Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Selayang Pandang Epistemologi Tasawuf [Sebuah Kajian]

Avatar photo
41
×

Selayang Pandang Epistemologi Tasawuf [Sebuah Kajian]

Share this article

Tujuan utama tasawuf adalah mengenali Yang Absolut; al-Muthlaq, al-Haqq atau Realitas Tertinggi. Inilah yang dalam tasawuf disebut pengetahuan sufistik; ma’rifah atau ‘irfān. Pembahasan tentang pengetahuan sufistik ini merupakan salah satu pembahasan penting, karena menjadi jembatan epistemologis antara seorang sufi dengan Yang Absolut.

Dalam wacana agama Yang Absolut biasanya diutarakan dengan kata Allah/Tuhan. Sebagaimana dalam al-Quran, Allah (Yang Absolut) memperkenalkan diri-Nya kepada Nabi Muhammad dengan nama Allah, Dia berfirman: قل هو الله أحد. Karena manusia tidak bisa berbicara tentang sesuatu tanpa acuan kebahasaan.

Secara ontologis, Yang Absolut adalah objek pengetahuan
sufistik. Jika Yang Absolut yang dikenali itu adalah objek pengetahuan (al-Ma’rūf),
maka secara epistemologis seorang sufi yang mengenali-Nya adalah subjek
pengetahuan (al-‘Ārif). Oleh karena itu, pokok pembahasan epistemologi tasawuf
lebih fokus pada bagaimana seorang sufi mengenali-merasakan Yang Absolut dengan
pengetahuannya (ma’rifah).

Dzunnun al-Mishri membagi tiga macam pengetahuan tentang Tuhan (Yang
Absolut
). Pertama, pengetahuan awam: pengetahuan tentang Tuhan dan
ketunggalan-Nya dengan perantara dua kalimat syahadat (ucapan kesaksian). Kedua,
pengetahuan ulama: pengetahuan tentang Tuhan dan ketunggalan-Nya dengan
perantara logika akal. Ketiga, pengetahuan sufi: pengetahuan tentang
Tuhan dan ketunggalan-Nya dengan perantara hati-sanubari.

Pengetahuan pertama dan kedua belum disebut pengetahuan hakiki
tentang Tuhan (Yang Absolut). Pengetahuan pertama dan kedua baru sampai
pada taraf ilmu(‘ilm). Pengetahuan ketigalah yang disebut dengan
pengetahuan hakiki tentang Tuhan: ma’rifah. Ma’rifah ini
merupakan pengetahuan yang identik dengan tasawuf atau dengan ungkapan lain
hanya terdapat dalam tasawuf.

Pengetahuan ini diberikan oleh Tuhan hanya kepada kaum sufi:
dimasukkan oleh Tuhan ke dalam hatinya, sehingga hatinya penuh dengan cahaya
ilahi. Oleh karena itu pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang langsung
hadir di dalam diri kaum sufi. (Harun Nasution, 1995)

Ma’rifah bukan merupakan
hasil pemikiran melalui perantara penalaran logis manusia yang dalam pandangan
kaum paripatetik (masyaiyyūn) disebut hushūli (perolehan). Namun ma’rifah
adalah pengetahuan yang hadir secara langsung di dalam hati seorang sufi.
Pengetahuan ini dalam istilah Syihabuddin as-Suhrawardi (Pencetus Hikmah al-Isyrāq)
disebut pengetahuan hudhūri. “Hadir” dalam konteks ini adalah
dihadirkan-diberikan oleh Tuhan ke dalam hati para sufi yang sanggup
menerimanya. Sebagaimana yang diucapkan oleh Dzunnun al-Mishri:

عرفت
ربي بربي ولو لا ربي لما عرفت ربي

“Aku mengenali
Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, aku tidak akan mengenali
Tuhanku.”

Kemudian bagaimana seorang sufi memperoleh ma’rifah, atau
dengan pertanyaan lain: bagaimana seorang sufi mengenali Yang Absolut?
Dan dengan instrumen pengetahuan apa dia mengenali-Nya?

Metode yang digunakan kaum sufi dalam memperoleh ma’rifah adalah metode pengetahuan intuitif yang di dalamnya terdapat proses penyingkapan (kasyf) dan pencicipan langsung (dzawq). Keduanya disebut juga dengan pengalaman batin yang berdasarkan intuisi sufistik.

Intuisi sufistik bersifat prareflektif/prakonsepsi; sejenis ilham yang datang sedemikian cepat. Terdapat beberapa karakteristik mendasar yang menjadi ciri pengetahuan intuitif-sufistik, sebagaimana yang diuraikan oleh A. E. Affifi dalam The Mystical Philosophy of Muhyid Din Ibnul ‘Arabi:

  1. Pengetahuan intuitif-sufistik memiliki perbedaan yang signifikan dengan pengetahuan intelek yang sifatnya perolehan (acquired). Pengetahuan intuitif-mistik bersifat bawaan (innate). Pengetahuan intuitif-sufistik termasuk dalam kebercahayaan kudus (divine effulgence/al-Fayd al-Ilahi) yang memancarkan wujud dasar dari semua makhluk. Pengetahuan intuitif-sufistik memanifestasikan dirinya sendiri pada diri manusia di bawah kondisi-kondisi sufistik tertentu. Pengetahuan intuitif-sufistik bekerja dalam keadaan pasivitas total dari pikiran (mind).
  2. Pengetahuan intuitif-sufistik melampaui akal budi (reason). Oleh karena itu, pengetahuan intuitif-sufistik tidak membutuhkan otoritas akal budi untuk menguji validitasnya.
  3. Pengetahuan intuitif-sufistik memanifestasikan dirinya dalam bentuk metafora cahaya yang masuk ke dalam hati seorang sufi ketika dia mencapai kondisi spiritual tertentu (penyucian jiwa). Pada titik ini, mengkonsepsikan (diskursifikasi) pengetahuan intuitif-sufistik hanya merupakan upaya menghilangkan tabir (viels) yang menghalangi hati dalam merefleksikan pengetahuan abadi dan kesempurnaannya.
  4. Pengetahuan intuitif-sufistik mengaktualisasikan dirinya sendiri hanya pada manusia tertentu melalui ketentuan al-Haqq.
  5. Pengetahuan intuitif-sufistik memberikan kepastian pengetahuan, karena tertuju langsung pada realitas dalam dirinya. Hal inilah yang membedakannya secara signifikan dengan pengetahuan rasional-spekulatif yang lebih cenderung memberikan pengetahuan yang spekulatif.
  6. Pengetahuan intuitif-sufistik identik dengan pengetahuan Tuhan, walaupun tampaknya bermacam-macam, namun pada dasarnya satu. Pengetahuan ini adalah pengetahuan Tuhan yang dapat dibuktikan oleh fakta bahwa tidak seorang pun memperolehnya kecuali jika dia telah benar-benar sampai pada stasiun sufistik yang memungkinkan pengetahuan tersebut diberikan. Pengetahuan ini hadir ke dalam diri seseorang dalam keadaan fanā’.
  7. Pengetahuan intuitif-sufistik identik dengan pengetahuan ketuhanan. Pembedaan keduanya hanya terletak pada pemaknaan bahwa pengetahuan ketuhanan bersifat absolut, sedangkan pengetahuan intuitif-sufistik memiliki batas-batas manusiawi.
  8. Pengetahuan intuitif-sufistik sangat sulit diungkapkan atau diekspresikan ke dalam ungkapan bahasa.
  9. Pengetahuan intuitif-sufistik memberikan pengetahuan sempurna tentang Realitas Absolut kepada seorang sufi. Jika akal budi manusia, tanpa melibatkan otoritas wahyu, hanya mampu memahami transendentalitas al-Haqq, maka pengetahuan intuitif-sufistik mampu memahami transendentalitas dan imanensi al-Haqq dalam suatu kesatuan Wujud.

Hati sebagai Instrumen Pengetahuan

Dalam pengetahuan intuitif-sufistik, hanya hati―bukan indra dan akal―yang menjadi instrumen utama, sehingga kesucian hati menjadi syarat untuk mencapai ma’rifah. Penyucian hati ditempuh melalui jalan tasawuf yang di dalamnya terdapat berbagai macam cara laku sufistik (tharīqah).

Di antaranya zikir, mengontrol nafsu dan perilaku sufistik lainnya yang mendukung tercapainya kesucian hati. Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religion Thought in Islam menyebut hati sebagai sejenis intuisi atau wawasan batin yang bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada. Jika hati itu bersih, maka akan dilimpahi cahaya oleh Tuhan, sehingga bisa mengetahui rahasia-rahasia ilahi.

Ketika hati
seorang sufi telah dilimpahi cahaya dan mengetahui rahasia-rahasia ilahi, pada
saat itulah seorang sufi dipandang telah memperoleh ma’rifah. Semakin
intens dia memperoleh ma’rifah, semakin sering dia mengetahui tentang
rahasia-rahasia ilahi yang puncaknya adalah penyatuan sufistik antara manusia
dengan Tuhan.

Penyatuan dalam tasawuf memiliki beberapa istilah dan pemaknaan yang
berbeda, di antaranya adalah ittihād, hulūl dan Wahdah al-Wujūd. Sebagaimana
yang disebut oleh Harun Nasution dalam Filsafat dan Mistisisme dalam Islam,
bahwa penyatuan sufistik didahului dengan fanā’. Fanā’ dalam makna yang
radikal adalah penghancuran diri (al-Fanā’ ‘an al-Nafs) atau penghapusan
diri (mahwun).

Penghancuran dan penghapusan diri dalam hal ini adalah hilangnya
kesadaran seorang sufi atas dirinya atau hancurnya perasaan tentang adanya
tubuh kasar manusia. Seorang sufi (al-‘Ārif) tidak dapat bersatu
dengan Tuhan (al-Ma’ruf) selama dia masih menyadari dirinya sebagai
“aku.”Karena kesadaran ini yang menjadi tabir (hijab) antara
dirinya dan Tuhan serta menghalanginya untuk bersatu dengan Tuhan.

Fanā’ senantiasa dibarengi dengan baqā’.
Jika fanā’ merupakan proses penghancuran atau tumbangnya sifat-sifat
buruk (suqūt al-Awshāf al-Madzmūmah), maka baqā’ adalah kekekalan
atau tegaknya sifat-sifat baik (qiyām al-Awshāf al-Mahmūdah).
Sifat-sifat baik ini tidak lain adalah sifat-sifat Tuhan (Awshāf al-Haqq).

Dalam spektrum
epistemologis, fanā’ memiliki tiga tahapan. Tiga tahapan ini saling
beriringan, yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh Ali Ahmad Sa’id dalam ash-Shūfiyyah
wa as-Suryāliyyah:

  1. Tahapan mukāsyafah. Pada dasarnya Tuhan (Yang Absolut)
    tersembunyi dan terhalangi oleh tabir (hijāb). Segala sesuatu yang
    bersifat ciptaan (makhlūq) adalah tabir, termasuk kesadaran seorang sufi
    atas dirinya juga merupakan tabir yang menghalanginya untuk menyaksikan
    rahasia-rahasia ilahi. Rahasia-rahasia ilahi hanya bisa tersingkap setelah
    tabir tersebut hilang atau terhapus. Pada titik inilah mukāsyafah dimulai,
    yakni tersingkapnya rahasia-rahasia ilahi: keindahan dan cahaya ilahi, atau
    tersingkapnya penutup yang menutupi cahaya Tuhan.
  2. Tahapan tajalli: Tuhan memanifestasikan diri-Nya melalui
    cahaya-Nya. Kemudian cahaya ilahi masuk ke dalam ruh seiring dengan
    hilangnya kesadaran seorang sufi atas dirinya atau hilangnya perasaan tentang
    adanya tubuh kasar manusia. Setelah itu cahaya ilahi memenuhi hati seorang
    sufi.
  3. Tahapan musyāhadah: cahaya Tuhan telah benar-benar hadir di
    dalam hati seorang sufi, sehingga dia bisa menyaksikan rahasia-rahasia Tuhan
    secara langsung dengan mata batin. Pada akhirnya yang terlihat oleh mata batin
    hanyalah Tuhan atau Wujud Tunggal (yang Absolut).

Dalam Syathahāt
ash-Shūfiyyah,
Abdurrahmad Badawi menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus, fanā’
yang berujung pada penyatuan tersebut mendorong seorang sufi untuk
mengucapkan ungkapan-ungkapan ekstase atau syathahāt sebagai ekspresi sufistik.
Dalam keadaan fanā’ (ketidaksadaran) tersebut dia ekstase;
berceloteh secara spontan mengikuti hakikat ilahiah yang diperolehnya dan
meracau tanpa persiapan dalam pikiran, sebagaimana ungkapan ekstase Abu Yazid al-Busthami,
“سبحاني” (Maha Suci aku).

Terkait ma’rifah, Harun Nasution menggarisbawahi bahwa ma’rifah
yang diperoleh oleh seorang sufi tidak sampai mengetahui hakikat Yang
Absolut
secara utuh dan final. Karena manusia terbatas (finity),
sedangkan Yang Absolut tidak terbatas (infinity).

Hakikat Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya―sebagaimana yang
diulas oleh Toshihiko Izutsu dalam Tasawuf: Samudra Makrifat Ibn ‘Arabi―sejatinya
tidak bisa diketahui secara final. Dia senantiasa menjadi misteri dan khazanah
yang tersembunyi, tersembunyi dalam kesendirian Ilahi-Nya. Manusia hanya bisa
mengetahui Yang Absolut ketika Dia memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah/Tuhan
dan memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk-bentuk yang partikular.

Dengan ungkapan lain, manusia hanya bisa mengetahui Yang Absolut
ketika dia benar-benar menyadari bahwa Yang Absolut (Allah) adalah Tuhannya
yang Tunggal.Tuhan adalah manifestasi dari Yang Absolut itu
sendiri. Predikat “Tuhan” adalah batas akhir kognisi manusia dalam mengenali hakikat
Yang Absolut. Di atas batas tersebut adalah misteri.

Oleh karena itu, jalan yang memungkinkan adalah mengenali diri
dengan penuh kerendahan hati, menempa diri, memasuki kedalaman diri (alam
internal) secara intuitif dan merasakan bahwa eksistensi Yang Absolut melandasi
eksistensi seluruh makhluk. Hanya orang yang menyadari dirinya sebagai
manifestasi Yang Absolut yang siap untuk menyelami kedalaman rahasia
kehidupan ilahi yang berada di balik semua bagian-bagian alam semesta.
(Toshihiko Izutsu, 2016)

Jika predikat “Tuhan” adalah batas akhir yang mungkin dijangkau
oleh pengetahuan manusia dalam mengenali Yang Absolut, maka di atas
batas itu adalah misteri dari segala misteri dan keheningan yang tidak
terhingga. Keheningan ini merupakan konsekuensi dari kekaguman dan kebingungan sufistik
tentang hakikat Yang Absolut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sahl bin
Abdullah al-Tustari dan dinukil oleh Fakhruddin ar-Razi dalam ‘Ajāib al-Qurān:

غاية
المعرفة الدهشة والحيرة

“Puncak ma’rifah adalah kekaguman
sekaligus kebingungan.”

Pada titik (batas) ini, hakikat Yang Absolut yang paling
hakiki tetap sebagai misteri sekaligus merupakan kesunyian manusia yang tidak terbatas.
Kebingungan di sini bukan dalam arti yang biasa yaitu linglung, melainkan
kebingungan karena terkesima dan kagum.

Oleh karena itu, (barangkali) satu-satunya jalan di hadapan kekaguman kepada Yang Absolut adalah jalan cinta: hubb, mahabbah dan ‘isyq, sebagaimana yang ditempuh oleh para sufi agar senantiasa berada dalam aktivitas penyingkapan (kasyf) tanpa henti. Penyingkapan tidak lain adalah manifestasi dari cinta itu sendiri.

Ketika manusia mencintai Tuhan dengan sendirinya mencintai makhluk. Dan kasih sayang Tuhan senantiasa tercurah kepada manusia yang menyayangi makhluk khususnya sesama manusia. Sebagaimana dawuh Abu Nuwas yang terabadikan dalam Dīwān-nya:

لا يرحم الله إلا راحم الناس

“Yang disayangi oleh Allah adalah yang menyayangi [seluruh]
manusia.”

Kontributor

  • Asmara Edo Kusuma

    Sastrawan aktif. Lulusan Al-Azhar University, Kairo. Mengerjakan sejumlah buku, sebagai penerjemah dan editor. Mengaku suka cilok, kopi, dan tertawa.