Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Katedral Notre-Dame; Bagaimana Peradaban Barat Mencurinya dari Timur

Avatar photo
25
×

Katedral Notre-Dame; Bagaimana Peradaban Barat Mencurinya dari Timur

Share this article

Ketika katredal Notre-Dame terbakar tahun lalu, ribuan orang meratapi hilangnya salah satu simbol peradaban Barat ini. Simbol terakhir identitas kebudayaan Perancis dan jantung identitas bangsa ini dilahap si jago merah.

Namun, salah satu pakar Timur Tengah, Diana Darke memiliki pemikiran lain. Diana yakin bahwa asal muasal tumpukan bangunan gotik ini bukan dari sejarah Kristiani Eropa, melainkan datang dari pegunungan Suriah, tepatnya di sebuah desa di barat Aleppo.

“Seperti halnya katedral gotik Eropa lainya, desain arsitektur Notre-Dame berasal dari gereja abad ke-5 Qalb Lozeh, Suriah.” tweet Darke 16 April lalu. “Para Crusader (Tentara Salib) membawa pulang konsep ‘menara kembar dan jendela mawar’ ke Eropa pada abad ke-12”.

Bukan hanya konsep menara kembar dan jendela mawar saja yang berasal dari daratan Timur Tengah, tapi kubah bergaris, lengkungan runcing, bahkan cara mewarnai kaca jendela juga berasal dari sana. Arsitektur Gotik seperti yang kita tahu selama ini, lebih banyak berhutang budi kepada peninggalan Arab dan Islam dari pada warisan budaya gotik itu sendiri.

“Saya sangat keget. Saya pikir mayoritas masyarakat tahu. Tapi tampaknya ada jurang ketidaktahuan yang dalam tentang perampasan dan perampokan budaya. Melihat naiknya narasi Islamofobia sekarang ini, saya rasa sudah waktunya untuk meluruskan narasi ini.” Sambung Darke seperti dikutip The Guardian (13/8).

Stealing From The Saracen, sebuah buku hasil riset mendalam karya Darke yang dijadwalkan akan terbit 20 Agustus tahun ini, berusaha menjelaskan asal usul ‘peminjaman’ bangunan-bangunan ternama Eropa. Mulai dari House of parliament and Westminster Abbey, London, sampai katedral Chartes dan basilika St. Mark, Venesia.

Buku ini bercerita mengenai kekuatan politik, fashion dan kekayaan seperti halnya sebuah keyakinan beragama. Seperti penjarahan yang dilakukan para Crusader, Uskup yang gila mode, dan para saudagar yang menemukan teknik dan gaya baru untuk dibawa pulang.

“Sekarang ini kita memiliki gagasan tentang Timur dan Barat. Tapi dulu tidak seperti itu. Ada pertukaran kebudayaan besar-besaran dan kebanyakan datang dari Timur ke Barat, sedikit sekali yang datang dari barat ke timur”.

Twin towers flanking a monumental arched entrance … the remains of Qalb Lozeh church in Syria, the inspiration behind Notre-Dame. Photograph: Bertramz

Mengingat kelazimannya di katedral-katedral besar Eropa, mudah sekali untuk menggambarkan bahwa bentuk runcing lengkungan batu dan vault rib (fitur arsitektur untuk menutupi ruangan yang luas) berasal dari budaya Kristen. Namun, konsep lengkungan yang meruncing sudah ada sejak abad ke-7 di sebuah tempat peribadatan Islam di Yerusalem. Sedangkan konsep Rib Vault bermula di sebuah masjid abad ke-10 di Andalusia. Bahkan contoh pertama Rib Vault masih berdiri kokoh sampai sekarang.

Para pengunjung Masjid Kordoba akan disuguhkan banyak sekali arsitektur lengkungan runcing yang saling menyilang dalam sebuah masterpiece geometri dan struktur dekoratif yang jarang sekali membutuhkan renovasi selama berabad-abad.

Maqsura vault (bagian masjid Kordoba yang diperuntukkan untuk khalifah yang memerintah) dirancang khusus untuk memantulkan cahaya ke para pemimpin ketika berada di Maqsura Vault. Namun, dalam brosur resmi sedikit sekali ditemukan narasi asal muasal bangunan Islam, mungkin karena bangunan tersebut diubah menjadi gereja Katolik sejak 1236.

Looks familiar? … from left, the interior of Jerusalem’s Dome of the Rock, and Temple Church in London. Composite: Virtutepetens/Getty Images/iStockphoto

Sementara itu, lengkungan yang meruncing menjadi solusi pragmatis ketika para tukang batu menghadapi masalah di saat pembangunan Dome of The Rock di Yerusalem. Salah satu situs suci umat Islam yang dibangun tahun 691 oleh dinasti Islam pertama.

Permasalahan yang dihadapi para pekerja saat itu adalah bagaimana menyejajarkan arcade (struktur yang terdiri dari serangkaian lengkungan yang didukung oleh kolom) luar sebuah lengkungan bulat dengan arcade kecil di dalamnya sambil menjaga langit-langit horisontal antara keduanya.

Agar bukaanya sejajar, para pekerja harus menjadikan arcade dalam menjadi lengkungan yang ketat dan memaksa lengkungannya menjadi runcing. Dari ketinggian situs keagamaan ini dapat dilihat dunia yang betul-betul baru, di mana arcade lengkungan trefoil (yang memiliki tiga daun) mengitari kubah, sebuah desain yang diadopsi seluruh katedral di Eropa dan secara sembrono dianggap sebagai simbol kristen Holy Trinity.

“Lagi-lagi saya dikejutkan oleh banyaknya hal yang kita anggap berasal dari budaya Kristen dan Eropa ternyata berasal dari ketidakpedulian dan salah penafsiran akan bentuk Islam yang jauh lebih awal.” Darke menambahkan bahwa pengaruh besar the Dome of Rock disebabkan oleh kesalahan para crusader abad pertengahan yang menganggap bangunan tersebut adalah The Temple of Solomon (Kuil Sulaiman).

Mereka menggunakan kubah, sebuah layout bulat yang dianggap sebagai bangunan Kristen untuk dijadikan model gereja salib mereka (seperti gereja bundar City of London). Bahkan dekorasi tulisan Arab pun dijiplak, yang kalau diartikan tulisan tersebut justru malah menghukum umat Kristiani yang mempercayai konsep tritunggal bukan keesaan tuhan. Pola kaligrafi Psudeo-Kufic mereka digunakan untuk menghiasi batu Katedral Perancis dan sebuah bordir tekstil yang penuh anyaman meskipun tidak ada yang tahu artinya.

Kebingungan ini justru malah semakin menjadi karena adanya sebuah peta Yerusalem yang diterbitkan di Mainz, Jerman tahun 1486. Bukan hanya salah melabeli Dome of The Rock sebagai Kuil Sulaiman, mereka juga menggambarkan seolah-olah bangunan ini menggunakan arsitektur ala kubah bawang.

Sebuah fantasi orientalis seorang seniman pahatan kayu Belanda bernama Erhard Reeuwich. Buku yang mengandung peta tersebut menjadi bestseller, dicetak ulang sampai 13 kali dan diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan berhasil mempengaruhi menjamurnya desain gereja dengan kubah bawang di Eropa pada abad ke-16. Sebuah kisah kesalahan identitas yang konsekuensinya layak masuk parodi ala Monty Pyhthon.

Perpindahan motif Islami ke dunia Barat tidak selalu berjalan mulus, lengkungan runcing misalnya. Darke melacak bagaimana lengkungan tersebut pertama mulai banyak digunakan di Kairo lalu menjadi semakin tajam dan runcing pada era kekaisaran Abbasiyah. Desain arsitektur tersebut sangat dikagumi oleh seorang saudagar kaya asal pelabuhan Amalti, Italia, yang sering berlayar ke Kairo.

Dari perjalanannya tersebut ia kemudian membangun basiliki abad ke-10 yang berada di Katedral Amalti. Bangunan eksotik ini menarik perhatian Abbot Desiderus yang tahun 1065 mengunjungi Amalti ketika mencari barang-barang mewah langka. Desiderus memutuskan membeli jendela dengan desain runcing untuk kuilnya di Monte Cassino, Itali.

Jendela-jendela tersebut kemudian ditiru untuk digunakan di gereja Benedictine, Prancis, Gereja terbesar di dunia saat itu. Abbot Suger, seorang penasihat raja Lous VI dan VII menyukai desain tersebut kemudian memakai desain yang sama untuk gerejanya Saint-Denis di Paris. Dianggap sebagai struktur bangunan Gotik pertama, basilika tersebut selesai dibangun tahun 1144 dan arsiteknya kemudian bekerja di Notre-Dame.

“Mereka hanya menirunya. Ini adalah gereja-gereja paling berpengaruh di Eropa, makanya desainnya menjadi populer layaknya sebuah fashion. Ketika orang-orang berpengaruh mengadopsi sesuatu, semua orang akan berusaha mengikutinya.” Sambung Darke.

More Arab than European … Jerusalem’s Dome of the Rock, left, and St Mark’s basilica in Venice. Composite: Godot13/Zairon

Ada sebuah bangunan menara kotak, yang lebih dulu sering ditemukan di bangunan-bangunan seperti Masjid Damaskus, berbentuk lebih tipis meruncing dan dimahkotai dengan kubah finial bulat. Bangunan ini menginspirasi menara Italia yang berada di balai kota Floren dan St Mark’s Campanile di Venecia, yang berabad-abad digunakan sebagai menara lonceng.

Dari hasil riset seorang sejarawan arsitek Deborah Howard, Darke menggambarkan bahwa kota Venisia dulunya lebih mirip Arab dari pada Eropa. Mulai dari belitan lorong yang sempit, halaman rumah dengan atap teras, sampai ornamen Islam di Doge’s Palace (tiruan dari masjid Al-Aqsa, Yerusalem) dan kubah bulat gereja St Mark’s. Semuanya adalah hasil dari perjalanan para saudagar ke Mesir, Suriah, Palestina dan Persia.

Pengaruh yang bahkan sampai ke fashion di mana wanita-wanita di Venesia tertutup di ruang publik dan berpakaian serba hitam mulai kaki sampai kepala. “seseorang tidak memperlihatkan wajah mereka ke dunia.” sebuah sumber abad 15 menambahkan. “Mereka pergi dengan sangat tertutup sampai saya tidak mengerti bagaimana mereka melihat sepanjang jalan”.

Buku Darke ini hadir di saat arsitektur barat disinyalir dimobilisasi oleh grup sayap kanan nasionalis untuk mendukung idealisme identitas Eropa ‘Murni’ versi mereka. Banyak sekali akun-akun media sosial yang mempromosikan ‘White Supremacy’ (superiorioritas kulit putih) yang menyamar seolah olah mengapresiasi warisan kebudayaan, sementara peraturan pemerintah terkait keindahan dan budaya sekarang ini memilik nuansa yang sama. Karya Darke ini seolah menjadi palu bagi tindak ketidakpedulian dan propaganda semacam ini, mengungkap fakta bahwa monumen yang mereka idolakan memiliki asal muasal budaya yang mereka anggap mencurigakan.

Ketidakpedulian sekarang ini sudah menyebar, dan mungkin hal yang paling mengagetkan dari buku Stealing From Saracen ini adalah bagaimana hal ini tidak mengejutkan bagi pembaca modern. Biar bagaimanapun, melalui buku ini Darke menyampaikan kalimat Christoper Wren yang faham betul asal muasal arsitektur Gotik berasal dari Timur Tengah, dan teknik struktur bangunan yang ia gunakan untuk katredal St.Paul.

Tahun 1700-an Wren menuliskan bahwa “Gotik modern dibedakan dari ringannya pengerjaannya, keberanian yang berlebihan dari ketinggiannya, kehalusannya, dan dari ornamennya yang mewah, produksi semacam ini begitu lapang yang tidak mungkin diciptakan oleh orang-orang gotik garis keras.” namun Wren menyimpulkan bahwa “dari semua ciri has arsitektur baru, hanya bisa diatributkan kepada orang-orang moors, atau yang sama kita kenal sebagai orang-orang Arab atau Saracen.”

sIronisnya justru ada di nama itu sendiri, di era Wren, kata Saracen digunakan untuk merendahkan martabat muslim Arab, bangsa yang para Crusader perangi di saat “perang suci’ mereka. Saracen berasal dari kata “Saraqa” yang berarti “mencuri” di mana Aaracen dianggap sebagai para penjarah dan perampok. Tidak mempedulikan fakta bahwa para Crusader menjarah sepanjang Eropa, Yerusalem, Konstantinopel, merampok keajaiban arsitektur Islam semau mereka, dan mengaburkan asal usul mereka dalam prosesnya.

Kontributor

  • Ahmad Saifudin

    Pria asal Tuban, Jawa Timur. Alumni Universitas Al-Azhar. Selama di Kairo, aktif di LSBNU PCI NU Mesir. Meminati musik, kopi, seni dan sejarah. Penggila berat Manchester United. Sekarang menjadi editor kreatif video di channel Youtube Sanad Media.