Dalam sebuah wawancara di tahun 2015 bersama Louisiana Channel (Museum of Modern Art, Denmark), Adonis; penyair asal Suriah yang beberapa kali masuk daftar kandidat peraih Nobel Sastra, banyak berbicara terkait agama, puisi dan kepenyairan.
Saat sampai pada obrolan tentang sejarah sastra Arab klasik, Adonis menyebut nama Abu Thayeb al-Mutanabbi (915-965 M); seorang penyair yang hidup di periode akhir Dinasti Abasiyah, di mana di dalam daerah kekuasaannya telah muncul negeri-negeri kecil (Imarat).
Lalu Adonis menceritakan sosok al-Mutanabbi sebagai salah satu penyair besar yang pernah dilahirkan bangsa Arab. Ada yang menggelitik dari cerita Adonis ini, yaitu sebuah persidangan di mana dia sedang diadili sebab dituduh mengaku nabi.
Persidangan ini digelar di hadapan Saif al-Daulah al-Hamdani, seorang penguasa Imarah Aleppo. Meskipun diceritakan secara singkat oleh Adonis, namun dialog yang terucap dalam persidangan ini membuat saya meluangkan waktu untuk merenunginya. Pernyataan dia di dalamnya sungguh unik dan mengejutkan.
“Pada sebuah sidang pengadilan di hadapan Saif al-Daulah al-Hamdani, salah satu peserta sidang bertanya kepada al-Mutanabbi: ‘Bagaimana bisa kau mengklaim dirimu sebagai nabi, sementara Nabi kita (Muhammad) telah berkata: La nabiyya ba’di (tak ada lagi nabi setelahku).’”
“Mendengar pertanyaan orang itu, al-Mutanabbi tertawa ringan lalu menjawabnya dengan sangat tenang: ‘Tampaknya kau salah membaca perkataan Nabi, yang benar Nabi kita berkata: La nabiyyun ba’di (‘tak seorang pun’ adalah nabi setelahku).’ Lalu dia melanjutkan penyataannya, ‘Wa ana ismi la (Dan ‘tak seorang pun’ itu adalah namaku),’” begitu cerita Adonis.
Saya butuh beberapa menit untuk mencerna maksud dari penyataan al-Mutanabbi sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan di persidangan, sebelum saya tersenyum sendiri berkali-kali. Selanjutnya saya berpikir bahwa pernyataannya itu cukup menarik untuk dibicarakan.
Tentu yang menarik bukan soal klaim kenabian; sebuah tema yang menurut saya terlampau suci untuk dibicarakan panjang lebar, melainkan soal kelihaian al-Mutanabbi dan keberaniannya memperlakukan kata-kata dengan model baru.
Awalnya saya sempat menganggap pernyataan al-Mutanabbi sebagai sebuah lelucon yang sewenang-wenang terhadap perkataan Nabi Muhammad. Namun saya segera menepis anggapan yang terburu-buru itu. Lalu berusaha adil dalam memahaminya dengan cara menganalisanya dari beberapa sudut pandang.
Jika ditelisik, pernyataan al-Mutanabbi yaitu “La nabiyyun ba’di,” memang terdengar asing (gharib), namun harus diakui penyataan itu tidak memiliki cacat dari sisi gramatikal, sebagaimana kesempurnaan gramatikal kalimat “La nabiyya ba’di” yang diucapkan oleh Nabi Muhammad. Dalam pernyataan dia, “La” yang itu adalah namanya berposisi sebagai mubtada dan “nabiyyun” sebagai khabar. Sedangkan “ba’di” berposisi sebagai zharaf zaman.
Lompatan pembacaan al-Mutanabbi dari “La nabiyya ba’di” ke “La nabiyyun ba’di” bagi saya merupakan sebuah dobrakan bahasa dan kejutan imajinasi yang menawarkan kreativitas baru dan segar. Dengan menjadikan “La” berposisi sebagai mubtada dan sekaligus sebagai nama, dia telah menjadikan “La” sebagai sosok hidup (a person) sekaligus lafazh yang mandiri, sebagaimana kata “muhammad” yang berarti orang bernama muhammad.
Berdeda dengan “La” dalam “La nabiyya ba’di,” statusnya adalah sebagai “la nafiyah li al-jins” yang membutuhkan kata lain (pendamping) agar bisa dipahami, kata lain itu adalah “nabiyya.” Jika “La” dipisah dari “nabiyya,” ia hanya lafazh yang kesepian, tanpa personalitas.
Dengan analisa ini tentu saya tidak sedang mengingkari kebenaran perkataan Nabi Muhammad, atau menganggap pernyataan al-Mutanabbi lebih benar dari perkataan Nabi Muhammad. Ini murni analisa kebahasaan, di mana dia bagi saya menawarkan kebaruan pada zamannya.
Lebih dari itu, apa yang diucapkan oleh al-Mutanabbi sangat intuitif dan metafisik, serta menunjukkan bahwa ia memiliki samudera imajinasi yang luas. Dia menembus dua dimensi sekaligus, dimensi tampak (al-mar’i/visible); dimensi yang hanya dipahami melalui pemahaman indrawi atau pembacaan tekstual, dan dimensi tak tampak (ghairu al-mar’i/invisible); dimensi yang hanya dipahami melalui imajinasi dan perenungan.
Ketika al-Mutanabbi mengatakan bahwa “tak seorang pun” adalah nabi (setelah Muhammad) dan menegaskan bahwa “tak seorang pun” itu adalah dirinya, ia sedang mengakui sekaligus menegasikan keberadaan dirinya.
Ketika secara tekstual dan gramatikal ia berhasil menghidupkan “La” menjadi lafazh yang memiliki personalitas, ketika itu pula ia membunuhnya, sebab ia juga mengakui bahwa dirinya hanyalah “La” yang berarti ketiadaan, ia adalah tak seorangpun (no one). Al-Mutanabbi sedang berbicara tentang kedalaman “ada dan eksistensi.” Pada titik inilah ia memasuki dimensi “tak tampak” atau bathin yang sifatnya personal dan intuitif.
Terkait klaim kenabian dalam penyataannya, kita harus jeli bahwa pernyataan, “Nabi kita berkata: ‘tak seorang pun adalah nabi setelahku,’ dan tak seorang pun itu adalah namaku,” tentu berbeda dengan (seandainya) dia dalam persidangan mengatakan, “Nabi kita berkata; ‘Abu Thayeb adalah nabi setelahku,’ dan Abu Thayeb itu adalah namaku.” Atau menyatakan, “Nabi kita berkata: ‘al-Mutanabbi adalah nabi setelahku,’ dan al-Mutanabbi itu adalah namaku.”
Pada akhirnya, secara pribadi saya menyimpulkan, pernyataan al-Mutanabbi tidak menunjukkan kesewenang-wenangannya dalam melafalkan perkataan Nabi Muhammad, atau keawamannya dalam membaca teks Arab, mengingat dirinya sebagai penyair besar Arab yang memiliki pengetahuan bahasa yang mumpuni dan melebihi pengetahuan bahasa orang awam.
Hubungan antara orang awam dan bahasa adalah hubungan peniruan (taqlid), sedangkan hubungan antara penyair dengan bahasa adalah hubungan penciptaan (ibda’) dan kebaruan (hadatsah). Oleh karena itu, dari cerita persidangan ini, saya mengenal al-Mutanabbi sebagai sosok yang kreatif dengan tutur kata yang segar, sekaligus sosok yang humoris karena penyataannya yang unik itu merupakan respon bernada humor atas terlalu seriusnya orang-orang dan begitu mudahnya mereka tersulut kemarahan.