Masjid memiliki peranan yang besar dalam menyebarkan ajaran Islam dan mengukuhkan nilai-nilai pokok yang menjadi ciri khas agama ini, seperti keadilan, toleransi, kemudahan, dan menghargai perbedaan.
Dalam sejarah masjid, ada sejumlah catatan yang menyuguhkan contoh-contoh perlakukan membanggakan umat Islam terhadap umat lintas agama. Yaitu umat Yahudi dan Nasrani serta pemeluk agama yang lain, khususnya ketika masjid didirikan di lingkungan mereka setelah terjadi pembebasan wilayah.
Masjid Nabawi menyambut umat Kristiani
Rasulullah SAW pernah menyambut tamu dari penduduk Najran yang tiada lain adalah umat Kristen. Tidak hanya memuliakan tamunya, Baginda Nabi SAW juga mempersilahkan mereka untuk menunaikan ibadah mereka di masjidnya, karena mereka adalah penganut agama saudara Baginda Nabi SAW, yaitu Nabi Isa AS.
Peristiwa ini terjadi pada tahun para tamu Baginda Nabi SAW yang dikenal dengan ‘Amul Wufud’.
Sesaat setelah membebaskan wilayah Palestina dari kekuasaan Romawi Kristen, Umar bin Khattab RA melakukan kunjungan ke gereja yang dikenal dengan gereja Qiyamah. Sayyidina Umar RA datang menjelang shalat Dhuhur.
Dalam pertemuannya dengan pembesar umat Nasrani tersebut, Sophronius, Sayyidina Umar dipersilahkan untuk menunaikan shalat Dhuhur di dalam gereja, akan tetapi ia menolak karena khawatir umat Islam akan menganggapnya sebagai bagian dari ajaran agama atau mungkin khawatir umat Islam akan merebut bangunan gereja dengan paksa.
Singkat cerita, Sayyidina Umar memilih untuk menunaikan shalat di luar bangunan gereja.
Persitiwa ini terjadi pada tahun 630 M hingga datang Raja al-Afdhal Nuruddin bin Shalahuddin al-Ayyubi mendirikan bangunan masjid tersebut di tempat Umar Shalat, bukan merebut gerejanya dan diberi nama masjid Umar bin Khattab RA pada tahun 1193 M.
Sikap ini juga dipraktikan oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang menundukkan Romawi dan kembali membebaskan Palestina.
Setelah Sayyidina Amr bin Ash RA membebaskan wilayah Mesir dari penjajahan Romawi, beliau membangun pusat peradaban Islam di Mesir.
Beliau membangun sebuah masjid yang kemudian diberi nama masjid Amr bin Ash RA. Tepatnya di daerah Mesir Kuno yang dikenal dengan daerah Fusthath pada abad ke-7 Masehi.
Tak jauh dari lokasi masjid, telah berdiri sebuah gereja kuno Sayyidah Maryam al-‘Adzra` yang disebut dengan gereja Gantung. Gereja ini berdiri jauh sebelum Sayyidina Amr RA datang, yaitu akhir abad ke-4 Masehi.
Sesuai dengan ruh kemoderatan Islam, masjid dibangun dengan keagungannya, tanpa mengusik sedikitpun kebebasan masyarakat kristen koptik dan segelintir umat Yahudi untuk melestarikan tempat ibadah mereka.
Penjelasan soal ini bisa dibaca dalam kitab At-Tasâmuh al-Islami wa Dauruh fi at-Ta’ayusy as-Silmi baina Abna`il Wathan karya Dr. Ahmad Arafah Ahmad Yusuf.
Amr bin Ash RA pernah meruntuhkan rumah seorang wanita kristen Koptik untuk memperluas bangunan masjid karena sudah tidak muat lagi. Akan tetapi, ketika hal itu diketahui oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA, rumah tersebut dikembalikan seperti semula.
Prof. Dr. Muh. Rajab al-Bayumi rahimahullah dalam kitabnya Al-Masjid fil Islam: Ibadatan wa Tsaqafatan meriwayatkan bahwa, “Sebagaimana umat Islam mengunjungi masjid Qordoba saat ini, umat Nasrani pun dahulu pada era Daulah Umawiyyah dan seterusnya di Andalusia diizinkan untuk mengunjungi masjid tersebut, bahkan mereka sering mengadakan majelis ilmu selama bertahun-tahun hingga masjid tersebut menjadi universitas pertama di Eropa.”
Ketika Masjid Qordoba akan diperluas oleh salah seorang khalifah muslim, ia berusaha keras untuk mendapatkan keridhaan para penduduk sekitarnya.
Prof. Dr. Muh. Rajab al-Bayumi rahimahullah menyebutkan, bahwa Al-Manshur bin Abi Amir pernah akan menambahi bangunan masjid Jami’nya dan ingin mengambil rumah di sebelahnya.
Ia pun menyampaikan kepada para tetangga masjid,
“Aku ingin membeli rumah kalian untuk keperluan umat Islam dengan harta Allah dan harta mereka. Silahkan minta harga sesuka hati kalian! Ketika ada yang meminta harga tertinggi, ia justru tersenyum dan melipatgandakan.”
Suatu hari ada seorang perempuan yang memiliki rumah di samping masjid dengan pohon kurma. Ia berkata, “Aku tidak akan menerima pengganti kecuali dengan sebuah rumah beserta pohon kurma untuk berteduh dan aku makan buahnya.”
Sang Khalifah justru menimpali, “Aku akan usahakan, meskipun seluruh isi baitul mal habis.” Dan benar permintaan itu dituruti dengan kemurahan hatinya yang luas.
Masjid Hagia Sophia menghargai eksistensi umat Nasrani
Terlepas dari perdebatan absah dan tidaknya eksistensi bangunan Hagia Sophia sebagai masjid. Atau kontroversi siasat pemilu Rajab Tayyib Erdogan dengan mengembalikan fungsi Hagia Sophia dari museum menjadi masjid.
Sejarah pembebasan wilayah tersebut oleh Sultan Muhammad al-Fatih telah memberikan kebebasan beragama bagi umat Kristen untuk melaksanakan ritual agamanya dengan bebas.
Al-Fatih mencontoh apa yang telah dipraktikkan oleh Sayyidina Umar bin Khattab RA dan Shalahuddin al-Ayyubi saat membebaskan wilayah Palestina. Terkait topik ini telah diulas dalam buku Samahatul Islam karya Umar Abdul Aziz Quraisyi.
Catatan-catatan ringan di atas menyuguhkan untuk kita bagaimana tingginya nilai toleransi umat Islam terhadap saudara lintas agama.
Keberadaan sebuah masjid bagi umat Islam tidak berarti menyingkirkan apalagi dengan paksa atau menimbulkan fitnah rasisme antar pemeluk agama yang berbeda.
Islam datang, ummat Kristiani dihargai eksistensi dan masyarakat bebas memilih karena agama ini hanya sebatas memberi pilihan, bukan memaksakan.
Eksistensi masjid selayaknya benar-benar dibangun atas dasar ketakwaan dan mencerminkan nilai-nilainya, baik secara individu maupun sosial, baik pribadi umat Islam maupun masyarakat umum.
Masjid sebagai tempat tersuci di bumi dan simbol syiar umat Islam tidak selayaknya dijadikan tempat propaganda politik ataupun kepentingan kelompok tertentu.
Masjid hendaknya kembali menjadi corong agama dalam mengarahkan opini dan sikap masyarakat muslim khususnya dalam bingkai toleransi dan pluralisme.
Masjid semestinya untuk merangkul, bukan untuk memecah belah. Dan terakhir, selain fungsi ibadah, masjid berperan besar dalam pendidikan dan sosial.
Semangat dalam menunjukkan syiar dengan simbol-simbol keagamaan harus dibarengi dengan ruh kebebaasan, toleransi, dan menghargai sunnah alam berupa perbedaan.