Seni kaligrafi Arab merupakan salah satu bagian terpenting peradaban Islam. Menduduki posisi vital dalam seni dan budaya Islam, kepopulerannya di kalangan publik justru menurun.
Alasan paling kentara adalah kurangnya promosi dan visualisasi tulisan Arab dalam teknologi modern, terutama di internet. Walau minim apresiasi, kaligrafi Arab tetap mampu bertahan dalam bentuk klasiknya.
Dr. Nassar Mansour, seorang seniman berdarah Yordania-Palestina mengatakan kaligrafi Arab bernilai penting karena berhubungan langsung dengan Al-Qur’an. Kesucian Al-Qur’an mendorong orang-orang Arab untuk memperindah dan mendesain ulang bentuk tulisannya. Ini alasan seni kaligrafi Arab berkembang pada abad ke-7 M.
“Namun aspek fungsional kaligrafi tidak diragukan lagi menurun sejak munculnya mesin cetak.” ujar pengajar Kaligrafi Islam dan Manuskrip Islam di Universitas World Islamic Science and Education (WISE) itu, dilansir dari Arab News (14/6/2020)
Keindahan Mistik
Hubungan yang erat antara kaligrafi dengan Al-Qur’an membuat praktik seni tulis tersebut sebagai sebuah pengalaman religi. Praktik ini mendasari terciptanya aturan-aturan tentang kesabaran dan kedisiplinan.
Selama berabad-abad aturan ini berkembang. Aturan-aturan ini dikenal dengan istilah “adab” atau tata krama antar khattat (penulis kaligrafi) dan keharusan dipatuhi baik oleh pengajar maupun pelajar.
Siraj Allaf, Insinyur dan seniman Arab Saudi belajar kaligrafi di Masjidil Haram Mekkah di bawah bimbingan kaligrafer ternama Ibrahim Al-Arafi. Allaf mendapat “ijazah” setelah bertahun-tahun belajar. “Belajar kaligrafi secara tradisional adalah pengalaman pendidikan yang kaya akan ilmu dan manfaat.” kata dia.
Allaf mengaku menimba banyak pelajaran hidup berharga terutama seni tulis ini dari gurunya itu. Dia melihat para lulusan lembaga seni tulis tradisional masih berpikir terlalu sederhana. Mereka terkadang melewatkan kesempatan besar dan bahkan gagal mendapat perhatian publik yang selayaknya diterima.
Allaf menjelaskan bahwa kedekatan emosional penulis kaligrafi dengan seni tulis Arab seperti melarang mereka untuk mengomersilkan talenta yang mereka miliki. “Jika kita perhatikan seni lainnya, seperti fotografi, kita menemukan fakta bahwa dari awal memang fotografer menjadikan pilihan ini untuk mendapatkan uang.” terang dia.
Untuk meningkatkan profil seni ini, Allaf membentuk Hrofiat, sebuah platform kaligrafi pertama di Arab Saudi. Melalui Hrofiat para kaligrafer terbaik di Saudi bekerja sama mengenalkan seni kaligrafi ke publik secara masif.
Hrofiat mengadakan seminar, event, kursus online, kreasi karya-karya original baik klasik mauapun digital serta menyediakan layanan konsultasi seni untuk memperluas promosi seni tulis ini.
Berhadapan dengan Teknologi
Mengumpulkan para kaligrafer elit bagi Allaf adalah sebuah tantangan besar. Banyak seniman yang khawatir terhadap ide komersialisasi karya mereka. Menurut dia, banyak seniman yang mengambil pendekatan konservatif terhadap praktik komersial dan adopsi teknik modern.
Mereka beranggapaan penggunaan teknologi modern bisa menghilangkan “nyawa” seni kaligrafi mereka. Sesuatu yang mereka anggap suci.
Beberapa pakar termasuk Allaf percaya bahwa keengganan menggunakan teknologi modern dapat ditelusuri sejak zaman pemerintahan Turki Ottoman. Waktu itu adopsi teknologi percetakan mengalami keterlambatan karena resistensi agama. Teknologi percetakan mulai dipakai ketika Turki Ottoman mulai mengkonsolidasi kekuasaannya dari ibukotanya, Konstantinopel.
Dinasti Ottoman resmi menggunakan mesin cetak pada tahun 1726 ketika Ibrahim Muteferrika membuka percetakan atas izin Sultan Ahmed III dan mendapat restu dari otoritas keagamaan. Adopsi teknologi modern yang telat karena hampir seluruh daratan Eropa sudah umum menggunkan mesin cetak pada awal 1453.
Teknologi percetakan tidak mendapat tempat di dunia Arab, Turki dan Islam sampai abad ke-18 M-400 tahun setelah percetakan populer dipakai di Eropa. Hal ini memperlambat adaptasi teknologi yang terus-menerus berkembang untuk memenuhi persyaratan estetikanya.
Ketika pengguaan mesin cetak mulai meyebar, kaligrafer tradisional mulai kehilangan pekerjaan mereka di surat kabar, majalah, dan lainnya. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki skil alternatif atau alat untuk mengadaptasikan pengalaman mereka ke bidang garapan baru.
Akibatnya, keindahan kaligrafi Arab klasik yang tak tertandingi, kebanyakan terasingkan di galeri dan musium seluruh dunia.
Pengaruh Komputasi Font Arab
Dr. Abdullah Futiny, Ketua Asosiasi Cendekia dan Kaligrafi Arab Saudi, percaya bahwa ada faktor lain yang menyebabkan kaligrafi Arab, kurang diapresiasi terutama di kalangan generasi sekarang. Beliau mencurigai popularitas font hasil komputasi yang banyak digunakan orang-orang sekarang menjadi salah satu penyebabnya.
Terputusnya hubungan antara kaligrafi klasik dan modern juga mengecilkan semangat para kaligrafer Arab untuk bereksperimen dengan alat-alat digital. Futiny menambahkan bahwa pendekatan tradisional mereka terhadap seni kaligrafi merupakan bentuk ekspresi paling murni dari semangat Islam.
Mazhab kaligrafi klasik takut teknologi akan membunuh tradisi klasik kaligrafi. “Ini keliru. Keterampilan dasar dan prinsip-prinsip pengajaran kaligrafi tidak bisa dihilangkan.” Allaf mengamini analisa Futiny.
“Mereka tidak mau menerima fakta bahwa banyak teknik yang dipelajari bertahun-tahun sekarang bisa dilakukan hanya dengan sekali pencet.” imbuh dia.
Kaligrafer klasik berdarah Yaman-Turki Zeki Al-Hashimi percaya bahwa mazhab klasik harus mau beradaptasi dan menerima teknologi dunia modern. “Bahkan alat- alat kaligrafi tradisional mengalami perubahan dari masa ke masa,” kata seniman yang sedang belajar kesenian klasik ini di Turki.
Beberapa aspek mulai tidak dipengaruhi lagi oleh waktu, seperti ekspresi formal tiap huruf dan ornamen. “Oleh karena itu, Golden ratio dan geometri bentuk umum dari huruf Arab menjadi faktor tradisional yang harus kita prioritaskan untuk dijaga.” terang Al-Hasyimi.
Allaf dan Al-Hasyimi sependapat bahwa teknologi modern tidak membahayakan tradisi kaligrafi klasik.
Al-Hasyimi menambahkan bahwa teknologi hanyalah sebuah alat untuk memperluas pengembahan seni dan mengenalkan budayanya, bukan untuk membunuh seni itu sendiri.
Para kaligrafer harus bekerja sama dengan para desainer dan developer untuk meningkatkan alat-alat yang ada sekarang. Kerjasama kaligrafer dan desainer lebih dibutuhkan agar lebih efisien dalam bekerja.
Dr. Mansour menekankan bahwa integrasi kaligrafi Arab dengan teknologi modern harus dilakukan oleh kalangan profesional yang memahami seni dan nilainya. Mereka juga harus menghormati aspek-aspek estetik dan spiritual kaligrafi Arab.
Sosial Media Turut Berjasa
Ketika terjadi penolakan panjang atas adopsi teknologi modern ke dalam kaligrafi arab, ironisnya, justru sosial media dalam hal tertentu mampu membantu mempopulerkan seni ini kembali kepada generasi muda.
Sosial media dan dunia teknologi modern lainya menyediakan ruang bagi para kaligrafer Arab untuk mengajarkan dan menyebarkan apresiasi seni ini ke seluruh dunia. Nilai-nilai spiritual kaligrafi Arab (yang berhubungan dengan teks-teks suci) itu mampu mendorong generasi muda untuk terus menjelajahi misterinya sebagai hasil dari pengalaman individu mereka.
Al-Hasyimi juga menggunakan sosial media untuk berbagi tips-tips kaligrafi dan mengajak pengikutnya berdiskusi tentang karyanya. Meskipun tidak semua orang melihat kaligrafi seperti para profesional, Al-Hasyimi mencoba menawarkan beragam konten untuk memenuhi semua segmen masyarakat.
Menurunnya popularitas kesenian ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Lembaga-lembaga resmi, para pengajar, dan kesalahan umum dalam membentuk kesadaran publik menjadi kambing hitam atas minimnya apresiasi publik terhadap seni kaligrafi.
Dr. Mansour mengatakan, “Para kaligrafer juga bertanggung jawab atas ketidakpedulian publik terhadap nilai estetik kaligrafi.”
Butuh Dukungan Pemerintah
Ada sebuah kesepakatan umum bahwa untuk mengembalikan status sosial dan nilai estetikanya adalah melalui proyek-proyek jangka panjang dari lembaga terkait yang didukung oleh pemerintah.
Sebuah langkah penting telah diambil ketika pada bulan Januari lalu, Menteri Kebudayaan Saudi Pangeran Badr bin Abdullah mengatakan bahwa tahun 2020 adalah Tahun Kaligrafi Arab.
Langkah penting lain yang diambil Saudi adalah pembangunan Prince Mohammad bin Salman Global Center for Arabic Calligraphy. Sebuah pusat global untuk kaligrafi Arab yang di sana akan didirikan museum, gedung eksibisi dan lembaga pendidikan kaligrafi.
“Setiap orang kreatif, baik seniman maupun saintis terlepas dari bidangnya masing-masing membutuhkan bantuan pemerintahan yang mendorong pengambilan keputusan agar mereka memiliki suara dan mendapatkan perhatian publik.” sambung Allaf.
“Mega proyek ini menjadi inisiatif penting yang manfaatnya tidak hanya untuk negara dan warganya tapi juga untuk dunia Arab dan Islam.” Al-Hashimi menambahkan.
Futiny juga mengajak orang-orang yang memiliki talenta pada kesenian ini baik klasik maupaun modern untuk menggunakan skilnya dengan baik. “Ada banyak tugas bagi para kaligrafer dan programmer software Arab untuk meningkatkan format dan bentuk huruf Arab bagi para pengguna komputer.” kata dia.
Futiny juga menggarisbawahi pentingnya memberikan pelajaran kaligrafi Arab baru kepada murid-murid sekolah. Dengan design yang baik dan apik, diharapkan tulisan tangan mereka akan semakin indah. Di samping itu, murid akan terdorong untuk lebih jauh mengembangkan talenta mereka.