Berbicara tentang orang Badui, kita perlu memahami istilah “badui” terlebih dahulu. Dalam kamus Lisan al-‘Arab karya Ibn Mandzur, orang Badui (A’rab) adalah orang Arab yang tinggal di pedalaman dan tidak akan memasuki perkotaan kecuali ada keperluan tertentu.
Perpindahan yang dilakukan orang Badui, baik menetap atau tidak, menuju perkotaan lalu kembali lagi ke kampung halaman disebut ta’arub. Fenomena ta’arrub ini banyak terjadi di masa dinasti Abbasiyyah. Ibn Nadim dalam kitab ‘Fihrisat’ menyebutkan lima tipe orang badui Arab yang datang ke Irak.
Ada yang menulis dan mengarang berbagai kitab, mengajarkan Bahasa sekaligus belajar ilmu gramatikal kepada Ulama setempat, mengumpulkan lafaz-lafaz yang langka (jarang digunakan), mengajarkan anak-anak lalu dikasih upah, dan tidak kalah pentingnya ada juga yang bekerja di pemerintahan.
Selama ini narasi besar yang dibangun mengenai Badui Arab melaui fakta-fakta di atas selalu berkutat seputar peranannya dalam menjaga kemurnian bahasa Arab. Badui Arab dilihat sebagai simbol dari Bahasa Arab murni.
Ditambah lagi bukti lainnya yang menyatakan bahwa para ulama pakar bahasa banyak yang melakukan perjalanan ke pedalaman hanya untuk mengambil perbendaharaan kata Bahasa Arab.
Misalnya, Khalil bin Ahmad al-Farahidi yang tercatat dalam sejarah sebagai orang pertama yang melakukan hal tersebut, sebelum disusul oleh ulama yang lainnya. Perjalanan semacam ini setidaknya berlangsung hingga pertengahan abad ke-5 H.
Jika kita mencoba keluar dari narasi besar tersebut, lalu melihat secara teliti bagaimana era Abbasiyyah menggambarkan orang Badui secara detail, khususnya ketika mereka mulai memasuki Irak, yang pada saat itu menjadi ibu kota pemerintahan dinasti Abbasiyyah.
Maka akan tampak narasi-narasi kecil yang membentuk narasi besar bahwa sebenarnya tidak semua yang berasal dari orang Badui Arab dapat dijadikan standar dalam Bahasa Arab atau dalam kata lain mereka tak serta merta terjamin keabsahannya.
Ada tiga tinjauan untuk bisa lebih jauh mengetahui hal ini: pertama. kesalahan mereka dalam mengucapkan suatu lafaz atau memahami suatu kata dalam sebuah kalimat.
Kedua, kebohongan-kebohongan yang dilakukan mereka. Bahkan al-Mubarrid (W.286 H), salah seorang ulama pakar bahasa generasi terakhir Bashtah dalam kitab al-Kamil membuat bab khusus yang berisi tentang kebohongan-kebohongan orang badui Arab.
Ketiga, pernyataan al-Ashma’i (W.216 H) tentang beberapa nama orang saja yang bisa dijadikan pedoman dalam Bahasa Arab. Lebih-lebih hal ini didukung dengan adanya fakta bahwa kesalahan-kesalahan pengucapan (Labu) banyak terjadi saat itu.
Adapun potret pertama dari kesalahan pengucapan suatu lafaz bisa dilihat dari hasil pengujian Abu Amr bin al-‘Ala’ (guru Imam Al-Farahidi) terhadap seorang Badui bernama Abu Khairah. Beliau bertanya kepadanya: “Bagaimana Engkau mengucapkan (Hafart al- Irân)?”, ia menjawab: “Hafart Irânan (dengan isim nakirah dan dinasabkan) “.
Lalu Abu Amr berkata: “Kulitmu telah lentur wahai Abu Khirah” (sebuah sindiran rusaknya kemurnian bahasa Badui). Padahal seharusnya pengucapannya “Iris” karena bentuk jamak dari Irab. Sedangkan kesalahan dalam memahami kata tergambarkan dalam bait berikut:
لم تدر ما نسجُ اليَرَنْدَجٍ ~ ودِرَاصُ أَعْوَصَ دَارِسٍ متخَدد
(Bait ini berisi tentang pendeskripsian seorang wanita yang sedang lupa)
Orang Badui Arab mengira kalau makna dari Nasju al-Yarandaj adalah tenunan yarandaj (semacam kulit hitam yang digunakan untuk alas sepatu). Padahal yang dimaksud adalah kulit yang diwarnai (jildun yushbagh).
Lalu potret kedua dari bukti kebohongan yang dilakukan orang Badui Arab dapat dilihat dari salah satu obrolan al-Ashama’i dengannya. Dalam obrolan ini tergambarkan jelas pengakuan badui Arab tentang kebohongannya.
Al-Ashma’i bertanya: “Apakah Anda selalu benar?” Si Badui menjawab: Andai saja Aku tidak takut untuk mengatakan yang sebenarnya, maka Aku akan mengatakan (tidak).”
Bahkan, salah seorang yang dikenal fanatik terhadap Yaman, Khalaf al-Ahmar ketika ditanya tentang Amr bin Ma’di Kariba (Badui yang dikenal sering berbohong), beliau menjawab: sering berbohong dalam pengucapannya, namun dalam perbuatannya ia benar”!
Potret ketiga mengenai pernyataan al-Ashma’i tentang beberapa nama Badui yang bisa dijadikan pedoman adalah sebagai berikut: “Ada empat orang yang benar-benar tidak pernah salah dalam pengucapan (law: al Sya’bi, Abdul Malik bin Marwan, al-Hajjaj bin Yusuf, dan Ibn al-Qaryah. Sedangkan yang paling fasih adalah al-Hajjaj”.
Pernyataan di atas sangat jelas mengindikasikan bahwa tidak semua Badui Arab dapat dijadikan pedoman dan jumlah yang dapat dipercaya pun bisa dihitung jari. Sehingga hal tersebut memicu para Ulama untuk lebih teliti dan cermat perihal pengambilan perbendaharaan kata Bahasa Arab.