Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Dari Makkah ke Majalengka, Sebuah Warisan Intelektual Ulama Sunda

Avatar photo
44
×

Dari Makkah ke Majalengka, Sebuah Warisan Intelektual Ulama Sunda

Share this article

Hubungan intelektual antara Makkah dengan Tanah Sunda telah terjalin sejak lama. Hal itu terbukti dengan adanya manuskrip berusia tua di Kabupaten Majalengka, tepatnya di Dukuh Banada, Leuwimunding.

Berikut adalah fatwa Ulama Makkah Syaikh Muhammad Sa’îd Bâ-Bashîl untuk KH. Mahfuzh b. Abdul Mun’im Banada, Leuwimunding, Majalengka yang berkenaan dengan hukum sewa rumah.

Setakat ini merupakan catatan berisi sebuah fatwa dari ulama besar dan mufti mazhab Syafi’i di Makkah, yaitu Syaikh Muhamad Sa’îd Bâ-Bashîl (w. 1330 H/ 1912 M) untuk KH. Mahfuzh b. Abdul Mun’im dari dukuh Banada (Mirat), Leuwimunding, Majalengka (w. ?).

Fatwa tersebut tercatat di halaman pertama (sampul dalam), sebelah pojok kiri atas, dari kitab Hâsyiah I’ânah al-Thâlibîn (juz ke-II) versi cetakan tua. Di atas catatan fatwa tersebut terdapat keterangan kepemilikan kitab (milkiyyah al-kitâb). Catatan kepemilikan itu berbunyi:

مما أنعم الله تعالى لعبده الفقير الحج أحمد محفوظ بن المرحوم الحج عبد المنعم الذي يقومان في حارة البناد

Kitab ini merupakan apa yang Allah berikan sebagai nikmat untuk hamba-Nya yang fakir, yaitu Haji Ahmad Mahfuzh putra almarhum Haji Abdul Mun’im yang mana keduanya bermukim di dukuh Banada.

KH. Mahfuzh b. Abdul Mun’im Banada mengajukan sebuah pertanyaan kepada Syaikh Muhammad Sa’îd Bâ-Bashîl terkait status hukum sebuah rumah yang disewakan oleh pemiliknya, apakah dari penghasilan sewa rumah tersebut harus dibayarkan zakat ketika sudah sampai batas satu tahun atau tidak? Dalam teks tersebut berunyi:

(مسألة في رجل اشترى بيتا فأكراها (؟) كل شهر بكذا فمضى حول هل تجب فيه الزكاة أم لا (؟

Terdapat sebuah permasalahan, yaitu ketika seseorang membeli sebuah rumah, lalu rumah itu ia sewakan (?) setiap bulannya dengan sekian harga. Lalu lewatlah satu masa haul. Apakah diwajibkan zakat atas kasus seperti ini?

Syaikh Muhammad Sa’îd Bâ-Bashîl kemudian menjawab:

فأجابنا محمد سعيد بن بابصيل من أهل مكة بقوله إن كان البيت اشتري للقنية (؟) فلا زكاة في عينه ولا في كنهه (؟) والأجرة الحاصلة من ايجاره إن مضى حول مع تمام فيه زكاة وأما إن ملك للتجارة فيلزم زكاة التجارة بعد تمام الحول فتخرج مما اشترى به من فضة أو ذهب. والله سبحانه وتعالى أعلم. من المفتى الشافعي المكي

Maka menjawab kepada kami Muhammad Sa’îd Bâ-Bashîl dari ahli Makkah dengan perkataannya: jika rumah tersebut dibeli untuk aset, maka tidak diwajibkan zakat atasnya. Adapun [jika rumah tersebut disewakan] maka laba yang dihasilkan dari bisnis sewa tersebut jika sudah lewat haulnya secara sempurna, maka diwajibkan untuk zakat [atasnya].

Adapun jika rumah tersebut dimiliki untuk kepentingan dagang, maka diharuskan membayar zakat dagang setelah lewat haulnya secara sempurna. Maka harus dibayarkan dari apa yang dibeli dengannya dari perak atau emas.

BACA JUGA

Di tempat terpisah, KH. Mahfuzh Banada juga tercatat pernah mengajukan beberapa pertanyaan hukum kepada Syaikh Muhammad Sa’îd Bâ-Bashîl berkaitan tentang masalah pernikahan.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terdapat pada sampul juz I kitab Hâsyiah I’ânah al-Thâlibîn milik KH. Mahfuzh Banada. Catatan tersebut sudah tidak utuh dan sulit dibaca, karena kondisi kertas kitab yang sudah lapuk dan koyak di bagian pinggirnya.

Sayangnya, tidak terdapat keterangan kapan fatwa tersebut ditulis. Namun demikian, kita bisa memperkirakannya antara tahun 1885–1912 M. Syaikh Muhammad Sa’îd Bâ-Bashîl menggantikan kedudukan Syaikh Ahmad Zainî Dahlân sebagai mufti besar bermazhab Syafi’i di Makkah setelah beliau meninggal pada 1885 M.

Jabatan prestisius tersebut diembannya hingga tahun 1912, setelah itu digantikan oleh Syaikh Husain b. Muhammad al-Habsyî (w. 1912 M), lalu oleh Syaikh ‘Abdullâh al-Zawâwî (w. 1924 M).

Saya sendiri mendapatkan kitab Hâsyiah I’ânah al-Thâlibîn milik KH. Mahfuzh Banada tersebut lengkap berjumlah 4 jilid di rumah Bapak H. Humaidi b. Abbas b. Masduqi di Desa Karang Sembung, Kadipaten (Majalengka), orang tua dari Ibu Teta Fathiyah yang tak lain adalah istri dari sahabat saya al-Fadhil Abdul Majid Pati Abdul Majid.

Bapak H. Humaidi sendiri adalah putra dari KH. Abbas (wafat di Makkah) b. Syaikh Masduqi al-Muqri (wafat dan dimakamkan di Pesantren Balerante, Cirebon).

Di rumah Bapak H. Humaidi tersebut, saya mendapatkan beberapa manuskrip dan kitab cetak tua. Di sana terdapat beberapa catatan nama, di antaranya adalah KH. Abdurrazaq b. Abdul Qadir (Qadhi Majalenga di awal abad ke-20 M), KH. Rofi’i (Kalipah Majalengka), KH. Muhammad Jahuri Karang Sembung (Kadipaten, Majalengka), KH. Muhammad Nur (Tarik Bulang [?] Sidoarjo, Jawa Timur).

Di sana juga saya mendapati beberapa kitab karya ulama Nusantara, di antaranya kitab Sabîl al-Hudâ fî al-Jum’ah karya KH. Jauhar Balerante (Cirebon), kitab Tarkîb I’râb al-‘Awâmil bi al-Lughah al-Jâwî al-Bantanî karya KH. Khoiruddin b. Salwan Bagawati (Serang, Banten), kitab al-Futûhât al-Rabbâniyyah fî al-Tharîqah al-Qâdiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah karya KH. Muslih b. Abdurrahman Mranggen (Demak, Jawa Tengah).

Sampai ke Tangan KH. Mahfuzh Banada

Lalu bagaimana ceritanya kitab milik KH. Mahfuzh Banada (Leuwimunding, Majalengka) ini bisa berada di rumah H. Humaidi Karang Sembung (Kadipaten, Majalengka)? Wallahu A’lam.

Saya hanya bisa menerka-nerka, jika KH. Mahfuzh ini kawan seangkatan dengan Syaikh Masduqi al-Muqri (w. 1935 M, kakek dari H. Humaidi) yang ikut serta mengasuh Pesantren Balerante di Cirebon bersama dengan KH. Jauhar (w. 1941 M).

Dugaan saya, ketiganya, yaitu KH. Mahfuzh Banada, Syaikh Masduqi al-Muqri dan KH. Jauhar Balerante, adalah sama-sama murid dari Syaikh Muhammad Sa’îd Bâ-Bashîl ssaat mereka belajar di Makkah.

Syaikh Muhammad Sa’îd Bâ-Bashîl juga terhitung sezaman (mu’âshir) dengan Syaikh Abû Bakar Dimyâthî Syathâ (Sayyid Bakrî, w. 1890 M), Syaikh Nawawi Banten (w. 1897 M), Syaikh Ahmad Khatîb Minangkabau (w. 1916 M), Syaikh Mahfuzh Tremas (w. 1920) dan ulama-ulama syafi’iyyah Makkah lainnya.

Sosok Syaikh Muhammad Sa’îd Bâ-Bashîl sendiri tercatat memiliki hubungan dan jejaring intelektual yang dekat dengan para ulama Nusantara yang bermukim di Makkah pada akhir abad ke-19 dan dekade pertama abad ke-20 M.

Jejak hubungan dan jejaring intelektual itu dapat dilacak, di antaranya, dalam kitab Muhimmât al-Nafâ’is fî Jawâb As’ilah al-Hâdits, sebuah karya yang ditulis dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Melayu-Jawi.

Berisi kompilasi fatwa ulama-ulama Makkah, seperti Syaikh Ahmad Zainî Dahlân, Syaikh Muhammad Sa’îd Bâ-Bashîl dan Syaikh ‘Abdurrahmân Sirâj, atas beberapa persoalan yang berasal dari Nusantara di akhir abad ke-19 M.

Kitab Muhimmât al-Nafâ’is ini telah dikaji oleh Nico J. Kaptein, seorang professor dari Universitas Leiden Belanda dalam bukunya The Muhimmat al-Nafais: a Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian Muslims from the End of the Nineteenth Century, diterbitkan oleh INIS, 1998.

BACA JUGA

Jejak lainnya juga terdapat dalam kitab Siyar wa Tarâjim li ‘Ulamâ Makkah fî al-Qarn al-Râbi’ ‘Asyar karya ‘Umar ‘Abd al-Jabbâr (hal. 244). Di sana dikatakan bahwa Syaikh Muhammad Sa’îd Bâ-Bashîl merupakan guru dari KH. Khalil b. Abdul Lathif Bangkalan (Madura), Ahmad b. Hamid al-Marzuqi al-Jawi dan lain-lain.

Di antara kitab karangan Syaikh Muhammad Sa’îd Bâ-Bashîl adalah Is’âd al-Rafîq Syarh ‘alâ Sullam al-Taufîq. Karya ini ditulis pasca karya Syaikh Nawawi Banten (w. 1897 M) yaitu Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq Syarh ‘alâ Sullam al-Taufîq.

Mengenal Dukuh Banada

Dukuh Banada, tempat KH. Mahfuzh b. Abdul Mun’im berasal, terdapat di kawasan hutan di tepi gunung Sang Hyang Dora (saat ini secara administratif termasuk ke wilayah Desa Mirat, Kecamatan Leuwimunding, Majalengka).

Di Banada terdapat sebuah pesantren tua yang konon didirikan pada awal abad ke-19 M. Saat masa remaja dulu (usia 11 sampai 13 tahunan), saya mendapat keberuntungan dengan belajar kepada para guru mulia yang masih terhitung sebagai zuriyat Banada.

Antara lain al-Mukarrom KH. Muslim Sya’roni dan putra beliau al-Mukarrom KH. Aripin Muslim Aripinmuslim (Pesantren an-Nawawi Leuwimunding), juga al-Mukarrom KH. Nasirin Nasir Abi.

Para sesepuh Banada memiliki hubungan kekerabatan dengan KH. Nur Shamad (Leuwimunding, Majalengka) b. Syaikh Faqih Ibrahim (Cimeong, Banjaran, Majalengka) b. Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan.

Sementara itu, KH. Nur Shamad sendiri merupakan cucu dari Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan itu, yang dimakamkan di area pemakaman Masjid Raya Leuwimunding, Majalengka. Di area pemakaman itu juga terdapat makam Habib Abdullah b. Yahya.

Ketika saya sowan ke Habib Luthfi b. Yahya (Rois JATMAN PBNU) awal tahun 2017 yang lalu, beliau mengatakan bahwa “salah satu paman saya, yaitu Habib Abdullah b. Yahya, dimakamkan di pemakaman Masjid Raya Leuwimunding, Majalengka”.

Tak jauh dari komplek Masjid Raya Leuwimunding, terdapat pula pesantren dan makam KH. Abdul Halim Kedung, murid dari KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah.

Perlu diketahui, KH. Abdul Halim Kedung (Leuwimunding) ini juga merupakan salah satu pendiri NU di tahun 1926 dan pernah menjabat sebagai Katib Tsani di masa-masa awal kepengurusan HBNO (PBNU).

نفعنا الله تعالى بهم وبعلومهم في الدارين آمين

Wallahu A’lam

Sukabumi, Penghujung Rajab 1441 Hijri/ Maret 2020 Masehi

Kontributor

  • A. Ginanjar Syaban

    Nama lengkapnya Dr. Ahmad Ginanjar Sya'ban, MA. Filolog Muda NU ini adalah pakar naskah Islam Nusantara. Sehari-hari menjadi dosen di UNU Jakarta, dan aktif menulis juga menerjemah buku-buku berbahasa Arab.