Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Menyoal ‘Cocoklogi’ atas Agama, Covid-19, dan Sains

Avatar photo
41
×

Menyoal ‘Cocoklogi’ atas Agama, Covid-19, dan Sains

Share this article

Problem aktual yang dihadapi manusia saat ini yaitu pandemi Covid-19 memberikan kesadaran akan banyak hal, salah satunya adalah kenyataan bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang melalui segenap perubahan.

Di sisi lain, umat beragama diajak untuk merenungkan kembali
bagaimana cara mendudukkan ilmu pengetahuan yang menerima perubahan dengan
ajaran agama yang diyakini sebagai kebenaran final.

Sebagai contoh, saat ilmu pengetahuan menyatakan bahwa salah satu jalan pencegahan Covid-19 adalah dengan sering menjaga kebersihan kedua tangan, segolongan umat Islam menyatakan bahwa temuan ilmu pengetahuan ini cocok dengan konsep thaharah (bersuci) yang salah satu bentuknya adalah wudhu.

Lalu saat ilmu pengetahuan menyatakan bahwa salah satu
jalan pencegahan Covid-19 adalah dengan social distancing (penjarakan
sosial), maka segolongan umat Islam tersebut mempertanyakan bagaimana mungkin
sebuah temuan ilmu pengetahuan tidak cocok dengan ajaran Islam yang berupa
konsep ibadah berjamaah.

Mengenai perubahan dalam ilmu pengetahuan, Hakob Barseghyan
Ph.D., seorang ilmuwan dari Institute for the History and Philosophy af Science
and Technology, University of Toronto, dalam bukunya yang berjudul The Laws
of Scientific Change
menyatakan sebagai berikut:

We stick to our accepted theories until they are replaced by some new theories that satisfy the requirements of our employed methods and the acceptance of these new theories often leads to changes in our employed methods (Barseghyan 2015: 245)

Kalimat tersebut bisa diterjemahkan sebagai “kita
berpegang pada teori-teori yang kita terima, sampai saat teori-teori itu
digantikan dengan teori-teori baru yang memenuhi prasyarat dari metode-metode
yang kita terapkan, dan penerimaan atas teri-teori baru itu kerap kali membawa
pada perubahan metode-metode yang diterapkan.”

Dari pernyataan di atas, bisa dipahami bahwa perubahan teori maupun perubahan metode adalah hal yang lumrah dalam ilmu pengetahuan.

Penemuan-penemuan baru bisa melahirkan teori-teori baru yang menumbangkan teori teori lama juga metode-metode baru yang meruntuhkan metode-metode lama.

Tentu kesemua perubahan tersebut tidak hadir begitu
saja, namun melalui prasyarat-prasyarat yang mesti dipenuhi berdasarkan aturan
ilmiah yang berlaku dan disepakati.

Pada isu yang tidak berkenaan langsung dengan
problem aktual––meskipun isu tersebut tetap penting bagi pengembangan ilmu
pengetahuan­––kecepatan perubahan teori di tangan ilmuwan tidak begitu tinggi
dan perhatian khalayak terhadap perubahan teori tersebut tidak begitu besar.

Sebaliknya, jika isu tertentu sangat dekat hubungannya dengan problem aktual, perkembangan dan perubahan teori di tangan ilmuwan bisa berlangsung cepat dan  khalayak memberi perhatian besar pada perkembangan serta perubahan tersebut.

Ini semua terkait dengan pertanyaan aksiologis: seberapa tinggi nilai manfaat dari sebuah proses produksi ilmu pengetahuan.

BACA JUGA

Sebagai misal, pada isu berkaitan dengan Planet Pluto,
para ilmuwan tidak hadir dengan teori-teori yang intensitas perubahannya cepat
dan khalayak pun tidak memberi perhatian besar karena isu tersebut tidak
benar-benar aktual.

Sebaliknya, perkembangan teori seputar pandemi Covid-19 di tangan para ilmuwan saat ini sangat pesat dan perkembangan ini sangat diperhatikan oleh khalayak karena merupakan problem aktual.

Melalui beragam media, perkembangan teori tentang Covid-19 diekspos dengan intensitas tinggi dan khalayak mengikuti perkembangan itu dengan seksama.

Para ilmuwan terus berusaha melakukan penelitian-penelitian baru tentang Covid-19. Dari penelitian-penelitian tersebut, khalayak dapat mendapati perubahan penemuan atau teori baru dalam hitungan bukan lagi tahun melainkan pekan maupun hari.

Covid-19 menunjukkan kepada khalayak bahwa ilmu pengetahuan tidaklah statis melainkan dinamis dengan segala perkembangan dan perubahan.

Relasi Islam dengan Ilmu Pengetahuan

Ada beberapa cara pandang berbeda terhadap relasi
antara Islam dan ilmu pengetahuan yang dipaparkan dalam buku `Aqidah wa
Falsafat al `Ilm
(Akidah dan Filsafat Ilmu) karya Prof. Dr. Muhammad Yusri
Ja’far, guru besar bidang akidah dan filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas
Al Azhar Mesir.

Buku ini memaparkan bahwa terdapat segolongan
Muslim yang meyakini bahwa ajaran Islam memilik hubungan kuat dan pasti relevan
dengan ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh dari golongan yang kemudian disebut
sebagai kelompok pertama ini adalah semisal Syaikh Muhammad Abduh (1849–1905
M), Rasyid Ridha (1865–1935 M), Syaikh Tantawi Al Jawhari (1862–1940 M) juga Muhammad
Farid Wajdi (1878–1954 M).

Kelompok pertama ini berkembang di awal abad 20 M dengan mengusung semangat pembaharuan agar umat Islam lepas dari keterbelakangan melalui ilmu pengetahuan. Kelompok ini berusaha menjelaskan ajaran Islam dalam kerangka kesesuaian dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan.

Semangat kelompok pertama ini juga tumbuh sebagai bantahan terhadap kelompok kedua yang menyatakan bahwa Islam tidak relevan sama sekali dengan ilmu pengetahuan.

Meski demikian, Prof. Dr. Muhammad Yusri Ja’far dalam buku ini lebih memilih pendapat yang diketengahkan oleh kelompok ketiga. Di dalam kelompok ketiga ini terdapat tokoh semisal Syaikh Mustafa Abdurraziq (1885–1947 M), Abbas Mahmoud Al Aqqad (1898–1964 M).

Atau Amin Al Khuli (1895-1966 M) yang tidak menafikan adanya hubungan antara Islam dengan ilmu pengetahuan sebagaimana pendapat kelompok pertama, namun berusaha mendudukkan keduanya sesuai porsi masing-masing.

Kelompok ketiga ini menghindari usaha membawa tafsir ajaran agama Islam untuk diseret menuju pemaksaan kesesuaian dengan detail penjelasan-penjelasan teori saintifik secara terperinci.

Hal ini dilatarbelakangi oleh sifat ilmu pengetahuan itu sendiri yang dinamis dan memungkinkan terjadinya perubahan, berbeda dengan agama yang diimani sebagai kebenaran final.

Menurut kelompok ini, Islam tidaklah bertentangan
dengan ilmu pengetahuan bahkan mesti memiliki hubungan kerja sama, namun dalam
koridor masing-masing tanpa terjadi ketumpangtindihan.

Dengan demikian, berdasarkan buku ini umat Islam diajak untuk tidak memaksakan diri membawa tafsir keagamaan bersama detail ilmu pengetahuan ke satu medan yang sama.

BACA JUGA

Jika terdapat kecocokan antara keduanya dan digunakan sebagai klaim kebenaran agama, lalu bagaimana jika ilmu pengetahuan melahirkan temuan baru yang mengakibatkan kecocokan berubah menjadi ketidakcocokan? Tentu umat Islam akan mengalami kerugian sendiri akibat ‘cocoklogi’ yang sedemikian.

Semestinya apabila ada kesesuaian, maka hal
tersebut tidak perlu dijadikan sebagai dasar klaim kebenaran agama secara
berlebihan. Namun sebaliknya ketika terjadi ketidaksesuaian, atau kesesuaian
yang berubah menjadi ketidaksesuaian, hal ini tidak dijadikan dasar bagi umat
beragama untuk menghujat ilmu pengetahuan.

Sebagai seorang santri YouTube, saya pernah menyimak sebuah pengajian KH. Baha’uddin Nur Salim atau yang lebih terkenal dengan nama Gus Baha’.

Dalam pengajian tersebut ia menjelaskan bahwa frase ‘sittati ayyaam’ dalam ayat Al-Quran tentang rentang waktu penciptaan alam semesta lebih baik diterjemahkan sebagai ‘enam masa’ bukannya ‘enam hari’.

Dalam pemahaman saya,  hal ini dimaksudkan agar penerjemahan
tersebut lebih memberikan ruang longgar bagi teori-teori ilmu pengetahuan
tentang penciptaan alam semesta yang mungkin mengalami perubahan-perubahan.

Usaha penerjemahan sedemikian menunjukkan bahwa
tafsir atas ajaran agama tidak semestinya diproyeksikan untuk sesuai dengan
satu teori ilmiah tertentu, namun siap untuk berhadapan dengan teori ilmiah
yang berubah-ubah.

Walhasil, jika ajaran thaharah cocok dengan anjuran pencegahan Covid-19, umat Islam tidak perlu terjangkiti euforia klaim kebenaran agama berlebihan.

Sebaliknya, jika ajaran ibadah berjamaah tidak cocok dengan anjuran pencegahan Covid-19, umat Islam tidak perlu murung apalagi bersungut-sungut berlebihan.

Bersama dengan iman seeorang Muslim, mesti dibangun keyakinan bahwa ilmu pengetahuan secara substansial tidaklah bertentangan dengan Islam.

Jika pun ada detail temuan ilmu pengetahuan secara lahir nampak bertentangan­­––atau tadinya sesuai lalu bertentangan karena teorinya berubah––seorang Muslim tetap bisa mengikuti panduan ilmu pengetahuan tersebut tanpa perlu mengalami keterpaksaan apalagi krisis iman.

Kontributor

  • Muhyidin Basroni

    Muhyidin Basroni, Lc., MA., peminat kajian sejarah, budaya dan seni dalam Islam, pernah belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, kini mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.