Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Wahyu Pertama dan Perintah Membaca Berulang Kali

Avatar photo
23
×

Wahyu Pertama dan Perintah Membaca Berulang Kali

Share this article

(Tafsir Surat Al-‘Alaq Ayat 1-5)

Dalam banyak literatur ‘Ulûm al-Qur`ân ditegaskan bahwa, para ulama telah bersepakat mengenai wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Terkait hal ini misalnya, Al-Imam Badruddin al-Zarkasyi dalam “al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân”, menerangkan bahwa, yang pertama kali diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW adalah surat al-‘Alaq ayat 1-5 kemudian disusul surat al-Mudatstsir. Statemen ini kemudian diperkuat dengan beberapa riwayat hadis shahih, sebagaimana yang tercatat dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan Mustadrak imam al-Hakim.

Senada dengan pandangan al-Zarkasyi, Imam Jalâluddin al-Suyûthi dalam “al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân” dan Syaikh Muhammad ‘Abd al-‘Adhîm al-Zarqâni dalam “Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân” juga menjelaskan bahwa, yang diwahyukan pertama kali kepada Nabi secara mutlak adalah surat al-‘Alaq ayat 1-5. Meski demikian, terdapat pendapat lain terkait masalah ini, bahwa wahyu yang pertama kali turun dari al-Qur`an adalah surat al-Mudatstsir, ada juga yang mengatakan surat al-Fâtihah, dan ada yang mengatakan Basmalah (Bismillâhirrahmânirrahîm).

Bertolak dari penjelasan tersebut, dan terlepas dari perbedaan pandangan para ulama, ada hal-hal penting dan menarik yang bisa kita petik dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿١﴾ خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ ﴿٢﴾ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ﴿٣﴾ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ﴿٤﴾ عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ﴿٥﴾

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, (1) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (2) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, (3) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran pena, (4) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (5)”

Mengapa yang Pertama adalah Perintah Membaca?

Membaca adalah sarana untuk memperoleh ilmu. Ilmu adalah rel atau landasan setiap amal. Sehingga tanpa ilmu, amal ibadah tidak akan bisa berjalan secara baik dan benar, dan tidak akan sampai pada tujuan. Oleh karenanya dalam sumber ajaran Islam, kita menemukan banyak sekali teks yang menegaskan pentingnya ilmu. Dalam konteks ini, kecakapan membaca menjadi sangat penting. Tidak terbatas pada ruang lingkup teks atau naskah, namun lebih luas dari itu, manusia perlu melatih diri untuk memiliki kemampuan membaca apa saja, termasuk situasi dan kondisi yang dihadapinya.

Potensi dasar yang dimiliki manusia untuk bisa menyerap ilmu, serta kemampuannya untuk berpikir, memposisikannya sebagai makhluk mulia di sisi Tuhan. Hal ini sangat jelas ketika kita membaca narasi al-Qur`an tentang nabi Adam, di surat al-Baqarah mulai ayat 30 dan beberapa ayat sesudahnya. Nabi Adam (manusia) diposisikan sebagai pemimpin di muka bumi, di antara makhluk lainnya. Satu unsur penting yang menjadikannya unggul adalah ilmu, pengetahuan tentang “nama-nama”, yang menjadikannya mampu untuk mengelola (QS. Al-Baqarah: 31). Dari sini kita mengenal istilah ilmu laduni, ilmu mawhibi atau ilmu waratsah, yang diperoleh secara langsung, tanpa proses kasbi atau usaha. Nabi Adam mendapatkannya secara langsung dari Allah SWT.

Kembali pada “Iqra`”, bahwa membaca adalah jalan manusiawi yang bisa ditempuh oleh siapa saja untuk memperoleh ilmu. Nabi Muhammad adalah manusia yang memperoleh gelar khusus sebagai Rasul. Sehingga ada dua sisi sekaligus dalam diri Nabi Muhammad SAW yang tersirat dari perintah iqra`, beliau sebagai manusia yang tidak pandai membaca, dan beliau sebagai Rasul yang memberoleh wahyu, ilmu, serta bimbingan langsung dari Allah SAW. Oleh karenanya membaca menjadi kunci pembuka bagi terlaksananya misi risalah, yaitu membaca untuk diri sendiri terlebih dahulu, baru kemudian membacakannya untuk umat secara umum.

Syaikh Muhammad al-Thâhir ibnu ‘Âsyûr, dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa, berdasarkan beberapa riwayat hadis shahih, surat al-‘Alaq ini diwahyukan ketika Nabi Muhammad berada di Gua Hira. Dalam kondisi beliau sedang bertahannuts (menyendiri atau mengasingkan diri dari keramaian untuk berkontemplasi) di dalam gua dan kemudian muncul suara berupa perintah membaca (iqra`). Secara alamiah, Nabi Muhammad merasa berat atas perintah itu, karena beliau memang tidak pandai membaca (maa ana bi qâri`in). Namun kemudian malaikat Jibril sebagai perantara wahyu memberi motivasi dan dorongan agar Nabi Muhammad mau membaca, sehingga perintah yang sama diulang sampai tiga kali. Barulah kemudian malaikat Jibril mentalqinkan surat al-‘Alaq ayat 1-5 kepada Nabi. 

Sesuatu yang menjadi permulaan atau titik tolak dari sebuah misi besar tentu memiliki atsar atau pengaruh yang spesial dalam diri seseorang. Oleh karenanya, perintah membaca memberikan dampak signifikan dalam keberlangsungan dakwah Nabi Muhammad SAW. Salah satunya dapat kita lihat dalam peristiwa perang Badar yang dimenangkan oleh Umat Islam, dimana para tahanan perang kemudian diberi tugas untuk mengajar membaca dan menulis kepada para sahabat Nabi. Satu orang tawanan mengajar 10 orang. Jumlah yang cukup ideal dalam proses belajar mengajar agar dapat berjalan secara efektif.

Tidak Sekadar Membaca!

Perintah membaca yang tersurat dalam wahyu pertama juga mengajarkan tentang pentingnya ta’alluq atau hubungan transenden antara makhluk dan Pencipta. Manusia memiliki potensi untuk membaca, namun yang menentukan keberhasilannya adalah Tuhan Yang Menciptakan. Oleh karenanya ada penegasan di ayat pertama, bahwa proses membaca haruslah diiringi dengan selalu mengingat Tuhan, dalam rangka memohon pertolongan dan bimbingan-Nya. Dan di ayat kedua, terdapat gambaran tentang posisi beda antara manusia dan Allah SWT. Manusia diciptakan, melalui proses dan tahapan, sedangkan Allah adalah Dzat Yang Menciptakan. Manusia berasal dari ketiadaan, sedangkan Allah adalah sumber dari segala yang ada.

Kesadaran manusia akan muasalnya menjadi poin penting untuk menata sikap dan prilakunya. Karena dengan hal itu akan mendorongnya lebih arif dan bijaksana dalam menjalani kehidupan. Karena lupa akan jati diri, membawa manusia pada kesombongan, sikap yang justru akan menghilangkan potensinya untuk menjadi unggul.

Syaikh Ahmad Musthafa al-Maraghi di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa, ayat ketiga dari surat al-‘Alaq yang mengandung pengulangan perintah membaca dari ayat pertama mengisyaratkan sebuah pelajaran, yaitu pentingnya proses pengulangan (takrâr/tikrâr) dan pembiasaan dalam membaca. Berdasarkan standar normal, bahwa proses membaca akan menghasilkan pemahaman makna yang kuat di dalam hati dan jiwa jika dilakukan secara berulang. Bahkan sesuatu yang sudah dihafal, tanpa dibaca secara terus menerus akan bisa lupa. Maka proses membaca yang dilakukan secara kontinu, akan menjadikan seseorang memiliki malakah (kemampuan khusus) untuk dapat menyerap ilmu dan menangkap makna. Apalagi di ayat ketiga dari surat al-‘Alaq terdapat penegasan bahwa Allah SWT adalah Dzat yang Maha Pemurah. Sehingga siapapun yang mau berusaha dengan terus membaca, akan mendapatkan kemurahan berupa pemahaman dan ilmu.

Pena dan Perannya

Ayat keempat dan kelima dari surat al-‘Alaq memberikan isyarat yang lain tentang pentingnya pena. Bahwa pena, yang merupakan alat tulis dan merupakan benda mati, ternyata bisa menjadi sarana bagi manusia untuk bisa saling memahami. Di dunia yang semakin berkembang dan di alam keterbukaan seperti saat ini, memang tidak ada lagi penghalang untuk tetap bisa belajar langsung dari guru, mendengar dan melihat wajah face to face, meskipun ada jarak yang terbentang sangat jauh sekalipun. Namun jika kita flash back ke masa kenabian, bahwa pena bisa menjadi sarana yang sangat efektif untuk menyebar luaskan ilmu hingga tempat yang sulit untuk bisa dijangkau secara langsung. Bahkan, beberapa pesan Nabi disampaikan kepada para raja di beberapa wilayah dengan melalui tulisan atau surat.

Di surat al-Qalam ayat pertama, Allah SWT bersumpah dengan pena dan apa yang dituliskan. Karenanya, pena yang kemudian digunakan untuk menulis memiliki signifikansi dalam proses transfer of knowledge. Sejak generasi sahabat, hingga secara turun temurun pada gerenasi-generasi sesetelahnya, ilmu terjaga melalui tulisan yang kemudian dibukukan dan dicetak. Dari peran pena inilah manusia belajar menghapus kebodohan yang melekat di dalam dirinya. Ruang memori sekaligus kemampuan berpikir yang menjadi potensi manusia, akan terpenuhi dan teroptimalisasi dengan terus membaca dan menulis. Kewajiban pertama untuk membaca, akan mengantarkan manusia dapat lebih maksimal dalam menjalankan tugas utamanya, mengabdi kepada Tuhan. Wallahu a’lam bi al-shawâb.

Rembang, 27 Juli 2020, 6 Dzulhijjah 1441.   

Kontributor

  • Mohammad Luthfil Anshori

    Ustadz Mohammad Luthfil Anshori, Lc. M. Ud. Lulusan Universitas Al-Azhar, Peneliti dalam Kajian Tafsir AL-Qur'an, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Rosyid Rembang, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Anwar Sarang Rembang.