Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Aliansi Turki Utsmani-Perancis: Katedral Pun Jadi Masjid Sementara (Bagian 1)

Avatar photo
23
×

Aliansi Turki Utsmani-Perancis: Katedral Pun Jadi Masjid Sementara (Bagian 1)

Share this article

Pada masa antara tahun 1543– 1544 M, pasukan Turki Utsmani menempati pangkalan militer sementara di Toulon, sebuah kota di tepi Laut Tengah yang ada di bawah kekuasaan Perancis. Keberadaan pasukan Turki Utsmani di wilayah pesisir Côte d’Azur tersebut merupakan bagian dari kampanye militer bersama kedua kekuatan tersebut yang bersekutu melawan kekuatan Habsburg.

Saat itu Turki Utsmani dipimpin oleh Sultan Sulaiman I (berkuasa pada 1520–1566 M) sedang Perancis dipimpin oleh Raja Francis I (berkuasa pada 1494–1547 M). Seteru mereka adalah Kaisar Charles V, pemimpin tertinggi Imperium Habsburg sekaligus Kaisar Romawi Suci (berkuasa pada 1519–1556 M).  

Baik Raja Francis I maupun Raja Charles V adalah sama-sama penganut Katolik Roma. Namun demikian, dua raja itu malah berseteru. Raja Francis I sendiri kemudian bersekutu dengan Turki Utsmani yang berlatar belakang agama Islam. Persekutuan dengan latar belakang agama berbeda ini cukup mengguncang Eropa saat itu.

Di bawah Sultan Sulaiman I sendiri, Turki Utsmani tengah mencapai puncak keluasan wilayah kekuasaan. Sebaliknya, Imperium Hasburg di bawah kekuasaan Kaisar Charles V juga sedang mencapai prestasi yang sama. Karena saking luasnya, wilayah kekuasaan Kaisar Charles V sampai disebut sebagai ‘tempat matahari tidak pernah tenggelam’.

Baca juga:

Perancis tahu benar bahwa Turki Utsmani dan Habsburg memang saat itu sudah mulai bersaing. Melalui ajakan aliansi, Perancis berharap Turki Utsmani membantu melemahkan wilayah daratan Habsburg di sebelah timur yaitu Austria. Selain itu, Perancis juga berharap agar Turki Utsmani membantu peperangan laut di wilayah Laut Tengah di mana Habsburg menguasai wilayah sekitar Perancis yang kini menjadi bagian Italia dan Spanyol.

Armada angkatan laut Turki Utsmani di bawah pimpinan Laksamana Hayreddin Barbarossa berada di Toulon selama tak kurang dari setengah tahun lamanya. Kekuatan ini terdiri dari sekitar 30.000 personel, dengan berkendaraan 3 kapal jenis carrack, 110 kapal jenis galley dan 40 kapal jenis fusta. Pasukan ini tidak hanya terdiri dari elemen angkatan laut saja, namun juga diperkuat korps elit infantri Yanisari serta korps kavaleri Sipahi

Demi keberadaan pasukan Laksamana Barbarossa, penduduk kota Toulon diminta oleh Kerajaan Perancis untuk mengungsi sementara dengan kompensasi bebas pajak selama 10 tahun. Penduduk yang diijinkan tetap tinggal di Toulon adalah kepala keluarga dan para pekerja yang profesinya terkait dengan suplai kebutuhan pasukan.

Pasukan Turki Utsmani menempati area kota, pinggiran kota maupun di tenda-tenda yang didirikan. Tempat ibadah pemeluk Nasrani setempat yaitu Katedral Toulon, difungsikan sebagai masjid sementara di mana seruan azan terdengar lima kali setiap harinya.

Christine Isom-Verhaaren menulis sebuah makalah berjudul “Barbarossa and His Army Who Came to Succor All of Us”: Ottoman and French Views of Their Joint Campaign of 1543–1544 (2007) tentang keberadaan pasukan Laksama Barbarossa di Toulon. Menurutnya banyak tulisan sejarah tentang peristiwa ini yang mengandung bias dan cenderung memberi gambaran negatif atas aliansi Turki Utsmani dengan Perancis.

Di antara gambaran negatif ini adalah pernyataan bahwa Turki Utsmani melakukan invasi atas Perancis, menyerang pelabuhan-pelabuhan Perancis, bersikap semena-mena terhadap penduduk Toulon, maupun mau meninggalkan Toulon setelah diberi uang suap oleh Perancis.

Menurut Isom-Verhaaren, gambaran-gambaran negatif ini muncul dari catatan-catatan sejarah versi Habsburg. Baginya, catatan-catatan tersebut lebih berupa propaganda Habsburg dalam menyudutkan baik Turki Utsmani maupun Perancis,

Kilas Balik Aliansi

Perancis mulai membangun aliansi dengan Turki Utsmani setelah dikalahkan Habsburg di Pertempuran Pavia pada Februari 1525 M yang mengakibatkan Raja Francis I ditawan di Madrid. Fakta ini tertulis dalam makalah The Ottoman Turks in Sixteen Century French Diplomacy (1985) karya De Lamar Jensen.

Seorang utusan kemudian dikirim oleh Perancis ke Konstantinopel, namun terbunuh di perjalanan saat sampai Bosnia. Pada akhir 1525 M, utusan kedua bernama Jean Frangipani berhasil mencapai Konstantinopel dan menyampaikan ajakan aliansi kepada sang sultan.

Sultan Sulaiman I pun memberikan respon positif atas ajakan aliansi tersebut. Bagi Turki Utsmani, aliansi dengan Perancis akan menguatkan legitimasi kesultanan ini di mata Eropa. Di samping itu, keberlangsungan konflik antar sesama kekuatan Eropa dipandang sebagai hal positif bagi Turki Utsmani. Pada akhirnya, Raja Francis I yang menjadi tawanan Habsburg dibebaskan pada Maret 1526 M.

Pertempuran Mohacs kemudian pecah pada Agustus 1526 M di mana pasukan Turki Utsmani berhasil mengalahkan kekuatan Hungaria. Pada September hingga Oktober 1529 M, Turki Utsmani melakukan usaha pengepungan kota Wina namun menemui kegagalan.                 

Pada tahun 1532 M, pelabuhan Koroni di Yunani yang sebelumnya telah diduduki Turki Utsmani direbut Habsburg. Turki Utsmani menyadari bahwa persaingan dengan Habsburg mesti bergeser ke wilayah lautan Mediterania. Sultan Sulaiman I kemudaian melantik Hayreddin Barbarossa, yang sebelumnya adalah gubernur Aljazair, sebagai kapudan pasha atau laksamana pemimpin angkatan laut Turki Utsmani.

Saat jabatan duta besar Perancis untuk Turki Utsmani diemban oleh Jean de La Forest (1534–1537 M) dan Antonio Rincon (1537–1541 M), kerjasama militer laut antar kedua kekuatan itu makin meningkat. Pertempuran di kota pelabuhan Corfu pada tahun 1537 M serta di Preveza pada tahun 1538 M adalah buktinya.

Perancis kemudian punya duta besar baru untuk Turki Utsmani yang bernama Antoine Escalin des Eymars alias Captaine Polin mulai tahun 1541 M. Di tahun 1542 M, Captaine Polin menyampaikan permintaan kepada Turki Utsmani untuk mengadakan operasi militer laut bersama di sekitar wilayah Perancis.

Kontributor

  • Muhyidin Basroni

    Muhyidin Basroni, Lc., MA., peminat kajian sejarah, budaya dan seni dalam Islam, pernah belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, kini mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.