Fatwa ulama yang sangat kridibel ilmunya dari kita, sudah beredar luas dan viral, baik dari individu Kiai, MUI, ataupun yang versi Al-Azhar maupun dari ulama Arab Saudi.
Logika fiqih, baik dzonni dan qot’i sudah dijelaskan dengan detail. Begitu juga penjelasan dan nalar Medis, mulai dari dokter spesialis, Kementrian Kesehatan maupun badan tertinggi kesehatan dunia (WHO).
Fatwa menyangkut COVID-19 dari para ulama yang keilmuannya jauh lebih kredibel daripada kita, sudah beredar luas dan viral.
Jauh sebelum itu, sejarah Islam pada masa
lalu, juga turut memberikan andil dalam memberi arahan pencegahan terkait wabah.
Salah satunya dapat kita temukan dalam buku Tahdzîb Sîrah Ibnu Hisyâm
karya Abdus Salam Harun.
Di sana disebutkan bahwa Rasulullah
SAW melarang Aisyah menjenguk ayahnya sendiri, Abu Bakar yang sedang terkena
wabah demam. Kisah ini bersumber langsung dari Aisyah dan para ulama hadits
mengkategorikan riwayat ini berstatus sahih.
Selain itu, tentu saja kisah masyhur yang pernah dialami Khalifah Umar bin al-Khaththab. Singkat cerita, beliau dan rombongan memutuskan tidak meneruskan perjalanan ke Syam dan kembali pulang ke Madinah.
BACA JUGA
Kisah lengkapnya dijelaskan dalam
kitab-kitab hadits seperti Al-Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Muwaththa’
karya Imam Malik, dan Shahîh al-Bukhârî karya Imam
al-Bukhari.
Semua sudah dijelaskan dengan tuntas. Komplit dengan dalil naqli (nash al-Quran dan hadits) maupun aqli (logika ilmiah). Yang perlu disoroti dalam konteks wabah Covid-19 adalah soal anjuran untuk tidak berkerumun.
Hal itu kerap dipahami sebagai larangan yang menghalangi orang-orang untuk mendatangi masjid, majelis taklim, bersilaturahmi, bahkan melarang menunaikan shalat Jumat.
Dalam hal ini, tolok ukurnya adalah ketika berkerumun atau bersilaturahmi itu bisa menjadi sebab kemudaratan (bahaya) bagi kita dan orang lain. Inilah titik tekannya.
Karena itu, Rasulullah SAW pernah melarang istrinya, Aisyah menjenguk ayahnya ketika sakit karena turut terpapar wabah. Padahal bukankah berbakti kepada orang tua adalah kewajiban?!
Di sinilah kiranya firman Allah dalam
Surat al-Baqarah ayat 195 menemukan konteksnya,
وَأَنْفِقُوا
فِي سَبِيلِ اللهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan belanjakanlah (berbuatlah) di
jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.
Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.”
Ayat di atas juga selaras dengan hadits
Nabi yang menjadi kaidah fiqih,
لَا
ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh ada berbuat
dharar dan tidak boleh pula berbuat dhirar.”
Dharar adalah perbuatan yang bisa menimbulkan
kerusakan kepada orang lain. Sedangkan dhirar adalah membalas kerusakan
dengan kerusakan lain, baik disengaja maupun tidak.
Maka tidak boleh tidak, penyebab
kerusakan harus dihentikan, meskipun di dalamnya mengandung kebaikan. Kaidah
ini bisa diterapkan dalam upaya pencegahan virus Covid-19 yang sedang menjadi
momok dunia. Jika tidak, maka virus itu akan semakin membahayakan, menambah
kerusakan dan kian berdampak luas.
Sebagai informasi, kaidah fiqih di
atas kemudian diperinci oleh para ulama ushul fiqih menjadi 5 cabang kaidah
berikut:
1. Kerusakan mesti ditolak sebisa mungkin (اَلضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ اْلِإمْكَانِ).
2. Kerusakan harus dihilangkan (اَلضَّرَرُ يُزَالُ).
3. Kerusakan yang lebih berat harus dihilangkan meski dengan
melakukan kerusakan yang lebih ringan (اَلضَّرَرُ الْأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِ الْأَخَفِّ).
4. Kerusakan dengan dampak spesifik harus
ditanggung untuk menolak kerusakan yang berdampak masif (يَتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِدَفْعِ
الضَّرَرِ الْعَامِ).
5. Menolak kerusakan lebih utama untuk dilakukan daripada
mendatangkan kebaikan (دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ).
Tetapi permasalahannya sekarang
adalah, kenapa ada yang seperti tidak peduli dengan nalar sejarah Islam, fiqih dan
penjelasan medis, dan lebih dominan menggunakan nalar aqidah bahwa kematian itu
soal takdir?
Sementara orang beranggapan bahwa
situasi sekarang adalah keadaan darurat, sehingga justru harus berkumpul dan
munajat bersama.
Nalar aqidah ini memang tidak salah,
tetapi jika terlalu dominan, bisa menabrak nalar sejarah Islam, fiqih dan
medis. Inilah pokok masalahnya.
Padahal menurut Imam Izzuddin bin Abdus
Salam (W 660 H/1262 M), logika fiqih dan sains (medis) berada di wilayah
publik, sementara logika aqidah berada di wilayah privat.
Keduanya tidak pernah bertentangan
jika kita menggunakan nalar fiqih dan sains terlebih dahulu. Dan bukan
sebaliknya, apalagi sampai mendominasi dan dijadikan nalar publik.
Kenapa demikian? Sebab nalar fiqih
dan sains lebih berpegang pada hukum adat-kebiasaan (umum), di mana salah satu
contohnya adalah sebuah ikhtiar tidak mengkhianati hasil jika ia dilaksanakan.
Dalam kitab Al-Qawâ’id al-Kubrâ, Izzuddin
bin Abdus Salam berkata,
وَإِنَّمَا
اعْتُمِدَ عَلَيْهَا -أَيِ الظُّنُوْنِ- لِأَنَّ الْغَالِبَ صِدْقُهَا عِنْدَ قِيَامِ
أَسْبَابِهَا
“Meski nalar fiqih dan medis bersifat prediktabel, kita tidak bisa berlepas darinya, karena perkiraan-perkiraan fiqih dan sains pada umumnya akan terjadi bila faktor-faktor penyebabnya muncul.” (Al-Qawâ’id al-Kubrâ: 1/6)
Kendati demikian, penulis pribadi meyakini bahwa nalar aqidah bisa menciptakan imunitas yang membuat tubuh kebal terhadap penyakit.
Wallahu’alam bisshawab.
Aguk Irawan MN.
Kasongan pagi, 21 Maret 2020.