Awalnya saya tak mengenalnya. Sampai seorang teman penganut tarekat Naksabandiyah memberitahu kepada saya. Syekh Mursahadatillah yang disebut dalam Salasila Gunung Jati itulah Syekh Quro. Saya mengernyitkan jidat.
Lalu
samar-samar mulai tampak kisahnya. Saya mencoba mengingat-ingat bacaan Salasila Gunung Jati, dan bertanya
kepada ayah saya, yang seketika itu semuanya menjadi jelas. Ya, namanya disebut
di sana, sesudah Cakrabuana, sekali…
Tsumma ilaa hadhroti sayyidinaa wa maulaanaa sulthoonil auliya Seh Syarif Hidayatillah sulthoonil mahmud, wa ilaa ruuhi sayyidatinaa Syarifah Mudaim wa sayyidatinaa Nyi Mas Panatagama Pasambangan, wa ilaa ruuhi sayyidinaa ka maulanaa Pangeran Cakrabuana, wa ilaa ruuhi Seh Mursyahadatillah,
khushushon ilaa ruuhi sayyidinaa wa maulanaa Seh Datul Kahfi, wa ilaa ruuhi Seh Bayanillah, wa ila ruuhi Adipati Keling, wa ilaa arwaahi jamiil auliyaai was salaathin, wa ahlil qubur alladziina yuqbaruuna fii Gunung Sembung wa Gunung Jati,
wa ushuulihim wa furuuihim wa ahli silsilatihim wal aakhidziina minhum, aghitsna bi idznillaahi taalaa wa bikaroomaatihim, nas alukal barokata wal ijaazata was salaamah, syaiul lillaahi lahum Al-Fatihah…
Tiap-tiap
doa, tiap-tiap itu pula ayah saya dan orang-orang yang dituakan di Cirebon akan
melafalkannya, tiap itu pula kita menundukkan kepala, mengakui kerendahannya.
Sampai mati. Sampai sepi yang abadi.
Kutadahkan tanganku
Mohon
ampun dan rahmatMu
Di
kubur para kekasihMu
Tapi
orang-orang yang tidak tahu melempariku
Menuduh
yang datang ke kubur batu
Berbuat
bidah
Pintu-pintu
surga tertutup selamanya
Pintu-pintu
tertutup? Saya menatapnya dengan agak sedih. Tapi mendadak saya ingat sajak
yang menenangkan ditulis seorang dengan hati bersih.
Beruntunglah
orang-orang
Yang rumahnya terang
menyala
Dan tertutup
pintu-pintunya
Dan rapat pula
kelambunya
Tentu itu hanya alegori untuk relung cahaya. Mereka yang berdiam dalam rumah diri tahu kehancuran bermula dari syak wasangka. Juga mulut yang rewel. Kita mencaci zaman kita–zaman yang tak punya dosa.
Meributkan banyak hal atasnya. Padahal kita yang bersalah. Selamanya kesusahan dan cobaan, jangan menyalahkan zaman…
Ada
yang kecewa
Ada yang bahagia
Ada yang buruk
Ada pula yang baik
Yang ini diberi-Nya
Yang itu tidak
Yang ini ditolong-Nya
Yang itu tidak
Hiduplah sesuai kehendaknya, kata Syekh Quro–ada pula yang menyebutnya Syekh Hasanudin. Tuhan akan memberimu minum seperti ia memberi minum kekasih-Nya. Kalian tidak akan kehausan di bumi ini.
[Saya datang untuk melihat Cirebon. Saya ingin masuk ke dalam.] Kata Syekh Quro. Itu tahun 1418 M. Di masa itu, Muara Jati sudah jadi pelabuhan. Di apit dua kekuatan besar, Pajajaran, diperintah Raja Susuk Tunggal, dan Galuh Pakuan, diperintah Niskala Wastu Kencana, raja yang diusir karena mencintai wanita rendah setelah tujuh tahun berkuasa.
Sejarah mencatat: Putra ulama besar dari Campa yang masih punya garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin dan Syekh Jalaluddin, mufti besar Mekah. Itu datang sebelum era Walisongo, dan, bersama saudaranya Datul Kahfi, setelahnya menjadi guru bagi mereka, sebut saja, Syekh Mejagung, Syekh Lemahabang, Sunan Muria, Sunan Bonang, dan Sunan Gunung Jati.
Dalam
Babad Tanah Jawa, peran pentingnya
kembali ditegaskan, bukan cuma keluasan tauhidnya, kefasihan bacaan Quran, dan
tafsir hadisnya. Ia adalah [penghulu tanah Jawa]. Begitu Datul Kahfi
menyebutnya.
Hal
yang tak disangka-sangka dari perannya adalah masuknya Islam ke lingkungan
istana Pajajaran. Subang Larang, putri Ki Gede Tapa, yang menjadi santrinya
dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa yang jauh kemudian lebih dikenal sebagai
Prabu Siliwangi.
Konon pernikahan itu terjadi tahun 1422 M, ketika Subang Larang usia 18 tahun. Dari rahim wanita asal Pasambangan itulah lahir Walangsungsang, Rarasantang, dan Kian Santang.
Belasan tahun kemudian anak-anaknya bergulat dengan agama yang menggetarkan mereka: Islam. Sejak itu mereka ingin keluar dari istana–meskipun tak niscaya menderita.
Lalu
yang terdengar dari cerita itu, babad menyebutkan, nasib membawa mereka kembali
ke tanah leluhur ibunya, mereka mendarat di Muara Jati.
Dalam satu kisah…
Di Tanjung Pura, Karawang, Syekh Quro–pengikut mazhab Imam Hanafi itu–membayangkan Mekah tegak lurus di hadapan. Apakah musala ini menghadap kiblat? Santrinya tak ada yang menjawab.
Semua saling pandang. [Langkah yang tepat ialah ibadah. Permohonan yang bijak adalah bersodakoh. Mati yang paling baik adalah menyebut nama Allah] katanya.
Saya tak tahu buat apa sebenarnya Syekh Quro membuat pesantren di Karawang. Sebab sekian meter ia melangkah, di depannya, candi-candi Buddha berdiri menjulang.[]