilih Lasem sebagai tempat berdiam. Selain daerah tersebut memang salah satu pecinan* paling kesohor di Nusantara, barangkali ia memiliki dorongan yang lebih khusus. Ah, sudahlah, saya tidak ingin kehilangan momen hanya karena memikirkan sesuatu yang sulit saya perkirakan.
Sekembali ke pelataran depan, kami memilih tempat duduk di tepi serambi, tepat di depan papan panjang yang dengan singkat menjelaskan fakta sejarah warisan peranakan* itu. Bersela diskusi kecil-kecilan sembari menikmati minuman dingin yang baru kami pesan, papan wacana tersebut cukup menutupi satu atau dua lubang penasaran dalam kepala kami.
Oei Am lahir di Fujian, Tiongkok pada tahun 1798. Ketika usianya menginjak 15 tahun ia merantau ke pesisir Lasem. Dua tahun kemudian ia menikahi gadis setempat yang ia namai Tjioe Nio, seorang perempuan berparas cantik yang kabarnya pandai menari dan membatik.
202 tahun lalu, tepatnya pada tahun 1818, Tuan Oei membangun rumah di Jalan Jatirogo 10, yang sekarang dikenal sebagai Roemah Oei. Awalnya bangunan ini adalah rumah induk bersama yang hari ini beralih fungsi menjadi museum, food court, pusat kesenian, juga penginapan.
Dari perkawinannya Oei Am memiliki putra bernama Oei Thian Ho sebagai generasi kedua marga Oei yang menetap di Lasem, putra sulung itulah yang di kemudian hari sukses mengembangkan bisnis tapioka dan ketan hitam.
Baca juga: Tiga Serangkai Arsitektur Muslim Awal Futuhat Islamiyah
Pasca 1965, rumah ini sempat kehilangan identitas, namun Gus Dur (Abdurrahman Wahid) selaku presiden keempat melakukan terobosan-terobosan baru di bidang kebudayaan, misalnya bahwa di era reformasi berbagai atribut Tionghoa dapat kembali ditampilkan ke khalayak publik sebagai wujud kekayaan yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah panjang peradaban Nusantara.
Tiba pada tahun 2016 hingga 2018, di bawah pengelolaan Oei Lee Giok (Grace Widjaja) selaku generasi Oei ketujuh, Roemah Oei direnovasi ulang untuk dipersembahkan pada Indonesia selaku negara yang menjunjung tinggi prinsip keberagaman, lebih-lebih bagi masyarakat Lasem sendiri yang sejak lama masyhur sebagai Tiongkok Kecil. Sejak saat itu Roemah Oei menjadi salah satu warisan peranakan yang juga menjadi pusat edukasi seni dan budaya, obyek wisata, serta spot kuliner Jalur Pantura.
Saya mengawali judul catatan ini dengan kata “berdiri” bukan tanpa alasan, kata tersebut menghadirkan filosofi mendalam bagi segenap rakyat Indonesia. Akar katanya adalah “diri”, sehingga berdiri di Roemah Oei memiliki banyak pemaknaan, antara lain upaya menemukan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang senantiasa tegak di atas tanah yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebinekaan.
***
Glosarium:
- Pecinan: Tempat permukiman/perkampungan orang-orang Cina di berbagai penjuru Nusantara.
- Peranakan: Istilah yang digunakan oleh para keturunan imigran Tionghoa yang sejak akhir abad ke-15 telah berdomisili di kepulauan Nusantara.